25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Resmi Bubar, HTI Sumut Berlindung ke PKS

Foto: AFP
Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia berunjuk rasa.

Sementara dari Jakarta, pembubaran HTI mengundang reaksi keras Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Dia menilai itu bentuk kesewenang-wenangan yang ditunjukkan pemerintah. “Abuse of power atau satu tindakan yang mengarah pada otoritarian,” tegasnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/7).

Dia meyakini, saat pemerintah mengizinkan HTI berdiri, pastinya sudah melalui tahapan atau proses seleksi. Termasuk soal anggaran dasar dan rumah tangganya (AD/ART). Karena sudah berbadan hukum itu lah, mencabut izin HTI adalah bentuk kewenang-wenangan. “Jelas ini tindakan otoritaris yang dilakukan pemerintah dan tidak boleh terjadi. Saya kira tak bisa diterima,” sebut Fadli.

Politikus Partai Gerindra itu khawatir, persoalan HTI akan merembet ke organisasi masyarakat (Ormas ) lainnya. Berdasarkan subjektifitas pemerintah secara sepihak, nantinya akan mudah mencap sebuah organisasi anti Pancasila dan membubarkannya. “Jadi pemerintah sekarang ini sedang melakukan satu kesewenangan terhadap rakyat. Ini akan menimbulkan kegaduhan. Karena ini melibatkan banyak orang,” ucapnya.

Pembelaan Fadli terhadap HTI bukan karena dia sepakat dengan ajaran-ajarannya. Malah dia banyak tidak setuju dengan ajarannya. “Saya bukan anggota dan simpatisan. Tapi kebebasan berserikat dijamin konstitusi. Tidak boleh jaminan konstitusi dirampas pemerintah,” pungkasnya.

Kuasa Hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra menegaskan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, bertindak sepihak karena tak memberikan kliennya hak membela diri. ‎”Tidak ada due process of law atau proses penegakan hukum dan adil dan benar sesuai asas negara hukum yang Indonesia,” tegas Yusril dalam keterangan tertulis yang diterima JawaPos.com, Rabu (19/7).

Yusril menambahkan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto telah sesat pikirannya dengan menerapkan asas contrarius actus, di mana pemerintah yang berwenang mengeluarkan izin suatu ormas maka pemerintah juga yang berwenang melakukan pembubarannya. “Padahal mendirikan ormas bukanlah sesuatu yang perlu izin pemerintah,” katanya.

Adapun SK Menhumkan tentang pengesahan berdirinya sebuah badan hukum, kata Yusril, sama sekali bukan surat izin seperti surat izin mengemudi (SIM) yang dikeluarkan Polisi. “Izin, dikeluarkan agar seseorang boleh melakukan sesuatu yang dilarang. Mengemudi di jalan raya itu prinsipnya dilarang karena bisa membahayakan orang lain. Namun, seseorang boleh melanggar larangan itu, kalau dia punya surat izin yang disebut SIM itu,” ungkap dia.

Sementara kebebasan berserikat dan berkumpul bukanlah sesuatu yang dilarang seperti mengemudi di jalan raya, melainkan adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 45. “Karena itu, SK Menkumham tentang pengesahan badan hukum ormas yang didirikan, bukanlah surat izin sebagaimana dengan sesatnya dipahami oleh Menko Polhukam Wiranto,” katanya.

Yusril menambahkan, HTI pada Selasa (18/7) telah mendaftarkan permohonan uji materi atas Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun karena hari ini HTI telah resmi dicabut status badan hukumnya dan dibubarkan, maka prosesnya otomatis berhenti. “Karena HTI bukan lagi subyek yang menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo UU No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya, dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke mahkamah itu,” jelas dia.

Yusril mengaku pihaknya berencana menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sekalipun memang, dia sadar posisi HTI lemah berhadapan dengan Pemerintah yang menggunakan Perppu Ormas. “Betapapun perjuangan itu berat, panjang dan berliku. Kezaliman jangan dibiarkan. Kediktatoran jangan diberi tempat di negeri tercinta ini,” pungkasnya. (jpg/dik/prn/adz)

Foto: AFP
Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia berunjuk rasa.

Sementara dari Jakarta, pembubaran HTI mengundang reaksi keras Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Dia menilai itu bentuk kesewenang-wenangan yang ditunjukkan pemerintah. “Abuse of power atau satu tindakan yang mengarah pada otoritarian,” tegasnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/7).

Dia meyakini, saat pemerintah mengizinkan HTI berdiri, pastinya sudah melalui tahapan atau proses seleksi. Termasuk soal anggaran dasar dan rumah tangganya (AD/ART). Karena sudah berbadan hukum itu lah, mencabut izin HTI adalah bentuk kewenang-wenangan. “Jelas ini tindakan otoritaris yang dilakukan pemerintah dan tidak boleh terjadi. Saya kira tak bisa diterima,” sebut Fadli.

Politikus Partai Gerindra itu khawatir, persoalan HTI akan merembet ke organisasi masyarakat (Ormas ) lainnya. Berdasarkan subjektifitas pemerintah secara sepihak, nantinya akan mudah mencap sebuah organisasi anti Pancasila dan membubarkannya. “Jadi pemerintah sekarang ini sedang melakukan satu kesewenangan terhadap rakyat. Ini akan menimbulkan kegaduhan. Karena ini melibatkan banyak orang,” ucapnya.

Pembelaan Fadli terhadap HTI bukan karena dia sepakat dengan ajaran-ajarannya. Malah dia banyak tidak setuju dengan ajarannya. “Saya bukan anggota dan simpatisan. Tapi kebebasan berserikat dijamin konstitusi. Tidak boleh jaminan konstitusi dirampas pemerintah,” pungkasnya.

Kuasa Hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra menegaskan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, bertindak sepihak karena tak memberikan kliennya hak membela diri. ‎”Tidak ada due process of law atau proses penegakan hukum dan adil dan benar sesuai asas negara hukum yang Indonesia,” tegas Yusril dalam keterangan tertulis yang diterima JawaPos.com, Rabu (19/7).

Yusril menambahkan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto telah sesat pikirannya dengan menerapkan asas contrarius actus, di mana pemerintah yang berwenang mengeluarkan izin suatu ormas maka pemerintah juga yang berwenang melakukan pembubarannya. “Padahal mendirikan ormas bukanlah sesuatu yang perlu izin pemerintah,” katanya.

Adapun SK Menhumkan tentang pengesahan berdirinya sebuah badan hukum, kata Yusril, sama sekali bukan surat izin seperti surat izin mengemudi (SIM) yang dikeluarkan Polisi. “Izin, dikeluarkan agar seseorang boleh melakukan sesuatu yang dilarang. Mengemudi di jalan raya itu prinsipnya dilarang karena bisa membahayakan orang lain. Namun, seseorang boleh melanggar larangan itu, kalau dia punya surat izin yang disebut SIM itu,” ungkap dia.

Sementara kebebasan berserikat dan berkumpul bukanlah sesuatu yang dilarang seperti mengemudi di jalan raya, melainkan adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 45. “Karena itu, SK Menkumham tentang pengesahan badan hukum ormas yang didirikan, bukanlah surat izin sebagaimana dengan sesatnya dipahami oleh Menko Polhukam Wiranto,” katanya.

Yusril menambahkan, HTI pada Selasa (18/7) telah mendaftarkan permohonan uji materi atas Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun karena hari ini HTI telah resmi dicabut status badan hukumnya dan dibubarkan, maka prosesnya otomatis berhenti. “Karena HTI bukan lagi subyek yang menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo UU No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya, dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke mahkamah itu,” jelas dia.

Yusril mengaku pihaknya berencana menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sekalipun memang, dia sadar posisi HTI lemah berhadapan dengan Pemerintah yang menggunakan Perppu Ormas. “Betapapun perjuangan itu berat, panjang dan berliku. Kezaliman jangan dibiarkan. Kediktatoran jangan diberi tempat di negeri tercinta ini,” pungkasnya. (jpg/dik/prn/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/