28 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Pilkada oleh DPRD, Publik Salahkan SBY

Ardian Sopa, Peneliti LSI.
Ardian Sopa, Peneliti LSI.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Hasil terbaru penelitian LSI menyatakan mayoritas publik akan menyalahkan Presiden sekaligus pendiri Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kalau Pilkada diwakili oleh DPRD. SBY memegang ‘kartu truf’ RUU Pilkada yang kini menjadi komoditi politik di DPR. Jika pemerintah bilang tak setuju, polemik pilkada akan dilakukan langsung atau lewat DPRD sudah selesai.

“Sebesar 83,07 persen responden menyatakan bahwa presiden paling bersalah jika hak politik warga memilih secara langsung kepala daerah dicabut dan dikembalikan ke DPRD. Hanya 13,41 persen publik yang menyatakan SBY tidak dapat disalahkan,” papar Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Ardian Sopa saat konferensi pers di kantor LSI, Jakarta, Kamis (18/9).

Tak hanya itu, menurut temuan LSI publik lebih menyalahkan presiden SBY ketimbang anggota DPR kalau RUU Pilkada lolos.

“Sebanyak 60,68 persen publik salahkan presiden SBY. Sedangkan yang salahkan DPR RI hanya 32,72 persen,” beber Ardian.

Survei LSI ini dilakukan pada 14 hingga 16 September, dengan menggunakan metode multistage random sampling dan melibatkan 1.200 responden. Survei LSI kali ini memiliki margin of error kurang lebih 2,9 persen. Survei tersebut dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia dan disertai penelitian kualitatif dengan metode analisis media, forum group discussion (FGD), dan in depth interview.

LSI menyatakan publik menilai jika SBY memiliki peluang menyelamatkan perjalanan demokrasi di Indonesia mengacu pada posisinya sebagai figur utama di Partai Demokrat, yakni partai yang akan menjadi penentu antara koalisi pendukung pilkada langsung atau pilkada melalui DPRD.

Ardian menekankan, publik menyadari bahwa jika RUU Pilkada diputuskan oleh DPR maka pihak pendukung pilkada oleh DPRD yakni partai Koalisi Merah Putih akan menang, karena koalisi itu memiliki komposisi kursi terbesar di parlemen.

Oleh karena itu, kata Ardian, publik berharap SBY dapat mengambil sikap tegas dalam kapasitasnya sebagai presiden.

“Sikap tegas yang diharapkan publik adalah presiden menarik kembali RUU yang tengah dibahas di DPR karena undang-undang tersebut berawal dari inisiatif pemerintah. Jika presiden menarik kembali RUU tersebut maka pembahasan RUU di DPR tidak dapat dilanjutkan,” lanjut Ardian.

Jika tidak bisa, publik berharap SBY bisa menggunakan kapasitasnya sebagai ketua umum partai terbesar di parlemen itu untuk bisa mengarahkan agar Demokrat mendukung pilkada langsung atau tak mengambil opsi voting.

Kendati begitu, lanjut Ardian, dukungan Demokrat terhadap pilkada secara langsung dinilai belum menjadi jaminan RUU Pilkada opsi pilkada langsung bakal lolos menjadi UU jika pengesahan harus voting di parlemen.

Ardian mengatakan dukungan pilkada langsung dari partai berlambang mercy itu memang mengubah konstelasi politik di Senayan. Sebab, pendukung Pilkada langsung secara otomatis menjadi mayoritas, yakni 287 kursi di parlemen atau 51,79 persen.

Sedang kubu Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung pilkada oleh DPRD, jumlah kursinya di parlemen 273.

“Pendukung Pilkada langsung memang jadi mayoritas, tetapi ini adalah hitungan matematis. Kita tahu ketika paripurna tidak semua orang bisa hadir, sehingga ketika proses voting masih sangat berbahaya, akan sangat riskan,” katanya.

Dia menilai, internal Demokrat sendiri belum begitu solid. Hal ini bisa berimbas ke para anggota fraksi Demokrat di DPR ketika proses pengambilan keputusan RUU pilkada nanti, yang dijadwalkan 25 September 2014.

“Tak jadi garansi ketika sudah mendukung (Pilkada langsung) kemudian di akhirnya akan jadi kenyataan. Karena kita tahu bahwa partai Demokrat juga kesolidannya masih dipertanyakan. Apakah semua anggota DPR yang tidak terpilih lagi akan tetap perjuangkan instruksi partai ini,” tandasnya. (bbs/val)

Ardian Sopa, Peneliti LSI.
Ardian Sopa, Peneliti LSI.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Hasil terbaru penelitian LSI menyatakan mayoritas publik akan menyalahkan Presiden sekaligus pendiri Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kalau Pilkada diwakili oleh DPRD. SBY memegang ‘kartu truf’ RUU Pilkada yang kini menjadi komoditi politik di DPR. Jika pemerintah bilang tak setuju, polemik pilkada akan dilakukan langsung atau lewat DPRD sudah selesai.

“Sebesar 83,07 persen responden menyatakan bahwa presiden paling bersalah jika hak politik warga memilih secara langsung kepala daerah dicabut dan dikembalikan ke DPRD. Hanya 13,41 persen publik yang menyatakan SBY tidak dapat disalahkan,” papar Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Ardian Sopa saat konferensi pers di kantor LSI, Jakarta, Kamis (18/9).

Tak hanya itu, menurut temuan LSI publik lebih menyalahkan presiden SBY ketimbang anggota DPR kalau RUU Pilkada lolos.

“Sebanyak 60,68 persen publik salahkan presiden SBY. Sedangkan yang salahkan DPR RI hanya 32,72 persen,” beber Ardian.

Survei LSI ini dilakukan pada 14 hingga 16 September, dengan menggunakan metode multistage random sampling dan melibatkan 1.200 responden. Survei LSI kali ini memiliki margin of error kurang lebih 2,9 persen. Survei tersebut dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia dan disertai penelitian kualitatif dengan metode analisis media, forum group discussion (FGD), dan in depth interview.

LSI menyatakan publik menilai jika SBY memiliki peluang menyelamatkan perjalanan demokrasi di Indonesia mengacu pada posisinya sebagai figur utama di Partai Demokrat, yakni partai yang akan menjadi penentu antara koalisi pendukung pilkada langsung atau pilkada melalui DPRD.

Ardian menekankan, publik menyadari bahwa jika RUU Pilkada diputuskan oleh DPR maka pihak pendukung pilkada oleh DPRD yakni partai Koalisi Merah Putih akan menang, karena koalisi itu memiliki komposisi kursi terbesar di parlemen.

Oleh karena itu, kata Ardian, publik berharap SBY dapat mengambil sikap tegas dalam kapasitasnya sebagai presiden.

“Sikap tegas yang diharapkan publik adalah presiden menarik kembali RUU yang tengah dibahas di DPR karena undang-undang tersebut berawal dari inisiatif pemerintah. Jika presiden menarik kembali RUU tersebut maka pembahasan RUU di DPR tidak dapat dilanjutkan,” lanjut Ardian.

Jika tidak bisa, publik berharap SBY bisa menggunakan kapasitasnya sebagai ketua umum partai terbesar di parlemen itu untuk bisa mengarahkan agar Demokrat mendukung pilkada langsung atau tak mengambil opsi voting.

Kendati begitu, lanjut Ardian, dukungan Demokrat terhadap pilkada secara langsung dinilai belum menjadi jaminan RUU Pilkada opsi pilkada langsung bakal lolos menjadi UU jika pengesahan harus voting di parlemen.

Ardian mengatakan dukungan pilkada langsung dari partai berlambang mercy itu memang mengubah konstelasi politik di Senayan. Sebab, pendukung Pilkada langsung secara otomatis menjadi mayoritas, yakni 287 kursi di parlemen atau 51,79 persen.

Sedang kubu Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung pilkada oleh DPRD, jumlah kursinya di parlemen 273.

“Pendukung Pilkada langsung memang jadi mayoritas, tetapi ini adalah hitungan matematis. Kita tahu ketika paripurna tidak semua orang bisa hadir, sehingga ketika proses voting masih sangat berbahaya, akan sangat riskan,” katanya.

Dia menilai, internal Demokrat sendiri belum begitu solid. Hal ini bisa berimbas ke para anggota fraksi Demokrat di DPR ketika proses pengambilan keputusan RUU pilkada nanti, yang dijadwalkan 25 September 2014.

“Tak jadi garansi ketika sudah mendukung (Pilkada langsung) kemudian di akhirnya akan jadi kenyataan. Karena kita tahu bahwa partai Demokrat juga kesolidannya masih dipertanyakan. Apakah semua anggota DPR yang tidak terpilih lagi akan tetap perjuangkan instruksi partai ini,” tandasnya. (bbs/val)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/