JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Rencana Kepolisian menerapkan kepesertaan aktif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi syarat untuk pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), mendapat sorotan tajam dari pengamat hukum Farid Wajdi. Dia menilai, kebijakan tersebut bakal menimbulkan masalah dan berpotensi maladministrasi.
Menurut Farid, dijadikannya JKN sebagai syarat dalam mengurus SIM, seperti tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022, tentang optimalisasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan ditindaklanjuti dengan Perkap Nomor 2 Tahun 2023, tentang Perubahan Atas Peraturan Kepolisian Republik Indonesia, Nomor 5 Tahun 2021, tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi, secara administrasi dan hukum akan menimbulkan masalah.
Farid menjelaskan, setidaknya ada dua masalah yang perlu diketahui. Yakni pertama, pengurusan SIM dan STNK diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002, tentang kepolisian dan UU Nomor 22 Tahun 2009, tentang Lalu Lintas serta Angkutan Jalan (LLAJ). Sedangkan penerbitan BPJS, lanjutnya, dituangkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional dan UU Nomor 24 Tahun 2011, tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Karena itu, Founder Ethics of Care ini menegaskan, jika dirujuk dari jenis perundang-undangan yang berbeda tersebut, jelas instruksi presiden dan peraturan turunannya dapat dianggap cacat prosedur formil untuk pengaturannya. Kebijakan ini berpotensi maladministrasi apabila seluruh pelayanan publik harus mensyaratkan adanya BPJS, karena selain menerbitkan SIM dan STNK, syarat untuk membeli rumah juga perlu surat BPJS. “Dulu, publik juga menolak uang iuran televisi yang mendompleng pada kutipan uang kebersihan, dan lain sebagainya,” katanya kepada Sumut Pos di Medan, Senin (19/6).
Selanjutnya, sambung Farid, masalah yang kedua, yaitu perlindungan data peserta. Sebab dalam sistem BPJS berkaitan dengan kerahasiaan data pasien yang jelas dilindungi oleh UU dan berpotensi penyebarluasan data privasi menjadi masalah serius dalam perlindungan hak dasar warga negara. “Bagaimana perlindungan data pribadi kepesertaan JKN?. Untuk itu masyarakatlah yang dirugikan dari diberlakukannya kebijakan tersebut,” bebernya.
Farid menyarankan, ada baiknya melakukan upaya pengujian Inpres Nomor 1 Tahun 2022, tentang optimalisasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ke Mahkamah Agung (MA), karena dianggap bertentangan dengan UU tersebut. “Kemudian, melaporkan berbagai macam tindakan maladministrasi penggunaan BPJS kepada Ombudsman RI, sebagai lembaga negara yang menerima aduan masyarakat perihal maladministrasi pelayanan publik,” imbuhnya.
Lalu, tambahnya, upaya lainnya yakni, peningkatan kualitas layanan BPJS Kesehatan maupun fasilitas pelayanan kesehatan yang bermitra dengan BPJS Kesehatan. Selain itu, kata Farid lagi, seharusnya ada regulasi yang menjamin semua masyarakat tidak mampu dan miskin dijamin menjadi anggota penerima bantuan iuran, sehingga masyarakat tidak mampu merasa terproteksi dan tercukupi pembiayaan jaminan kesehatannya. “Kalau persyaratan tersebut dimaksudkan untuk menambah kepesertaan BPJS Kesehatan, sepatutnya yang dilakukan adalah optimasi sosialisasi dan edukasi ke masyarakat, khususnya yang belum jadi peserta,” tandasnya.
Diketahui, kepesertaan aktif JKN juga bakal dijadikan syarat untuk pembuatan SIM ini tercantum dalam Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi. “Melampirkan tanda bukti kepesertaan aktif dalam program jaminan kesehatan nasional,” tulis Perkap di Pasal 9 Ayat (1) poin 3a, dikutip JawaPos.com, Minggu (18/6).
Selain itu, pemohon SIM juga diharuskan melaksanakan perekaman biometri berupa sidik jari dan/atau pengenalan wajah maupun retina mata dan menyerahkan bukti pembayaran penerimaan bukan pajak.
Selain kepesertaan aktif JKN, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri juga akan memberlakukan syarat wajib menyertakan sertifikat mengemudi untuk pembuatan SIM bagi segala jenis kendaraan bermotor baik pribadi maupun angkutan umum. Hal itu sesuai dengan Perpol Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi.
Hal ini dirasa akan membuat warga yang hendak membuat SIM mesti mengeluarkan uang lagi. Lantas, berapa biaya untuk mendapatkan sertifikat pendidikan mengemudi dari sekolah mengemudi?
JawaPos.com (grup Sumut Pos) mencoba bertanya ke salah satu sekolah mengemudi yang mempunyai beberapa cabang di Jakarta. Sekolah mengemudi ini mengaku sudah terakreditasi oleh Kemendiknas dan Kemenakertrans.
Hingga saat ini, sekolah mengemudi itu mengaku hanya mengeluarkan sertifikat pendidikan untuk yang belajar mengemudikan mobil. Itu pun mesti ikut kursus mengemudi dahulu dengan berbagai durasi dan harga yang berbeda. “Sertifikat untuk yang latihan mobil di sini. Kalau tanpa latihan tidak ada sertifikat,” ujar Customer Service sekolah mengemudi itu saat dihubungi JawaPos.com, Senin (19/8).
Adapun sertifikat itu juga bisa didapatkan usai pelatihan sekaligus dengan SIM A terhadap orang yang belajar kursus mengemudi di tempat tersebut. “Sertifikat yang paket plus SIM,” jawabnya.
Dengan kata lain, di sekolah mengemudi ini, tak hanya bisa dapatkan sertifikat, tapi juga bisa langsung dapatkan SIM-nya. Terkait harga untuk mendapatkan sertifikat itu bervariasi. Mulai dari yang termurah mulai dari Rp1.390.000-Rp3.500.000. Harga ini sudah termasuk dengan kursus mulai dari durasi 4-12 jam.
Sebagai catatan, hingga kini sekolah mengemudi itu baru hanya mengeluarkan sertifikat pendidikan mengemudi untuk kendaraan roda empat atau mobil. Sedangkan motor mereka mengaku tak ada sertifikat.
Sebelumnya, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri akan memberlakukan pembuatan SIM untuk kendaraan bermotor perseorangan dan angkutan umum wajib menyertakan sertifikat mengemudi. Hal itu sesuai dengan Perpol Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi.
Direktur Regident Korlantas Polri Brigjen Pol Yusri Yunus memastikan syarat sertifikat mengemudi untuk pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) bukan untuk memberatkan masyarakat. Melainkan untuk meningkatkan keselamatan di jalan raya. “Kita bukan mau memberatkan masyarakat, enggak,” kata Yusri saat dihubungi JawaPos.com, Senin (19/6).
Mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya ini mengatakan, dengan masuk ke sekolah mengemudi pengendara digarapkan bisa lebih memahami etika berkendara. Lalu pengendara juga akan lebih mudah menjalani tes pembuatan SIM di kantor polisi. “Sebaiknya sekolah dulu biar pintar, nanti kalau sudah sekolah baru tahu dia (pentingnya etika lalu lintas), kita mau dapat sarjana juga sekolah dulu,” jelas Yusri. (jpc/dwi/adz)