30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Gubsu dan Wagubsu Tekor Rp63,2 Miliar

Gaji Gubernur dan Wakil Tak Sebanding Biaya Kampanye

JAKARTA-Penghasilan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Rp327 juta per bulan dan wakil gubernur Rp321 juta per bulan, ternyata masih belum sebanding dengan biaya yang dikeluarkan saat kampanye. Artinya, meski pasangan calon terpilih sudah menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur selama lima tahun, jika mereka hanya makan gaji, mereka tetap saja tekor hingga Rp63,2 miliar.

Ilustrasi Cagubsu//sumut pos
Ilustrasi Cagubsu//sumut pos

Hitung-hitungan kasar, dengan penghasilan per bulan Rp327 juta berdasar rilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) di Jakarta, Minggu (16/12), berarti dalam setahun gubsu mengantongi Rp3,924 miliar. Dalam lima tahun berkuasa, pundi-pundi yang berasal dari gaji plus beragam tunjangan dan insentif pajak retribusi mencapai Rp19,62 miliar. Sedang untuk wagub Sumut, dengan per bulan penghasilannya Rp321 juta, maka setahun Rp3,851 miliar. Dalam lima tahun berkuasa, terkumpul Rp17,225 miliar.

Jika ditotal, penghasilan pasangan terpilih selama 5 tahun adalah Rp36,8 miliar. Tapi ternyata, besarnya jumlah penghasilan selama lima tahun itu tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan saat kampanye pilgub.

Politisi senior asal Sumut, Hasrul Azwar, menyebut angka perkiraan Rp50 miliar hingga Rp100 miliar, yang harus dikeluarkan pasangan cagub-cawagub Sumut untuk kampanye. Artinya, ketekoran pasangan tersebut mencapai Rp63,2 miliar.

“Jadi, besarnya penghasilan itu masih jauh banget dengan biaya untuk maju. Saya hitung, minimal untuk maju di pilgub Sumut itu sekitar Rp50 miliar hingga Rp100 miliar. Jadi kalau tidak korupsi, ya tidak akan balik modal. Kalau dua putaran, biaya lebih besar lagi,” ujar Hasrul Azwar dengan nada enteng kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin (17/12).

Perkiraan Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (Waketum) PPP itu tidak mengada-ngada. Sumut merupakan provinsi besar dengan jumlah kabupaten/kota mencapai 33 daerah. Dia memperkirakan, untuk satu kabupaten/kota, ongkos yang dikeluarkan cagub-cawagub sekitar Rp1 miliar.
Dana Rp1 miliar itu sudah angka minimal untuk keperluan pelatihan para saksi dan honornya, ongkos transport timses dan jurkam, biaya iklan, pembuatan baliho dan percetakannya, dan lain-lain remeh temeh tapi dalam jumlah besar, seperti pamflet-pamflet. “Jadi, pukul rata Rp1 miliar, untuk 33 kabupaten/kota maka sudah Rp33 miliar,” ujar politisi yang sudah beberapa periode duduk sebagai anggota DPR itu.

Nah, untuk posko tim sukses pusat, yang ada di Medan, ongkosnya bisa lebih besar lagi. Untuk rekening telepon, transport Jakarta-Medan, Medan ke sejumlah kabupaten/kota di Sumut, dan belanja semua kebutuhan di posko, Hasrul memperkirakan butuh Rp17 miliar. Dengan demikian, sudah Rp50 miliar.

Biaya akan membengkak lagi ketika pelaksanaan kampanye. Saat jadwal kampanye sudah diatur, maka mobilitas cagub-cawagub dan timsesnya termasuk para jurkam, harus cepat, tidak boleh terlambat. Untuk tiba ke wilayah kepulauan Nias misalnya, maka butuh carter pesawat atau kapal cepat. “Itu memerlukan dana besar,” ujarnya lagi.

Ditekankan lagi, biaya Rp1 miliar per kabupaten/kota merupakan dana cekak. Idealnya, menurut dia, Rp2 miliar per kabupaten/kota. “Kalau saya hitung Rp2 miliar, maka untuk 33 daerah, sudah Rp66 miliar. Ya pokoknya perkiraaan saya, total sekitar Rp100 miliar,” imbuhnya meyakinkan.
Hasrul tidak menyebut komponen pengeluaran calon untuk lobi-lobi petinggi partai dan untuk beli tiket partai pengusung, yang disinyalir jumlahnya juga cukup besar. Terutama bila calon bukan kader partai tapi maju lewat jalur usungan partai.

Lantas dari mana para cagub-cawagub memperoleh dana sebesar itu? Hasrul menyebut sejumlah komponen. Antara lain, dana bantuan dari partai, sumbangan para anggota DPR dari partai penyokong, dan terbesar dari sponsor.

Siapa sponsor itu? Dengan lugas Hasrul menyebut pengusaha, birokrat, serta kalangan BUMN dan BUMD. “Tapi yang dari birokrat dan BUMN dan BUMD itu sifatnya terselubung,” ucapnya.

Nah, para birokrat yang masih menduduki jabatannya saat ini, kata Hasrul, bisa menggelontorkan dana bantuan ke lebih dari satu pasangan cagub-cawagub. Pasangan yang berdasar kalkukasi punya kans kuat, maka akan diberi sumbangan. “Birokrat ini gambling, untung-untungan. Memberi sumbangan ke sejumlah calon, agar siapa pun yang menang nanti, dia tetap dipakai (diberi jabatan empuk, red),” ujar Hasrul.

Kembali ke soal penghasilan gubernur Sumut dan wakilnya. Hasrul mengaku, baru tahu jika penghasilan gubsu Rp327 juta per bulan, wakilnya Rp312 juta per bulan. Angka ini diakui Hasrul, memang jauh lebih besar dibanding penghasilan sebagai anggota DPR.

Berdasar Surat Edaran Setjen DPR RI No KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, anggota DPR biasa bisa membawa pulang Rp 51.567.200 setiap bulan. Anggota merangkap wakil ketua alat kelengkapan DPR 53.647.200, sementara yang merangkap ketua alat kelengkapan DPR bisa membawa pulang Rp54.907.200. Jumlah itu berasal dari gaji plus beragam tunjangan. Untuk gaji pokok anggota DPR Rp4,2 juta. “Ya, memang segitu,” jawab Hasrul saat disebut jumlah penghasilan anggota DPR sebesar itu.

Apakah selisih gaji yang lumayan besar itu yang mendorong anggota DPR memilih ikut maju di pilgub Sumut karena penghasilan gubernur Sumut jauh lebih besar?

Hasrul menjawab tidak. “Kami tidak berorientasi pada penghasilan gubernur Sumut atau wakil gubernur Sumut saat mencalonkan kader kami. Tapi semata dilandasi untuk pengabdian kepada bangsa dan masyarakat Sumut,” ujar Hasrul. Kalau hitung-hitungan duit, dia mengatakan, toh ongkos untuk maju jauh lebih besar dibanding penghasilan.

Seperti diketahui, anggota DPR yang iku maju di pilgub Sumut adalah Chairuman Harahap dan Effendi Simbolon. Sutan Bathoegana juga sempat ngebet, tapi terpental di internal Partai Demokrat.

Sementara itu, gaji gubsu dan wagubsu yang sedemikian dianggap wajar dan tidak menyalahi aturan. Pasalnya, insentif gubsu sebesar Rp327 juta per bulan merupakan penghasilan yang bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari pajak daerah dan retribusi daerah.

Kepala Biro Keuangan Pemprovsu, Bahar Siagian menerangkan berdasarkan PP109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mengamanatkan pada bagian pertama tentang gaji dan tunjangan di Pasal 4 (1) kepala daerah dan wakil kepala daerah diberikan gaji, yang terdiri dari gaji pokok, tunjangan jabatan dan tunjangan lainnya. Kemudian, besarnya gaji pokok kepala daerah dan wakilnya ditetapkan sesuai aturan pemerintah serta ayat berikutnya mengamanatkan, tunjangan jabatan dan tunjangan lainnya sebagaiman dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pejabat negara, kecuali ditentukan lain dengan peraturan perundang-undangan.

Dia menambahkan, aturan lainnya tentang insentif kepala daerah dalam hal ini Gubernur Sumatera Utara diberikan sesuai PP No.69/2010 tentang tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Insentif pajak bagi kepala daerah diberikan memperhitungkan kinerja dalam menggenjot penerimaan negara dan daerah, khususnya dari sektor pajak.

Adapun sumber PAD di Pemprovsu dari pajak daerah dan retribusi daerah. Untuk pajak daerah diantaranya pajak kendaraan bermotor, pajak kendaraan di atas air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN KB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), pajak air bawah tanah, pajak air permukaan. Kemudian, retribusi daerah jasa Umum dan jasa usaha yakni hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan atau pendapatan dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta lain-lain Pendapatan asli daerah yang sah (penjualan asset dan rekening deposito.

Seperti diutarakan Kepala Bagian (Kabag) Penyelenggara Daerah, Biro Otonomi Daerah dan Kerja Sama Pempropvsu Basyarin Tanjung. Menurut dia, insentif kepala daerah berasal dari pajak daerah yang sumbernya sudah diatur dalam perda serta tak bertentangan dengan undang-undang.
“Pola pembagian dan jumlahnya diatur dalam undang-undang serta yang menghitungnya Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Sumut,” katanya. (sam/ril)

Sumber Dana Cagub-Cawagub

1. Bantuan dari partai Hasrul Azwar
2. Sumbangan para anggota DPR dari partai penyokong
3. Sponsor, Yang dimaksud dengan ponsor adalah:
a. pengusaha
b. birokrat
c. kalangan BUMN dan BUMD (sifatnya terselubung)

Pengeluaran Minimum Cagub-Cawagub

  1. Biaya untuk tiap kab/kota Rp1 M atau total untuk 33 Kab/Kota Rp33 M yang digunakan untuk:
    a. untuk keperluan pelatihan para saksi dan honornya
    b. ongkos transport timses dan jurkam
    c. biaya iklan
    d. pembuatan baliho dan percetakannya
    e. dan lain-lain remeh temeh tapi dalam jumlah besar, seperti pamflet-pamflet.
    *catatan, idealnya per kab/kota Rp2 M, jadi total Rp66 M
  2.  Biaya posko tim sukses pusat yang ada di Medan senilai Rp17 M yang digunakan untuk:
    a. rekening telepon
    b. transport Jakarta-Medan,
    c. transport Medan ke sejumlah kabupaten/kota di Sumut
    d. belanja semua kebutuhan di posko
  3. Masa kampanye
    a. dana mobilitas cagub-cawagub
    b. dana mobilitas timses
    c. dana Mobilitas jurkam
    *catatan, dana ini ditaksir besar karena bisa saja mencarter pesawat dan lain-lain.
  4. Pengeluaran lainnya
    a. lobi-lobi petinggi partai
    b. beli tiket partai pengusung
    *catatan, dana disinyalir cukup besar, terutama bila calon bukan kader partai tapi maju lewat jalur usungan partai.

Sumber: Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan PPP, Hasrul Azwar

Gaji Gubernur dan Wakil Tak Sebanding Biaya Kampanye

JAKARTA-Penghasilan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Rp327 juta per bulan dan wakil gubernur Rp321 juta per bulan, ternyata masih belum sebanding dengan biaya yang dikeluarkan saat kampanye. Artinya, meski pasangan calon terpilih sudah menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur selama lima tahun, jika mereka hanya makan gaji, mereka tetap saja tekor hingga Rp63,2 miliar.

Ilustrasi Cagubsu//sumut pos
Ilustrasi Cagubsu//sumut pos

Hitung-hitungan kasar, dengan penghasilan per bulan Rp327 juta berdasar rilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) di Jakarta, Minggu (16/12), berarti dalam setahun gubsu mengantongi Rp3,924 miliar. Dalam lima tahun berkuasa, pundi-pundi yang berasal dari gaji plus beragam tunjangan dan insentif pajak retribusi mencapai Rp19,62 miliar. Sedang untuk wagub Sumut, dengan per bulan penghasilannya Rp321 juta, maka setahun Rp3,851 miliar. Dalam lima tahun berkuasa, terkumpul Rp17,225 miliar.

Jika ditotal, penghasilan pasangan terpilih selama 5 tahun adalah Rp36,8 miliar. Tapi ternyata, besarnya jumlah penghasilan selama lima tahun itu tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan saat kampanye pilgub.

Politisi senior asal Sumut, Hasrul Azwar, menyebut angka perkiraan Rp50 miliar hingga Rp100 miliar, yang harus dikeluarkan pasangan cagub-cawagub Sumut untuk kampanye. Artinya, ketekoran pasangan tersebut mencapai Rp63,2 miliar.

“Jadi, besarnya penghasilan itu masih jauh banget dengan biaya untuk maju. Saya hitung, minimal untuk maju di pilgub Sumut itu sekitar Rp50 miliar hingga Rp100 miliar. Jadi kalau tidak korupsi, ya tidak akan balik modal. Kalau dua putaran, biaya lebih besar lagi,” ujar Hasrul Azwar dengan nada enteng kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin (17/12).

Perkiraan Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (Waketum) PPP itu tidak mengada-ngada. Sumut merupakan provinsi besar dengan jumlah kabupaten/kota mencapai 33 daerah. Dia memperkirakan, untuk satu kabupaten/kota, ongkos yang dikeluarkan cagub-cawagub sekitar Rp1 miliar.
Dana Rp1 miliar itu sudah angka minimal untuk keperluan pelatihan para saksi dan honornya, ongkos transport timses dan jurkam, biaya iklan, pembuatan baliho dan percetakannya, dan lain-lain remeh temeh tapi dalam jumlah besar, seperti pamflet-pamflet. “Jadi, pukul rata Rp1 miliar, untuk 33 kabupaten/kota maka sudah Rp33 miliar,” ujar politisi yang sudah beberapa periode duduk sebagai anggota DPR itu.

Nah, untuk posko tim sukses pusat, yang ada di Medan, ongkosnya bisa lebih besar lagi. Untuk rekening telepon, transport Jakarta-Medan, Medan ke sejumlah kabupaten/kota di Sumut, dan belanja semua kebutuhan di posko, Hasrul memperkirakan butuh Rp17 miliar. Dengan demikian, sudah Rp50 miliar.

Biaya akan membengkak lagi ketika pelaksanaan kampanye. Saat jadwal kampanye sudah diatur, maka mobilitas cagub-cawagub dan timsesnya termasuk para jurkam, harus cepat, tidak boleh terlambat. Untuk tiba ke wilayah kepulauan Nias misalnya, maka butuh carter pesawat atau kapal cepat. “Itu memerlukan dana besar,” ujarnya lagi.

Ditekankan lagi, biaya Rp1 miliar per kabupaten/kota merupakan dana cekak. Idealnya, menurut dia, Rp2 miliar per kabupaten/kota. “Kalau saya hitung Rp2 miliar, maka untuk 33 daerah, sudah Rp66 miliar. Ya pokoknya perkiraaan saya, total sekitar Rp100 miliar,” imbuhnya meyakinkan.
Hasrul tidak menyebut komponen pengeluaran calon untuk lobi-lobi petinggi partai dan untuk beli tiket partai pengusung, yang disinyalir jumlahnya juga cukup besar. Terutama bila calon bukan kader partai tapi maju lewat jalur usungan partai.

Lantas dari mana para cagub-cawagub memperoleh dana sebesar itu? Hasrul menyebut sejumlah komponen. Antara lain, dana bantuan dari partai, sumbangan para anggota DPR dari partai penyokong, dan terbesar dari sponsor.

Siapa sponsor itu? Dengan lugas Hasrul menyebut pengusaha, birokrat, serta kalangan BUMN dan BUMD. “Tapi yang dari birokrat dan BUMN dan BUMD itu sifatnya terselubung,” ucapnya.

Nah, para birokrat yang masih menduduki jabatannya saat ini, kata Hasrul, bisa menggelontorkan dana bantuan ke lebih dari satu pasangan cagub-cawagub. Pasangan yang berdasar kalkukasi punya kans kuat, maka akan diberi sumbangan. “Birokrat ini gambling, untung-untungan. Memberi sumbangan ke sejumlah calon, agar siapa pun yang menang nanti, dia tetap dipakai (diberi jabatan empuk, red),” ujar Hasrul.

Kembali ke soal penghasilan gubernur Sumut dan wakilnya. Hasrul mengaku, baru tahu jika penghasilan gubsu Rp327 juta per bulan, wakilnya Rp312 juta per bulan. Angka ini diakui Hasrul, memang jauh lebih besar dibanding penghasilan sebagai anggota DPR.

Berdasar Surat Edaran Setjen DPR RI No KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, anggota DPR biasa bisa membawa pulang Rp 51.567.200 setiap bulan. Anggota merangkap wakil ketua alat kelengkapan DPR 53.647.200, sementara yang merangkap ketua alat kelengkapan DPR bisa membawa pulang Rp54.907.200. Jumlah itu berasal dari gaji plus beragam tunjangan. Untuk gaji pokok anggota DPR Rp4,2 juta. “Ya, memang segitu,” jawab Hasrul saat disebut jumlah penghasilan anggota DPR sebesar itu.

Apakah selisih gaji yang lumayan besar itu yang mendorong anggota DPR memilih ikut maju di pilgub Sumut karena penghasilan gubernur Sumut jauh lebih besar?

Hasrul menjawab tidak. “Kami tidak berorientasi pada penghasilan gubernur Sumut atau wakil gubernur Sumut saat mencalonkan kader kami. Tapi semata dilandasi untuk pengabdian kepada bangsa dan masyarakat Sumut,” ujar Hasrul. Kalau hitung-hitungan duit, dia mengatakan, toh ongkos untuk maju jauh lebih besar dibanding penghasilan.

Seperti diketahui, anggota DPR yang iku maju di pilgub Sumut adalah Chairuman Harahap dan Effendi Simbolon. Sutan Bathoegana juga sempat ngebet, tapi terpental di internal Partai Demokrat.

Sementara itu, gaji gubsu dan wagubsu yang sedemikian dianggap wajar dan tidak menyalahi aturan. Pasalnya, insentif gubsu sebesar Rp327 juta per bulan merupakan penghasilan yang bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari pajak daerah dan retribusi daerah.

Kepala Biro Keuangan Pemprovsu, Bahar Siagian menerangkan berdasarkan PP109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mengamanatkan pada bagian pertama tentang gaji dan tunjangan di Pasal 4 (1) kepala daerah dan wakil kepala daerah diberikan gaji, yang terdiri dari gaji pokok, tunjangan jabatan dan tunjangan lainnya. Kemudian, besarnya gaji pokok kepala daerah dan wakilnya ditetapkan sesuai aturan pemerintah serta ayat berikutnya mengamanatkan, tunjangan jabatan dan tunjangan lainnya sebagaiman dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pejabat negara, kecuali ditentukan lain dengan peraturan perundang-undangan.

Dia menambahkan, aturan lainnya tentang insentif kepala daerah dalam hal ini Gubernur Sumatera Utara diberikan sesuai PP No.69/2010 tentang tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Insentif pajak bagi kepala daerah diberikan memperhitungkan kinerja dalam menggenjot penerimaan negara dan daerah, khususnya dari sektor pajak.

Adapun sumber PAD di Pemprovsu dari pajak daerah dan retribusi daerah. Untuk pajak daerah diantaranya pajak kendaraan bermotor, pajak kendaraan di atas air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN KB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), pajak air bawah tanah, pajak air permukaan. Kemudian, retribusi daerah jasa Umum dan jasa usaha yakni hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan atau pendapatan dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta lain-lain Pendapatan asli daerah yang sah (penjualan asset dan rekening deposito.

Seperti diutarakan Kepala Bagian (Kabag) Penyelenggara Daerah, Biro Otonomi Daerah dan Kerja Sama Pempropvsu Basyarin Tanjung. Menurut dia, insentif kepala daerah berasal dari pajak daerah yang sumbernya sudah diatur dalam perda serta tak bertentangan dengan undang-undang.
“Pola pembagian dan jumlahnya diatur dalam undang-undang serta yang menghitungnya Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Sumut,” katanya. (sam/ril)

Sumber Dana Cagub-Cawagub

1. Bantuan dari partai Hasrul Azwar
2. Sumbangan para anggota DPR dari partai penyokong
3. Sponsor, Yang dimaksud dengan ponsor adalah:
a. pengusaha
b. birokrat
c. kalangan BUMN dan BUMD (sifatnya terselubung)

Pengeluaran Minimum Cagub-Cawagub

  1. Biaya untuk tiap kab/kota Rp1 M atau total untuk 33 Kab/Kota Rp33 M yang digunakan untuk:
    a. untuk keperluan pelatihan para saksi dan honornya
    b. ongkos transport timses dan jurkam
    c. biaya iklan
    d. pembuatan baliho dan percetakannya
    e. dan lain-lain remeh temeh tapi dalam jumlah besar, seperti pamflet-pamflet.
    *catatan, idealnya per kab/kota Rp2 M, jadi total Rp66 M
  2.  Biaya posko tim sukses pusat yang ada di Medan senilai Rp17 M yang digunakan untuk:
    a. rekening telepon
    b. transport Jakarta-Medan,
    c. transport Medan ke sejumlah kabupaten/kota di Sumut
    d. belanja semua kebutuhan di posko
  3. Masa kampanye
    a. dana mobilitas cagub-cawagub
    b. dana mobilitas timses
    c. dana Mobilitas jurkam
    *catatan, dana ini ditaksir besar karena bisa saja mencarter pesawat dan lain-lain.
  4. Pengeluaran lainnya
    a. lobi-lobi petinggi partai
    b. beli tiket partai pengusung
    *catatan, dana disinyalir cukup besar, terutama bila calon bukan kader partai tapi maju lewat jalur usungan partai.

Sumber: Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan PPP, Hasrul Azwar

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/