JAYAPURA, SUMUTPOS.CO – Kapolda Papua Irjen Pol Yotje Mende membantah adanya aksi pembakaran mushola di Kabupaten Tolikara Papua direncanakan. Yang benar adalah yang kali pertama dibakar adalah kios milik warga yang merembet melewati 6 kios lainnya. Kobarang api akhirnya merembet dan menghanguskan mushola yang terbuat dari kayu.
“Jadi, apabila ada yang mengatakan kalau mushola dibakar secara sengaja itu tidak benar adanya,” tegasnya.
Kapolda mengaku sudah mengunjungi Kabupaten Tolikara secara langsung dan melakukan rapat bersama dengan Pangdam XVII Cenderawasih, Bupati Tolikara, Kapolres Tolikara, dan pimpinan GIdI serta pimpinan tokoh agama di Kabupaten Tolikara untuk memaparkan situasi tersebut.
Dari rapat koordinasi tersebut Presiden GidI Pdt. Dorman Wanimbo mengungkapkan bahwa masalah ini diawali dengan adanya surat edaran yang ditandatangani oleh Pdt Nayus Wenda dan Pdt. Marthen Jingga yang melarang salat Idul fitri dengan alasan adanya peraturan Bupati, akan tetapi Bupati Tolikara dan presiden GidI itu membantah tidak pernah ada seruan dan merekomendasikan seruan seperti itu.
“Jadi peredaran surat itu atas inisiatif yang bersangkutan sendiri, pemerintah tidak pernah melarang umat agama lain untuk melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya. Ini yang sedang kami selidiki dan tim sedang bekerja,” ungkapnya kepada wartawan pada saat jumpa pers di Polda Papua Sabtu (18/7).
Kata Yotje, yang kedua dibahas adalah konggres GidI internasional yang dilakukan di Kabupaten Tolikara tersebut. Pemuda-pemuda GidI salah tafsir terhadap masalah itu sehingga pada saat takbiran, ada pelemparan dari kelompok yang sedang melaksanakan seminar yang jaraknya antara 75 sampai 100 meter dari tempat Salat. Mereka spontan melempar karena mendengar suara speaker yang keras.
“Jadi masalah ini spontan dilakukan, tidak ada rencana untuk menyerang atau apapun. Pada saat mereka melakukan pelemparan maka umat yang sedang melaksanakan ibadah salat Idul Fitri ini langsung mengamankan diri di lapangan belakang Koramil Tolikara. Ini adalah keterangan presiden GIdI,” katanya.
Ditambahkan, masalah ini perlu untuk diluruskan tidak ada perencanaan untuk melakukan pembubaran itu atau direkomendasikan oleh Presiden GIdI, tidak ada pimpinan yang merekomendasikan itu tetapi ini spontan dari pemuda-pemuda yang sedang mengikuti kongres dan KKR GIdI tersebut.
Menurut Yotje, Kapolres Tolikara ada disitu dan langsung berdiri dan menenangkan masa yang pada saat penyerangan pertama itu berjumlah 300 orang tetapi berkembang menjadi 500 orang dan menjadi banyak karena pelaksanaan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) ini pesertanya dari seluruh Indonesia.
“Jadi karena mereka sudah beringas melempar batu ke arah umat muslim namun tidak ada korban karena mereka berlari menyelamatkan diri kebelakang koramil dan masa berhadapan dengan aparat keamanan yang pada saat itu mengeluarkan tembakan peringatan dan ini masih diselidiki ,” tambahnya.