30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Sidang Sengketa Pilpres di MK, KPU: Dalil Paslon 02 Tidak Jelas & Kabur

DEBAT
Ketua Tim Hukum Paslon 02 Bambang Wijayanto berdebat dengan Ketua KPU Arief Budiman, di sela sidang sengketa hasil Pilpres 2019 yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (18/6).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi Pemilihan Umum ( KPU) menyebut permohonan sengketa pilpres yang diajukan Prabowo-Sandi tidak jelas atau kabur (obscuur libel). Hal ini tercantum dalam berkas jawaban yang diserahkan KPU ke MK untuk menjawab gugatan Prabowo-Sandin

pasangan capres nomor urut 02. KPU menilai, dalil dalam permohonan paslon 02 banyak yang tidak memiliki fakta dan bukti.

“Jelas terbukti bahwa permohonan pemohon tidak jelas (obscuur libel) sehingga menurut hukum permohonan pemohon a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima,” kata Kuasa Hukum KPU, Ali Nurdin saat membacakan keterangan termohon atas gugatan pemohon dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (18/6).

Gugatan yang tidak jelas itu, misalnya, soal dalil adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang diduga dilakukan oleh pihak terkait dalam hal ini paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf. Menurut KPU, kubu Prabowo tidak menguraikan secara jelas kapan, di mana, dan bagaimana pelanggaran dilakukan atau siapa melakukan apa, kapan, di mana, dan bagaimana cara melakukannya.

Dalam berkas permohonan, KPU menyebut bahwa semuanya serba tidak jelas dan menyulitkan pihaknya untuk memberikan tanggapan atas dalil-dalil pemohon a quo.

Dalil permohonan kubu Prabowo soal 17,5 juta pemilih yang tak masuk akal dalam DPT juga dinilai KPU kabur. Sebab, pemohon tidak menjelaskan siapa saja mereka, bagaimana faktanya yang dimaksud DPT tidak masuk akal, dari daerah mana saja mereka, dan apakah mereka menggunakan hak pilih di TPS mana saja, dan kepada siapa mereka menentukan pilihan, serta kerugian apa yang diderita pemohon.

Soal tudingan pemilih usia kurang dari 17 tahun sebanyak 20.475 orang pun dianggap tak jelas. Sebab, pemohon tidak menyebutkan siapa mereka, apakah mereka menggunakan hak pilih atau tidak, di TPS mana mereka menggunakan hak pilih, dan kepada siapa mereka menentukan pilihan.

Begitu pun tudingan mengenai pemilih berusia lebih dari 90 tahun, banyaknya pemilih dalam satu kartu keluarga (KK), DPT invalid dan DPT ganda, Situng, hingga tudingan penghilangan C7 atau daftar hadir pemilih di TPS, seluruhnya dinilai tidak jelas.

Menurut Ali, materi pemohon justru mengenai hal-hal yang di luar peran penyelenggara pemilu. Dengan demikian, tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif tidak berpengaruh terhadap perolehan suara dalam pemilu.

Gagal Paham soal Situng

KPU juga menilai, paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandi telah keliru dan gagal paham mengenai Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng). Hal “Pemohon telah keliru atau gagal paham dalam menempatkan Situng pada proses penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara,” kata Ali di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (18/6).

Ali menegaskan, pencatatan data pada Situng KPU bukan merupakan sumber data rekapitulasi berjenjang yang menjadi dasar penghitungan perolehan suara tingkat nasional. Situng hanyalah alat bantu yang berbasis pada teknologi informasi untuk mendukung akuntabilitas kinerja dalam pelaksanaan tahapan pemungutan penghitungan rekapitulasi, serta penetapan hasil penghitungan suara Pemilu 2019.

Hal ini telah ditegaskan dalam keputusan KPU Nomor 536 tahun 2009 tentang petunjuk penggunaan sistem informasi penghitungan suara pemilu 2019.

KPU mengakui bahwa terdapat kesalahan pencatatan data Situng. Namun demikian, kesalahan tersebut telah diperbaiki. Kesalahan ini pun hanya berkisar 0,00026 persen, sehingga dinilai tidak signifikan jika kubu Prabowo menyimpulkan adanya rekayasa untuk melakukan manipulasi perolehan suara.

“Tuduhan rekayasa Situng untuk memenangkan salah satu pasangan calon adalah tuduhan yang tidak benar atau bohong,” ujar Ali.

Ali Nurdin juga mengatakan, bukti berupa link berita yang digunakan tim hukum pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga tidak sah sebagai alat bukti. Ali mengacu pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilpres.

“Dalil bahwa link berita sebagai alat bukti tidak berdasar. Sesuai Peraturan MK, alat bukti meliputi surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, alat bukti lain, dan petunjuk,” ujar Ali dalam sidang lanjutan sengketa pilpres, di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (18/6).

Ali mengatakan hal itu mengacu pada Pasal 36 PMK Nomor 4 Tahun 2018. Sementara itu dalam Pasal 37, diatur lebih lanjut mengenai alat bukti surat atau tulisan. Alat bukti surat atau tulisan yang dimaksud meliputi keputusan KPU tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara, keputusan KPU tentang penetapan paslon, berita acara hasil rekapitulasi suara di tiap tingkatan, dan salinan putusan pengadilan.

“Bukti link berita bukan bukti surat atau tulisan. Oleh karena itu alat bukti pemohon tidak memenuhi syarat,” kata Ali.

KPU: Tim 02 Gembar-gemborkan Intimidasi Saksi

Komisi Pemilihan Umum menekankan bahwa tim hukum Prabowo-Sandiaga harus membuktikan seluruh tuduhan kecurangan yang didalilkan dalam gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi.

Hal itu ditegaskan KPU untuk menjawab permohonan gugatan Prabowo-Sandiaga agar beban pembuktian kecurangan Pilpres juga dibebankan kepada MK.

“Dalil itu tidak berdasar karena prinsip yang bersifat universal siapa yang mendalilkan, dialah yang membuktikan… Karena pemohon yang mendalilkan kecurangan, sudah seharusnya pemohon pula yang membuktikan,” ucap kuasa hukum KPU Ali Nurdin saat membacakan jawaban KP.

KPU merasa, tim hukum 02 telah menggembar-gemborkan adanya ancaman atau intimidasi terhadap para saksi sehingga meminta MK membuat sistem perlindungan. Padahal, menurut KPU, kesulitan pembuktian tim Prabowo-Sandiaga bukan semata-mata karena faktor yang digembar-gemborkan tersebut.

“Akan tetapi karena ketidakjelasan dalil yang dibangun yang tidak didasari fakta-fakta dan bukti-bukti yang jelas,” ucapnya.

Ali memberi contoh tuduhan kecurangan yang disampaikan tim 02, yakni adanya pembukaan kotak suara di parkiran Alfamart. Padahal, kata dia, tim 02 tidak mengetahui persis di mana lokasinya. Tim 02 hanya menggunakan cuplikan video yang disebut lokasinya di parkiran Alfamart. Masalahnya, ada belasan ribu toko Alfamart di Indonesia. Bagaimana mungkin MK memanggil saksi untuk membuktikan tuduhan tersebut?

Menurut Ali, tanpa penjelasan detail, proses pembuktian bakal menemui kesulitan. MK juga sulit membuktikan keterkaitan kecurangan Pilpres 2019 dengan insiden kotak suara dibuka di area parkir salah satu swalayan.

“Pemohon yang mendalilkan kecurangan, maka sudah seharusnya pemohon pula yang membuktikan,” ucap Ali.

Dengan demikian, kata Ali, memaksakan MK untuk mendapat beban pembuktian merupakan pelanggaran dari asas peradilan yang cepat, murah, dan sederhana. “Dengan demikian dalil pemohon tidak beralasan dan harus ditolak,” ujar Ali.

KPU menyebut, semua data yang dipersoalkan tim hukum calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sebenarnya sudah pernah diselesaikan sebelum ada gugatan di Mahkamah Konstitusi. “Semua data yang dipermasalahkan sudah diverifikasi bersama dan dinyatakan memenuhi syarat,” ujar Ali Nurdin.

Menurut Ali, pernah dilakukan 7 kali koordinasi antara pihak pemohon, yakni paslon 02 dan pihak terkait, yakni KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hasilnya, Bawaslu tidak pernah sekali pun menyatakan ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif. KPU juga telah menindaklanjuti permasalahan soal data itu kepada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

KPU juga melakukan pengolahan data dengan verifikasi faktual. Tak hanya itu, KPU pernah menghadirkan ahli statistik.

Karena itu, KPU meminta MK menolak permohonan sengketa hasil Pilpres 2019 yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait rekapitulasi perolehan suara. Ali meminta MK menyatakan hasil rekapitulasi perolehan suara yang diumumkan KPU pada 21 Mei lalu sebagai hasil yang benar.

“Termohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan benar keputusan KPU RI tentang penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu 2019,” ujar Ali dalam sidang.

Hasil rekapitulasi yang diumumkan KPU menunjukkan hasil perolehan suara pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul dari pasangan Prabowo Subianto Sandiaga Uno. Pasangan Jokowi-Ma’ruf memperoleh sebanyak 85.607.362 suara. Sedangkan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mendapat 68.650.239 suara. “Menetapkan perolehan suara pemilu presiden dan wakil presiden yang benar adalah sebagai berikut, pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin 85.607.362. Dua, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno 68.650.239,” kata Ali.

“Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya,” ucapnya.

Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan sengketa hasil pilpres pada Jumat (14/6/2019), tim kuasa hukum pasangan Prabowo-Sandiaga meminta MK membatalkan keputusan KPU tentang penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara nasional yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. (kps/bbs)

DEBAT
Ketua Tim Hukum Paslon 02 Bambang Wijayanto berdebat dengan Ketua KPU Arief Budiman, di sela sidang sengketa hasil Pilpres 2019 yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (18/6).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi Pemilihan Umum ( KPU) menyebut permohonan sengketa pilpres yang diajukan Prabowo-Sandi tidak jelas atau kabur (obscuur libel). Hal ini tercantum dalam berkas jawaban yang diserahkan KPU ke MK untuk menjawab gugatan Prabowo-Sandin

pasangan capres nomor urut 02. KPU menilai, dalil dalam permohonan paslon 02 banyak yang tidak memiliki fakta dan bukti.

“Jelas terbukti bahwa permohonan pemohon tidak jelas (obscuur libel) sehingga menurut hukum permohonan pemohon a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima,” kata Kuasa Hukum KPU, Ali Nurdin saat membacakan keterangan termohon atas gugatan pemohon dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (18/6).

Gugatan yang tidak jelas itu, misalnya, soal dalil adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang diduga dilakukan oleh pihak terkait dalam hal ini paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf. Menurut KPU, kubu Prabowo tidak menguraikan secara jelas kapan, di mana, dan bagaimana pelanggaran dilakukan atau siapa melakukan apa, kapan, di mana, dan bagaimana cara melakukannya.

Dalam berkas permohonan, KPU menyebut bahwa semuanya serba tidak jelas dan menyulitkan pihaknya untuk memberikan tanggapan atas dalil-dalil pemohon a quo.

Dalil permohonan kubu Prabowo soal 17,5 juta pemilih yang tak masuk akal dalam DPT juga dinilai KPU kabur. Sebab, pemohon tidak menjelaskan siapa saja mereka, bagaimana faktanya yang dimaksud DPT tidak masuk akal, dari daerah mana saja mereka, dan apakah mereka menggunakan hak pilih di TPS mana saja, dan kepada siapa mereka menentukan pilihan, serta kerugian apa yang diderita pemohon.

Soal tudingan pemilih usia kurang dari 17 tahun sebanyak 20.475 orang pun dianggap tak jelas. Sebab, pemohon tidak menyebutkan siapa mereka, apakah mereka menggunakan hak pilih atau tidak, di TPS mana mereka menggunakan hak pilih, dan kepada siapa mereka menentukan pilihan.

Begitu pun tudingan mengenai pemilih berusia lebih dari 90 tahun, banyaknya pemilih dalam satu kartu keluarga (KK), DPT invalid dan DPT ganda, Situng, hingga tudingan penghilangan C7 atau daftar hadir pemilih di TPS, seluruhnya dinilai tidak jelas.

Menurut Ali, materi pemohon justru mengenai hal-hal yang di luar peran penyelenggara pemilu. Dengan demikian, tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif tidak berpengaruh terhadap perolehan suara dalam pemilu.

Gagal Paham soal Situng

KPU juga menilai, paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandi telah keliru dan gagal paham mengenai Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng). Hal “Pemohon telah keliru atau gagal paham dalam menempatkan Situng pada proses penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara,” kata Ali di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (18/6).

Ali menegaskan, pencatatan data pada Situng KPU bukan merupakan sumber data rekapitulasi berjenjang yang menjadi dasar penghitungan perolehan suara tingkat nasional. Situng hanyalah alat bantu yang berbasis pada teknologi informasi untuk mendukung akuntabilitas kinerja dalam pelaksanaan tahapan pemungutan penghitungan rekapitulasi, serta penetapan hasil penghitungan suara Pemilu 2019.

Hal ini telah ditegaskan dalam keputusan KPU Nomor 536 tahun 2009 tentang petunjuk penggunaan sistem informasi penghitungan suara pemilu 2019.

KPU mengakui bahwa terdapat kesalahan pencatatan data Situng. Namun demikian, kesalahan tersebut telah diperbaiki. Kesalahan ini pun hanya berkisar 0,00026 persen, sehingga dinilai tidak signifikan jika kubu Prabowo menyimpulkan adanya rekayasa untuk melakukan manipulasi perolehan suara.

“Tuduhan rekayasa Situng untuk memenangkan salah satu pasangan calon adalah tuduhan yang tidak benar atau bohong,” ujar Ali.

Ali Nurdin juga mengatakan, bukti berupa link berita yang digunakan tim hukum pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga tidak sah sebagai alat bukti. Ali mengacu pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilpres.

“Dalil bahwa link berita sebagai alat bukti tidak berdasar. Sesuai Peraturan MK, alat bukti meliputi surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, alat bukti lain, dan petunjuk,” ujar Ali dalam sidang lanjutan sengketa pilpres, di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (18/6).

Ali mengatakan hal itu mengacu pada Pasal 36 PMK Nomor 4 Tahun 2018. Sementara itu dalam Pasal 37, diatur lebih lanjut mengenai alat bukti surat atau tulisan. Alat bukti surat atau tulisan yang dimaksud meliputi keputusan KPU tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara, keputusan KPU tentang penetapan paslon, berita acara hasil rekapitulasi suara di tiap tingkatan, dan salinan putusan pengadilan.

“Bukti link berita bukan bukti surat atau tulisan. Oleh karena itu alat bukti pemohon tidak memenuhi syarat,” kata Ali.

KPU: Tim 02 Gembar-gemborkan Intimidasi Saksi

Komisi Pemilihan Umum menekankan bahwa tim hukum Prabowo-Sandiaga harus membuktikan seluruh tuduhan kecurangan yang didalilkan dalam gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi.

Hal itu ditegaskan KPU untuk menjawab permohonan gugatan Prabowo-Sandiaga agar beban pembuktian kecurangan Pilpres juga dibebankan kepada MK.

“Dalil itu tidak berdasar karena prinsip yang bersifat universal siapa yang mendalilkan, dialah yang membuktikan… Karena pemohon yang mendalilkan kecurangan, sudah seharusnya pemohon pula yang membuktikan,” ucap kuasa hukum KPU Ali Nurdin saat membacakan jawaban KP.

KPU merasa, tim hukum 02 telah menggembar-gemborkan adanya ancaman atau intimidasi terhadap para saksi sehingga meminta MK membuat sistem perlindungan. Padahal, menurut KPU, kesulitan pembuktian tim Prabowo-Sandiaga bukan semata-mata karena faktor yang digembar-gemborkan tersebut.

“Akan tetapi karena ketidakjelasan dalil yang dibangun yang tidak didasari fakta-fakta dan bukti-bukti yang jelas,” ucapnya.

Ali memberi contoh tuduhan kecurangan yang disampaikan tim 02, yakni adanya pembukaan kotak suara di parkiran Alfamart. Padahal, kata dia, tim 02 tidak mengetahui persis di mana lokasinya. Tim 02 hanya menggunakan cuplikan video yang disebut lokasinya di parkiran Alfamart. Masalahnya, ada belasan ribu toko Alfamart di Indonesia. Bagaimana mungkin MK memanggil saksi untuk membuktikan tuduhan tersebut?

Menurut Ali, tanpa penjelasan detail, proses pembuktian bakal menemui kesulitan. MK juga sulit membuktikan keterkaitan kecurangan Pilpres 2019 dengan insiden kotak suara dibuka di area parkir salah satu swalayan.

“Pemohon yang mendalilkan kecurangan, maka sudah seharusnya pemohon pula yang membuktikan,” ucap Ali.

Dengan demikian, kata Ali, memaksakan MK untuk mendapat beban pembuktian merupakan pelanggaran dari asas peradilan yang cepat, murah, dan sederhana. “Dengan demikian dalil pemohon tidak beralasan dan harus ditolak,” ujar Ali.

KPU menyebut, semua data yang dipersoalkan tim hukum calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sebenarnya sudah pernah diselesaikan sebelum ada gugatan di Mahkamah Konstitusi. “Semua data yang dipermasalahkan sudah diverifikasi bersama dan dinyatakan memenuhi syarat,” ujar Ali Nurdin.

Menurut Ali, pernah dilakukan 7 kali koordinasi antara pihak pemohon, yakni paslon 02 dan pihak terkait, yakni KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hasilnya, Bawaslu tidak pernah sekali pun menyatakan ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif. KPU juga telah menindaklanjuti permasalahan soal data itu kepada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

KPU juga melakukan pengolahan data dengan verifikasi faktual. Tak hanya itu, KPU pernah menghadirkan ahli statistik.

Karena itu, KPU meminta MK menolak permohonan sengketa hasil Pilpres 2019 yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait rekapitulasi perolehan suara. Ali meminta MK menyatakan hasil rekapitulasi perolehan suara yang diumumkan KPU pada 21 Mei lalu sebagai hasil yang benar.

“Termohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan benar keputusan KPU RI tentang penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu 2019,” ujar Ali dalam sidang.

Hasil rekapitulasi yang diumumkan KPU menunjukkan hasil perolehan suara pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul dari pasangan Prabowo Subianto Sandiaga Uno. Pasangan Jokowi-Ma’ruf memperoleh sebanyak 85.607.362 suara. Sedangkan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mendapat 68.650.239 suara. “Menetapkan perolehan suara pemilu presiden dan wakil presiden yang benar adalah sebagai berikut, pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin 85.607.362. Dua, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno 68.650.239,” kata Ali.

“Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya,” ucapnya.

Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan sengketa hasil pilpres pada Jumat (14/6/2019), tim kuasa hukum pasangan Prabowo-Sandiaga meminta MK membatalkan keputusan KPU tentang penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara nasional yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. (kps/bbs)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/