29.3 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Mutasi Ngawur, Pemimpin Digusur

Kepala Daerah Tidak Bisa Lagi Seenaknya Merombak Jabatan

JAKARTA-Para gubernur dan bupati/wali kota nantinya tidak bisa lagi seenaknya melakukan mutasi dan pencopotan pegawai. Jika tetap nekat merombak jabatan tanpa mengikuti aturan, taruhannya adalah digusur alias dicopot dari jabatannya.

Ketentuan ini tercantum dalam Rancangan revisi Undang-Undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti UU Nomor 32 Tahun 2004. “Kepala daerah bisa diberhentikan sementara. Di draf RUU Pemda sanksi itu dicantumkan,” ujar Plt Kepala Biro Hukum Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh kepada Sumut Pos di kantornya, Kamis (17/11).

Apakah yakin ketentuan sanksi itu bisa aplikatif lantaran kepala daerah adalah pejabat politik yang dipilih langsung oleh rakyat? Zudan yakin ketentuan sanksi itu bisa diterapkan.

“Aturan itu sangat aplikatif. Kalau UU sudah mengatur dan memberikan kewenangan kepala mendagri, tentunya aplikatif,” ujar Zudan yang juga profesor bidang hukum itu.

Lantas, bagaimana pemerintah pusat bisa tahu seorang kepala daerah melanggar aturan, misal aturan soal mutasi pegawai? Zudan menjelaskan, itu bukan perkara sulit. Jika seorang kepala daerah sembarangan mencopot pegawai dari jabatannya, maka si korban akan mengadu ke kemendagri. “Kalau ada yang dinonjobkan, mereka pasti datang ke sini,” terangnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kemdagri) Djohermansyah Djohan,  mengatakan pengaturan sanksi ini adalah klausul baru lantaran di UU 32 Tahun 2004 tidak mengatur tentang sanksi. “UU yang dulu tidak mengaturan soal sanksi. Saat ini, kepala daerah tidak bisa aneh-aneh lagi, karena sudah diatur soal sanksi. Yang terberat sampai diberhentikan oleh presiden,” kata Djohermansyah.

Dijelaskan Djohermansyah, sanksi antara lain diberikan kepada  kepala daerah yang membuat keputusan yang secara khusus menguntungkan keluarga atau golongan tertentu.
Pemberian sanksi terhadap kepada kepala daerah yang melakukan kesalahan pertama adalah teguran tertulis. Jika terguran tersebut tidak diindahkan dan pelanggaran yang sama terulang lagi, kepala daerah tersebut akan diberhentikan sementara selama tiga tahun. Selama diberhentikan dia menjalani pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan.
Selanjutnya, jika usai masih melanggar juga, presiden akan memberhentikan yang bersangkutan. Pemberhentian bupati/wali kota yang melanggar dilakukan  atas rekomendasi gubernur kepada mendagri. Seperti diberitakan, daftar kepala daerah yang melakukan mutasi sembarangan semakin bertambah. Setelah Pemprov Sumut, Pemko Pekanbaru, Kabupaten Kuantansingingi (Kuansing), dan sejumlah daerah lainnya, yang teranyar di Parepare dan Kota Bekasi. Kepala kepala daerah di daerah tersebut, Mendagri Gamawan Fauzi meminta agar kebijakan mutasi itu dievaluasi lagi. Bagi pejabat yang dinonjobkan atau diturunkan eselonnya, harus dikembalikan ke jabatan eselon yang sama.
Gatot Diminta Mundur
Soal mutasi ‘ngawur’ ala Gatot juga masih menjadi pembahasan yang menarik. Meski telah berjanji pada Kemendagri untuk menata ulang, Gatot tetap saja dikritik. Ujung-ujungnya, Gatot dinilai tidak mampu menciptakan pemerintahan yang bersih, dengan masih terus dipertahankannya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Pemprovsu yang disinyalir juga memiliki kerjaan sampingan sebagai koruptor, yang menggerogoti uang rakyat dalam APBD Sumut.
Atas dasar itulah, muncul desakan agar Gatot, bersedia dengan legowo meletakkan jabatan Plt Gubsu yang telah disandangnya beberapa bulan ke belakang ini. Jika tidak mau untuk meletakkan jabatannya, Mendagri diminta mengambil sikap tegas terhadap Gatot, dengan melakukan pencopotan terhadap Gatot.
Inilah yang diminta segenap elemen masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Penyalur Aspirasi Rakyat (Lempar), ketika berdemo di Kantor Gubsu Jalan Diponegoro Medan dan Gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol No 5 Medan, Kamis (17/11).
“Atas fakta-fakta itu, maka kami meminta agar Plt Gubsu untuk dengan profesional meletakkan jabatannya karena dinilai sangat mengganggu kekondusifan pemerintahan di Sumut. Kalau tidak mau juga, maka kita meminta agar Mendagri mencopot Plt Gubsu dari jabatannya dan menunjuk orang yang profesional untuk menjadi Plt Gubsu di Sumut demi kekondufitasan di Sumut,” ujar Koordinator Aksi LSM Lempar, Syawaluddin Harahap dalam orasinya.
Selain itu, massa Lempar juga mengecam dan mengutuk keras tindakan oknum-oknum anggota DPRD Sumut yang tidak konsisten dalam pengajuan Hak Interpelasi terhadap Plt Gubsu, serta mendukung digulirkannya Hak Angket terhadap Plt Gubsu.(sam/ari)

Kepala Daerah Tidak Bisa Lagi Seenaknya Merombak Jabatan

JAKARTA-Para gubernur dan bupati/wali kota nantinya tidak bisa lagi seenaknya melakukan mutasi dan pencopotan pegawai. Jika tetap nekat merombak jabatan tanpa mengikuti aturan, taruhannya adalah digusur alias dicopot dari jabatannya.

Ketentuan ini tercantum dalam Rancangan revisi Undang-Undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti UU Nomor 32 Tahun 2004. “Kepala daerah bisa diberhentikan sementara. Di draf RUU Pemda sanksi itu dicantumkan,” ujar Plt Kepala Biro Hukum Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh kepada Sumut Pos di kantornya, Kamis (17/11).

Apakah yakin ketentuan sanksi itu bisa aplikatif lantaran kepala daerah adalah pejabat politik yang dipilih langsung oleh rakyat? Zudan yakin ketentuan sanksi itu bisa diterapkan.

“Aturan itu sangat aplikatif. Kalau UU sudah mengatur dan memberikan kewenangan kepala mendagri, tentunya aplikatif,” ujar Zudan yang juga profesor bidang hukum itu.

Lantas, bagaimana pemerintah pusat bisa tahu seorang kepala daerah melanggar aturan, misal aturan soal mutasi pegawai? Zudan menjelaskan, itu bukan perkara sulit. Jika seorang kepala daerah sembarangan mencopot pegawai dari jabatannya, maka si korban akan mengadu ke kemendagri. “Kalau ada yang dinonjobkan, mereka pasti datang ke sini,” terangnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kemdagri) Djohermansyah Djohan,  mengatakan pengaturan sanksi ini adalah klausul baru lantaran di UU 32 Tahun 2004 tidak mengatur tentang sanksi. “UU yang dulu tidak mengaturan soal sanksi. Saat ini, kepala daerah tidak bisa aneh-aneh lagi, karena sudah diatur soal sanksi. Yang terberat sampai diberhentikan oleh presiden,” kata Djohermansyah.

Dijelaskan Djohermansyah, sanksi antara lain diberikan kepada  kepala daerah yang membuat keputusan yang secara khusus menguntungkan keluarga atau golongan tertentu.
Pemberian sanksi terhadap kepada kepala daerah yang melakukan kesalahan pertama adalah teguran tertulis. Jika terguran tersebut tidak diindahkan dan pelanggaran yang sama terulang lagi, kepala daerah tersebut akan diberhentikan sementara selama tiga tahun. Selama diberhentikan dia menjalani pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan.
Selanjutnya, jika usai masih melanggar juga, presiden akan memberhentikan yang bersangkutan. Pemberhentian bupati/wali kota yang melanggar dilakukan  atas rekomendasi gubernur kepada mendagri. Seperti diberitakan, daftar kepala daerah yang melakukan mutasi sembarangan semakin bertambah. Setelah Pemprov Sumut, Pemko Pekanbaru, Kabupaten Kuantansingingi (Kuansing), dan sejumlah daerah lainnya, yang teranyar di Parepare dan Kota Bekasi. Kepala kepala daerah di daerah tersebut, Mendagri Gamawan Fauzi meminta agar kebijakan mutasi itu dievaluasi lagi. Bagi pejabat yang dinonjobkan atau diturunkan eselonnya, harus dikembalikan ke jabatan eselon yang sama.
Gatot Diminta Mundur
Soal mutasi ‘ngawur’ ala Gatot juga masih menjadi pembahasan yang menarik. Meski telah berjanji pada Kemendagri untuk menata ulang, Gatot tetap saja dikritik. Ujung-ujungnya, Gatot dinilai tidak mampu menciptakan pemerintahan yang bersih, dengan masih terus dipertahankannya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Pemprovsu yang disinyalir juga memiliki kerjaan sampingan sebagai koruptor, yang menggerogoti uang rakyat dalam APBD Sumut.
Atas dasar itulah, muncul desakan agar Gatot, bersedia dengan legowo meletakkan jabatan Plt Gubsu yang telah disandangnya beberapa bulan ke belakang ini. Jika tidak mau untuk meletakkan jabatannya, Mendagri diminta mengambil sikap tegas terhadap Gatot, dengan melakukan pencopotan terhadap Gatot.
Inilah yang diminta segenap elemen masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Penyalur Aspirasi Rakyat (Lempar), ketika berdemo di Kantor Gubsu Jalan Diponegoro Medan dan Gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol No 5 Medan, Kamis (17/11).
“Atas fakta-fakta itu, maka kami meminta agar Plt Gubsu untuk dengan profesional meletakkan jabatannya karena dinilai sangat mengganggu kekondusifan pemerintahan di Sumut. Kalau tidak mau juga, maka kita meminta agar Mendagri mencopot Plt Gubsu dari jabatannya dan menunjuk orang yang profesional untuk menjadi Plt Gubsu di Sumut demi kekondufitasan di Sumut,” ujar Koordinator Aksi LSM Lempar, Syawaluddin Harahap dalam orasinya.
Selain itu, massa Lempar juga mengecam dan mengutuk keras tindakan oknum-oknum anggota DPRD Sumut yang tidak konsisten dalam pengajuan Hak Interpelasi terhadap Plt Gubsu, serta mendukung digulirkannya Hak Angket terhadap Plt Gubsu.(sam/ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/