32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Kaum Pria Dirikan Tenda setelah Ungsikan Anak-Istri

Warga Mesuji Nekat Bertahan dari Gusuran Perkebunan Sawit

Sengketa tanah di Mesuji, Lampung, tampaknya, akan semakin panas. Warga yang merasa dirugikan nekat bertahan dengan membangun tenda darurat. Semakin hari, jumlah mereka makin bertambah.

GUNAWAN SUTANTO, Mesuji

Jamroni dan sejumlah tetangga duduk di pos yang didirikan warga di Register 45 Sabtu (17/12) malam. Register 45 merupakan tanah yang disengketakan antara 3.000 warga dan PT Silva Inhutani Lampung (SIL). Perebutan tanah itu beberapa kali berujung pada bentrokan antara warga dan pamswakarsa yang dibentuk perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut.

Puncaknya terjadi pada 8 September lalu. Yakni, warga diusir oleh tim terpadu perlindungan hutan Provinsi Lampung. Mereka selama ini dianggap sebagai pembalak liar. Kini tak menutup kemungkinan konflik tersebut bakal terulang. Sebab, sekitar 2.500 orang pada 14 Desember lalu kembali menduduki tanah yang mereka anggap milik adat tersebut. Mereka mendirikan tenda seadanya untuk tempat tidur.

Jamroni merupakan salah seorang warga yang terusir dan kini masih mati-matian mempertahankan tanah yang dianggap haknya. Dia sudah lebih dari empat tahun menghuni tempat tersebut bersama tiga anaknya. Jamroni merupakan seorang transmigran dari Banyuwangi, Jatim. Melihat kakak dan adiknya sukses menjadi transmigran di Lampung, pria kelahiran 1957 itu pun memilih meninggalkan kampung halamannya di Banyuwangi.

“Sulit cari pekerjaan di kampung. Saya dengar di sini ada bukaan tanah, ya akhirnya saya bersedia,” ujarnya memulai cerita.

Aset di kampung asal yang dia miliki dijual semua. Sebagian digunakan membeli tanah di lahan yang kini menjadi sengketa itu. Awalnya, Jamroni memang merasa kehidupannya jauh lebih baik dengan menjadi petani di ladang tersebut. Namun, hal itu mulai terbalik ketika konflik perebutan tanah meruncing. “Saya awalnya ya tidak tahu kalau jadi bermasalah seperti ini,” katanya.

Kini pascaterusir dari tanah tersebut, Jamroni tetap bertahan di lokasi bersama sejumlah pria lainnya. “Kebanyakan anak-anak dan para istri tetap mengungsi. Tapi, sing lanang-lanang (yang laki-laki, Red) ya bertahan di sini,’’ papar Warjo, penghuni tanah register lain yang berasal dari Jogjakarta.

Keberadaan para petani yang menghuni tanah register memang sangat unik. Mereka bukan hanya asli warga Lampung, melainkan banyak transmigran dari daerah lain seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali. Sebelum tergusur, mereka kebanyakan tinggal sesuai dengan daerah asalnya. Karena itu, di tempat tersebut ada istilah Kampung Bali, Sunda, dan Jawa.

Kasus sengketa tanah di Register 45 sebenarnya sudah berlangsung lama. Sebab, sejak sekitar 1989, ada pembentukan perkampungan di tanah tersebut. Nama perkampungan itu awalnya kebanyakan memakai nama Moro. Misalnya, Morodewe, Morodadi, Morobatu, dan Moroseneng.

Pada 1991, Departemen Kehutanan memberikan areal hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) sementara kepada PT Silva Inhutani Lampung di Register 45 Sungai Buaya Lampung seluas 32.600 hektare. PT SIL merupakan perusahaan patungan antara PT Silva Lampung Abadi dan PT Inhutani V.

Selanjutnya, pada 1997, keluar persetujuan perluasan areal HPHTI PT SIL seluas 10.500 hektare. Nah, di situlah mulai terjadi konflik. Sebab, perluasan area tersebut termasuk lahan yang sudah terdapat kampung warga. Warga sebenarnya sudah melakukan reclaiming perluasan lahan itu. Apalagi, di kawasan yang didiami warga, sudah banyak berdiri fasilitas umum seperti SD, SMP, masjid, musala, gereja, dan pura.

Pada era Menhut MS Kaban, keluarlah surat penolakan reclaiming. Tapi, Kaban tetap tidak mau mengeluarkan areal seluas sekitar 7.000 hektare dari kawasan hutan yang menjadi konsesi PT SIL karena berpegang pada SK Menhut sebelumnya. ’’Sejak itulah konflik tersebut terjadi dan memang, tampaknya, tidak ada upaya penyelesaian dari pemerintah yang berpihak ke masyarakat,’’ ujar Yusuf Ali, koordinator masyarakat dari lembaga adat Megou Pak.
Menurut dia, karena tidak ada upaya penyelesaian dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, lembaga adat terus memperjuangkan hak warga yang telah mendiami kawasan tersebut.

Yusuf menyatakan, jika tidak ada solusi terbaik untuk warga yang telah mendiami tempat tersebut, pendudukan akan tetap dilakukan. Semakin hari, warga yang kembali ke daerah tersebut memang makin banyak. Lahan Register 45 itu, oleh PT SIL, ditanami pohon albasia dan karet.

Untuk menuju Register 45, butuh empat jam perjalanan darat dari Bandar Lampung. Register 45 berada di Kabupaten Mesuji. Kabupaten tersebut merupakan hasil pemekaran dengan Kabupatan Tulang Bawang pada 20 November 2008. Tanah Register 45 berada di pinggir jalan trans Sumatera jalur timur.

Sebenarnya, tanah sengketa di Mesuji yang masuk Kabupaten Mesuji bukan hanya Register 45. Ada juga sengketa antara warga dari tiga kampung dan PT BSMI (Barat-Selatan Makmur Investindo). Lahan tersebut berada di sisi barat Mesuji. Sengketa itu terkait dengan tuntutan warga atas plasma sawit. Lahan yang dikuasai PT BSMI itu dimanfaatkan untuk perkebunan sawit. Konflik di situ lebih parah. Warga sempat membakar pabrik. Untuk sampai ke tempat tersebut, butuh waktu dua jam dari pusat Kota Mesuji dengan melewati jalan makadam. (*)

Warga Mesuji Nekat Bertahan dari Gusuran Perkebunan Sawit

Sengketa tanah di Mesuji, Lampung, tampaknya, akan semakin panas. Warga yang merasa dirugikan nekat bertahan dengan membangun tenda darurat. Semakin hari, jumlah mereka makin bertambah.

GUNAWAN SUTANTO, Mesuji

Jamroni dan sejumlah tetangga duduk di pos yang didirikan warga di Register 45 Sabtu (17/12) malam. Register 45 merupakan tanah yang disengketakan antara 3.000 warga dan PT Silva Inhutani Lampung (SIL). Perebutan tanah itu beberapa kali berujung pada bentrokan antara warga dan pamswakarsa yang dibentuk perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut.

Puncaknya terjadi pada 8 September lalu. Yakni, warga diusir oleh tim terpadu perlindungan hutan Provinsi Lampung. Mereka selama ini dianggap sebagai pembalak liar. Kini tak menutup kemungkinan konflik tersebut bakal terulang. Sebab, sekitar 2.500 orang pada 14 Desember lalu kembali menduduki tanah yang mereka anggap milik adat tersebut. Mereka mendirikan tenda seadanya untuk tempat tidur.

Jamroni merupakan salah seorang warga yang terusir dan kini masih mati-matian mempertahankan tanah yang dianggap haknya. Dia sudah lebih dari empat tahun menghuni tempat tersebut bersama tiga anaknya. Jamroni merupakan seorang transmigran dari Banyuwangi, Jatim. Melihat kakak dan adiknya sukses menjadi transmigran di Lampung, pria kelahiran 1957 itu pun memilih meninggalkan kampung halamannya di Banyuwangi.

“Sulit cari pekerjaan di kampung. Saya dengar di sini ada bukaan tanah, ya akhirnya saya bersedia,” ujarnya memulai cerita.

Aset di kampung asal yang dia miliki dijual semua. Sebagian digunakan membeli tanah di lahan yang kini menjadi sengketa itu. Awalnya, Jamroni memang merasa kehidupannya jauh lebih baik dengan menjadi petani di ladang tersebut. Namun, hal itu mulai terbalik ketika konflik perebutan tanah meruncing. “Saya awalnya ya tidak tahu kalau jadi bermasalah seperti ini,” katanya.

Kini pascaterusir dari tanah tersebut, Jamroni tetap bertahan di lokasi bersama sejumlah pria lainnya. “Kebanyakan anak-anak dan para istri tetap mengungsi. Tapi, sing lanang-lanang (yang laki-laki, Red) ya bertahan di sini,’’ papar Warjo, penghuni tanah register lain yang berasal dari Jogjakarta.

Keberadaan para petani yang menghuni tanah register memang sangat unik. Mereka bukan hanya asli warga Lampung, melainkan banyak transmigran dari daerah lain seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali. Sebelum tergusur, mereka kebanyakan tinggal sesuai dengan daerah asalnya. Karena itu, di tempat tersebut ada istilah Kampung Bali, Sunda, dan Jawa.

Kasus sengketa tanah di Register 45 sebenarnya sudah berlangsung lama. Sebab, sejak sekitar 1989, ada pembentukan perkampungan di tanah tersebut. Nama perkampungan itu awalnya kebanyakan memakai nama Moro. Misalnya, Morodewe, Morodadi, Morobatu, dan Moroseneng.

Pada 1991, Departemen Kehutanan memberikan areal hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) sementara kepada PT Silva Inhutani Lampung di Register 45 Sungai Buaya Lampung seluas 32.600 hektare. PT SIL merupakan perusahaan patungan antara PT Silva Lampung Abadi dan PT Inhutani V.

Selanjutnya, pada 1997, keluar persetujuan perluasan areal HPHTI PT SIL seluas 10.500 hektare. Nah, di situlah mulai terjadi konflik. Sebab, perluasan area tersebut termasuk lahan yang sudah terdapat kampung warga. Warga sebenarnya sudah melakukan reclaiming perluasan lahan itu. Apalagi, di kawasan yang didiami warga, sudah banyak berdiri fasilitas umum seperti SD, SMP, masjid, musala, gereja, dan pura.

Pada era Menhut MS Kaban, keluarlah surat penolakan reclaiming. Tapi, Kaban tetap tidak mau mengeluarkan areal seluas sekitar 7.000 hektare dari kawasan hutan yang menjadi konsesi PT SIL karena berpegang pada SK Menhut sebelumnya. ’’Sejak itulah konflik tersebut terjadi dan memang, tampaknya, tidak ada upaya penyelesaian dari pemerintah yang berpihak ke masyarakat,’’ ujar Yusuf Ali, koordinator masyarakat dari lembaga adat Megou Pak.
Menurut dia, karena tidak ada upaya penyelesaian dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, lembaga adat terus memperjuangkan hak warga yang telah mendiami kawasan tersebut.

Yusuf menyatakan, jika tidak ada solusi terbaik untuk warga yang telah mendiami tempat tersebut, pendudukan akan tetap dilakukan. Semakin hari, warga yang kembali ke daerah tersebut memang makin banyak. Lahan Register 45 itu, oleh PT SIL, ditanami pohon albasia dan karet.

Untuk menuju Register 45, butuh empat jam perjalanan darat dari Bandar Lampung. Register 45 berada di Kabupaten Mesuji. Kabupaten tersebut merupakan hasil pemekaran dengan Kabupatan Tulang Bawang pada 20 November 2008. Tanah Register 45 berada di pinggir jalan trans Sumatera jalur timur.

Sebenarnya, tanah sengketa di Mesuji yang masuk Kabupaten Mesuji bukan hanya Register 45. Ada juga sengketa antara warga dari tiga kampung dan PT BSMI (Barat-Selatan Makmur Investindo). Lahan tersebut berada di sisi barat Mesuji. Sengketa itu terkait dengan tuntutan warga atas plasma sawit. Lahan yang dikuasai PT BSMI itu dimanfaatkan untuk perkebunan sawit. Konflik di situ lebih parah. Warga sempat membakar pabrik. Untuk sampai ke tempat tersebut, butuh waktu dua jam dari pusat Kota Mesuji dengan melewati jalan makadam. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/