30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

UU KPK Hasil Revisi Bernomor 19 Tahun 2019

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) hasil revisi resmi dibubuhi nomor oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Payung hukum lembaga antirasuah itu telah masuk ke Lembaran Negara dengan nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.

“Revisi UU KPK sudah tercatat dalam Lembaran Negara sebagai UU No 19 Tahun 2019 mengenai Perubahan UU KPK, sudah diundangkan di Lembaran Negara Nomor 197 dengan nomor Tambahan Lembar Negara (TLN): 6409 tertanggal 17 Oktober 2019,” kata Direktur Jenderal Perundang-undangan Kemenkumham, Widodo Eka Tjahjana saat dikonfirmasi, Jumat (18/10).

UU KPK hasil revisi secara otomatis memang berlaku pada Kamis (17/10) kemarin. Karena rapat paripurna DPR yang mengesahkan UU KPK hasil revisi berlangsung usai 30 hari di gelar, yakni pada Selasa (17/9).

Sesuai dengan Pasal 73 ayat (2) UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jika RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, maka RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Kendati demikian, salinan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK iu masih belum dapat disebarluaskan. Karena hingga kini masih diteliti oleh pihak Sekretariat Negara. “Salinan UU masih diautentifikasi oleh Sekretariat Negara. Setelah itu baru kita publikasikan di website,” jelas Widodo.

Diketahui, polemik UU KPK hasil revisi terus mencuat. Elemen mahasiswa hingga akademisi menginginkan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk UU KPK hasil revisi.

Berdasarkan catatan tim transisi KPK, terdapat 26 poin yang dapat melemahkan kinerja pemberantasan korupsi. Salah satunya dewan pengawas. Karena segala aturan penyadapan, penindakan, penyidikan hingga penyitaan harus seiizin dewan pengawas.

Terlebih, dalam Pasal 3 UU 30/2002 hasil revisi, berbunyi bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, berlakunya UU tersebut menjadi kendala besar bagi KPK melakukan OTT seperti biasa. Hal ini kata Bivitri, lantaran KPK membutuhkan kebijakan penyadapan agar dapat melakukan OTT. Di dalam UU saat ini penyadapan menjadi nihil karena harus melalui mekanisme dewan pengawas.

Parahnya lagi, izin tersebut baru boleh dikeluarkan oleh dewan pengawas jika kasus sudah masuk gelar perkara. “Padahal, gelar perkara ini baru ada di tahap penyidikan, mereka yang kena OTT itukan belum ditetapkan tersangka sebelumnya, jadi akan sulit dewan pengawas berikan izin,” kata Bivitri.

Karenanya, Bivitri mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) KPK. Hal ini kata Bivitri semata-mata untuk menyelamatkan pemberantasan korupsi di Indonesia. “Jadi tanpa adanya Perppu, kemarin itu merupakan OTT terakhir KPK,” kata Bivitri.

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai, pemerintah dan DPR berupaya membonsai kewenangan KPK lewat revisi UU agar tak lagi memiliki power seperti sedia kala. “Sejatinya episentrum korupsi ada di eksekutif dan legislatif. Keduanya bersekutu dan bersekongkol merevisi (UU KPK) untuk melemahkan dan membunuh KPK. Oleh karena itu, KPK-nya kan mesti dipegang,” kata Ujang.

KPK sebelumnya menyebut terdapat 26 poin UU KPK baru yang melemahkan, bahkan melumpuhkan lembaga antirasuah. Poin yang disoroti tentang pemangkasan kewenangan penyadapan yang selama ini menjadi ‘senjata’ KPK untuk melakukan operasi tangkap tangan (OTT).

Wewenang penyadapan KPK diatur dalam UU baru di Pasal 12B. Yang ganjil tertulis di ayat (2), penyadapan baru bisa dilakukan setelah dilakukan gelar perkara. Padahal, gelar perkara sudah masuk tahap penyidikan. Artinya, sama saja melarang KPK melakukan penyadapan dalam kasus yang masih tahap penyelidikan.

Jika begitu, ujung-ujungnya bisa tidak ada lagi OTT KPK. Pasalnya, tidak pernah ada aktivitas OTT setelah dilakukan proses gelar perkara. Operasi senyap itu dilakukan di tahap penyelidikan. Ujang juga menyoroti dalam UU baru penyadapan dilakukan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas KPK, yang beranggotakan lima orang dan semuanya dipilih pemerintah atau Presiden dengan periode selama empat tahun.

Menurut Ujang, tidak menutup OTT kian hilang karena ada kemungkinan unsur kebocoran sebelum KPK melakukan penyadapan. Alasannya, Dewan Pengawas memegang kewenangan pro justicia untuk memberi izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Sebaliknya, posisi pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut.

“Dewan Pengawas itu kan pegangannya presiden, pegangannya istana. Artinya bisa saja itu nanti tidak akan ada OTT. Tidak akan ada pejabat-pejabat kelas kakap yang kena lagi. Karena memang KPK-nya sudah dipegang,” ujar dosen politik Universitas Al-Azhar Indonesia itu.

Padahal KPK mencetak hatrick OTT dalam tiga hari terakhir. Sebelum menangkap Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, pada Rabu (16/10) dinihari, KPK menangkap Bupati Indramayu, Supendi pada Senin (15/10) hingga Selasa (16/10) dinihari.

Pada Selasa (16/10) KPK juga menangkap Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Wilayah XII, Refly Ruddy Tangkere dan tujuh orang lainnya dalam OTT di Jakarta, Bontang dan Samarinda.

Tak tanggung-tanggung, dalam dua bulan terakhir KPK berhasil menangkap lima kepala daerah yang diduga terlibat kasus korupsi. Mereka yakni, Bupati Bengkayang Suryadman Gidot; Bupati Muara Enim Ahmad Yani; Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara; Bupati Indramayu Supendi dan teranyar Wali Kota Medan Dzulmi Eldin.

Lebih jauh, Ujang mengakui saat ini yang bisa menyelamatkan KPK hanya Presiden Joko Widodo (Jokowi). Untuk itu, dia meminta Presiden Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) menyangkut UU KPK yang baru. Namun, lagi-lagi semua tergantung Presiden Jokowi dan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi.

“Ini kan gigitan terakhir KPK jika Perppu itu tidak keluar. Oleh karena itu jika presiden sayang terhadap bangsa ini, sayang terhadap rakyat seharusnya Perppu dikeluarkan. Jangan sampai hanya “melindungi orang-orang tertentu”, orang-orang yang korupsi sehingga bebas berkeliaran dengan tidak keluarnya Perppu,” pungkasnya. (jpc/bbs)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) hasil revisi resmi dibubuhi nomor oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Payung hukum lembaga antirasuah itu telah masuk ke Lembaran Negara dengan nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.

“Revisi UU KPK sudah tercatat dalam Lembaran Negara sebagai UU No 19 Tahun 2019 mengenai Perubahan UU KPK, sudah diundangkan di Lembaran Negara Nomor 197 dengan nomor Tambahan Lembar Negara (TLN): 6409 tertanggal 17 Oktober 2019,” kata Direktur Jenderal Perundang-undangan Kemenkumham, Widodo Eka Tjahjana saat dikonfirmasi, Jumat (18/10).

UU KPK hasil revisi secara otomatis memang berlaku pada Kamis (17/10) kemarin. Karena rapat paripurna DPR yang mengesahkan UU KPK hasil revisi berlangsung usai 30 hari di gelar, yakni pada Selasa (17/9).

Sesuai dengan Pasal 73 ayat (2) UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jika RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, maka RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Kendati demikian, salinan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK iu masih belum dapat disebarluaskan. Karena hingga kini masih diteliti oleh pihak Sekretariat Negara. “Salinan UU masih diautentifikasi oleh Sekretariat Negara. Setelah itu baru kita publikasikan di website,” jelas Widodo.

Diketahui, polemik UU KPK hasil revisi terus mencuat. Elemen mahasiswa hingga akademisi menginginkan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk UU KPK hasil revisi.

Berdasarkan catatan tim transisi KPK, terdapat 26 poin yang dapat melemahkan kinerja pemberantasan korupsi. Salah satunya dewan pengawas. Karena segala aturan penyadapan, penindakan, penyidikan hingga penyitaan harus seiizin dewan pengawas.

Terlebih, dalam Pasal 3 UU 30/2002 hasil revisi, berbunyi bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, berlakunya UU tersebut menjadi kendala besar bagi KPK melakukan OTT seperti biasa. Hal ini kata Bivitri, lantaran KPK membutuhkan kebijakan penyadapan agar dapat melakukan OTT. Di dalam UU saat ini penyadapan menjadi nihil karena harus melalui mekanisme dewan pengawas.

Parahnya lagi, izin tersebut baru boleh dikeluarkan oleh dewan pengawas jika kasus sudah masuk gelar perkara. “Padahal, gelar perkara ini baru ada di tahap penyidikan, mereka yang kena OTT itukan belum ditetapkan tersangka sebelumnya, jadi akan sulit dewan pengawas berikan izin,” kata Bivitri.

Karenanya, Bivitri mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) KPK. Hal ini kata Bivitri semata-mata untuk menyelamatkan pemberantasan korupsi di Indonesia. “Jadi tanpa adanya Perppu, kemarin itu merupakan OTT terakhir KPK,” kata Bivitri.

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai, pemerintah dan DPR berupaya membonsai kewenangan KPK lewat revisi UU agar tak lagi memiliki power seperti sedia kala. “Sejatinya episentrum korupsi ada di eksekutif dan legislatif. Keduanya bersekutu dan bersekongkol merevisi (UU KPK) untuk melemahkan dan membunuh KPK. Oleh karena itu, KPK-nya kan mesti dipegang,” kata Ujang.

KPK sebelumnya menyebut terdapat 26 poin UU KPK baru yang melemahkan, bahkan melumpuhkan lembaga antirasuah. Poin yang disoroti tentang pemangkasan kewenangan penyadapan yang selama ini menjadi ‘senjata’ KPK untuk melakukan operasi tangkap tangan (OTT).

Wewenang penyadapan KPK diatur dalam UU baru di Pasal 12B. Yang ganjil tertulis di ayat (2), penyadapan baru bisa dilakukan setelah dilakukan gelar perkara. Padahal, gelar perkara sudah masuk tahap penyidikan. Artinya, sama saja melarang KPK melakukan penyadapan dalam kasus yang masih tahap penyelidikan.

Jika begitu, ujung-ujungnya bisa tidak ada lagi OTT KPK. Pasalnya, tidak pernah ada aktivitas OTT setelah dilakukan proses gelar perkara. Operasi senyap itu dilakukan di tahap penyelidikan. Ujang juga menyoroti dalam UU baru penyadapan dilakukan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas KPK, yang beranggotakan lima orang dan semuanya dipilih pemerintah atau Presiden dengan periode selama empat tahun.

Menurut Ujang, tidak menutup OTT kian hilang karena ada kemungkinan unsur kebocoran sebelum KPK melakukan penyadapan. Alasannya, Dewan Pengawas memegang kewenangan pro justicia untuk memberi izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Sebaliknya, posisi pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut.

“Dewan Pengawas itu kan pegangannya presiden, pegangannya istana. Artinya bisa saja itu nanti tidak akan ada OTT. Tidak akan ada pejabat-pejabat kelas kakap yang kena lagi. Karena memang KPK-nya sudah dipegang,” ujar dosen politik Universitas Al-Azhar Indonesia itu.

Padahal KPK mencetak hatrick OTT dalam tiga hari terakhir. Sebelum menangkap Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, pada Rabu (16/10) dinihari, KPK menangkap Bupati Indramayu, Supendi pada Senin (15/10) hingga Selasa (16/10) dinihari.

Pada Selasa (16/10) KPK juga menangkap Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Wilayah XII, Refly Ruddy Tangkere dan tujuh orang lainnya dalam OTT di Jakarta, Bontang dan Samarinda.

Tak tanggung-tanggung, dalam dua bulan terakhir KPK berhasil menangkap lima kepala daerah yang diduga terlibat kasus korupsi. Mereka yakni, Bupati Bengkayang Suryadman Gidot; Bupati Muara Enim Ahmad Yani; Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara; Bupati Indramayu Supendi dan teranyar Wali Kota Medan Dzulmi Eldin.

Lebih jauh, Ujang mengakui saat ini yang bisa menyelamatkan KPK hanya Presiden Joko Widodo (Jokowi). Untuk itu, dia meminta Presiden Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) menyangkut UU KPK yang baru. Namun, lagi-lagi semua tergantung Presiden Jokowi dan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi.

“Ini kan gigitan terakhir KPK jika Perppu itu tidak keluar. Oleh karena itu jika presiden sayang terhadap bangsa ini, sayang terhadap rakyat seharusnya Perppu dikeluarkan. Jangan sampai hanya “melindungi orang-orang tertentu”, orang-orang yang korupsi sehingga bebas berkeliaran dengan tidak keluarnya Perppu,” pungkasnya. (jpc/bbs)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/