Terpisah, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Islam Pembela Negara Kesatuan Republik Indonesia (GIP-NKRI) Masri Sitanggang menilai, langkah pemerintah menerbitkan Perppu No 2/2017 merupakan tindakan gegabah. Sebab, sampai sekarang Pemerintah Jokowi belum pernah mengeluarkan tafsiran yang jelas, mengenai Pancasila itu sendiri.
“Jadi pertanyaan besar, bagaimana pemerintah langsung memberikan punishment (sanksi) kepada organisasi massa tertentu, sementara pemerintah sendiri sejak awal tidak ada berbuat dan menyosialisasikan tentang Pancasila itu sendiri,” ujar Masri Sitanggang kepada wartawan, Rabu (19/7).
Seharusnya, lanjut dia, jauh-jauh hari sebelum melahirkan Perppu ini, pemerintah telah memiliki tafsiran sendiri terkait Pancasila yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK). Lalu tafsiran ini yang disosialisasikan kepada seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) termasuk di dalamnya ormas, organisasi sosial politik, organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan dan lainnya.
“Jadi jika ada masyarakat atau organisasi yang menyimpang dari itu, wajar kalau langsung ditindak,” imbuh aktivis Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia itu.
Pada waktu itu, Pancasila yang telah ditafsirkan menjadi Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) berhasil disosialisasikan ke masyarakat hingga masuk dalam kurikulum, bahkan menjadi persyaratan wajib untuk masuk pegawai negeri, masuk perguruan tinggi dan lainnya.
“Jadi jika ada yang menyimpang dari P4 ini baik masyarakat secara individual atau organisasi, wajar diberikan punishment. Dan kita tahu menyimpangnya bagaimana,” tukasnya sembari menyatakan, seharusnya ini dahulu yang harus dicontoh pemerintah sekarang ini.
Belakangan ini, ungkapnya, masyarakat bingung dikatakan ada tindakan ormas menyimpang dari Pancasila. “Pertanyaan besarnya menyimpang dari Pancasila tafsiran yang mana,” katanya.
Karenanya, menurut dia pemerintahlah yang lebih awal berjiwa Pancasilais terlebih dahulu, sebab pelaksana Pancasila yakni pemerintah itu sendiri. “Contohnya pada sila kelima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang bisa menerapkan sila ini yakni pemerintah.
Sementara Kordinator Gerakan Anti Penistaan Agama Islam (GAPAI) Sumut, Ustad Heriansyah menilai, Perppu ini memang dipergunakan untuk membidik lawan-lawan politik pihak penguasa sekarang. “Dengan Perppu ini, terbuka luas peluang rezim penguasa untuk memilih mana-mana yang mau dibubarkan secara subjektif, karena tidak ada proses pengadilan. Mana yang dianggap sebagai oposisi, sebagai pihak yang bertentangan dengan kemauan dia, dibubarkan. Sementara yang mendukung dia, dipelihara. Nanti akhirnya seperti itu, ” ujarnya.
Menurut Heriansyah, penguasa saat ini juga sedang melakukan uji coba dengan membubarkan HTI. Kalau ini lancar dan lulus, akan dicari lagi kelompok dan organisasi lain. Ustad Heriansyah menganalogikan seperti orang makan kacang asin, yakni pertama yang dipilih yang isinya 4, kalau sudah habis makan yang isinya 3, lalu makan yang berisi 2 hingga yang makan yang berisi 1, bahkan terakhirnya kulit-kulitnya juga dikulum. “Ini persoalan mana yang deluan dan mana yang selanjutnya saja, ” jelasnya.
Soal radikal, Ustadz Heriansyah menyebut pembacokan terhadap Hermansyah kenapa tidak disebut sebagai kelompok radikal. Bahkan, Ustad Heriansyah mempertanyakan ideologi para pembacok itu, mengingat hanya gra-gara bersenggolan di jalan tol melakukan tindakan seperti itu.
“Kalau Hizbut Tahrir, coba lihat apa sih tindakan radikal yang mereka buat? Ini Intelektual semua di situ. Konsep-konsep Khilafah itukan sebuah tawaran. Bahwa ini ada konsep yang lebih baik dengan konsep khilafah dan sudah pernah ada sejarah emas tentang perjalanan kekhilafaan. Daripada yang cerita sangat Pancasilais tapi korupsi, pencuri dan perampok. Tapi ceritanya mereka Pancasilais, ” sambungnya.