MEDAN, SUMUTPOS.CO – Para orangtua harus waspada dengan gejala gagal ginjal akut yang kini banyak menyerang anak-anak. Pasalnya, angka kematian penyakit ini cukup tinggi, yakni 48 persen. Data dari Agustus 2022 hingga kemarin, total ada 206 kasus gagal ginjal akut pada anak. Dari jumlah itu, 99 di antaranya dinyatakan meninggal dunia. Meski belum diketahui penyebab penyakit ini, namun Kementerian Kesehatan melarang penjualan obat sirup secara bebas untuk sementara waktu.
MENURUT data dari Kementerian Kesehatan yang diterima Jawa Pos (grup Sumut Pos), Rabu (19/10), Jawa Barat menempati rangking pertama dengan kasus kematian terbanyak, yakni 25 anak. Lalu DKI Jakarta 21 anak. Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Aceh masing-masing 10 anak. Sementara di Sumatera Utara (Sumut) ada 7 anak. Kematian juga terjadi di Bali, Jogjakarta, Banten, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, NTT, dan Papua Barat.
“Jumlah kasus yang dilaporkan hingga 8 Oktober adalah 206 kasus dari 22 provinsi,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan M Syahril, kemarin (19/10). Di Jakarta, ada 9 anak yang dilaporkan sembuh dari penyakit ini. Sementara Jawa Timur 5 anak. Lalu di Jawa Barat dan Banten masing-masing ada 3 anak yang sembuh.
Masih pada data yang sama, 45 persen pasien anak dilaporkan mengalami penyakit ini memiliki gejala demam. Lalu 49 persen pasien mengalami gangguan berkemih. Gejala lainnya infeksi saluran cerna dan ISPA. Namun ada 20 persen anak yang berpenyakit tersebut masih belum teridentifikasi gejalanya. Pada pemeriksaan USG, bentuk dan ukuran ginjal normal dan tidak ada kelainan. Hanya saja pemeriksaan laboratoriumnya terdapat kenaikan keratin. “Dari hasil pemeriksaan tidak ada bukti hubungan kejadian gangguan ginjal akut misterius dengan vaksin covid maupun infeksi covid,” tegas Syahril.
Hingga kini, Kementerian Kesehatan bersama stakeholder terkait masih mencari penyebab penyakit tersebut. Senyawa dalam salah satu jenis obat, masih diteliti. “Untuk tingkatkan kewaspadaan, Kemenkes sudah meminta kepada seluruh nakes di faskes, sementra ini tidak meresepkan obat dalam bentuk sirup sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas,” katanya. Penjualannya pun tak boleh bebas lagi.
Lalu bagaimana jika si kecil sakit? Syahril mengimbau agar masyarakat harus konsultasi dengan dokter. Apalagi untuk meminumkan obat dalam bentuk cari atau sirup. “Sebagai alternatif dapat gunakan tablet, kapsul, atau lainnya,” jelasnya.
Dia juga menyarankan, jika terjadi penurunan frekuensi buang air kecil atau sama sekali tidak keluar, harus segera lakukan pemeriksaan ke fasyankes. Selain itu diharapkan membawa obat yang dikonsumsi sebelumnya. Menurut surat yang dikeluarkan Kemenkes yang ditujukan untuk pemda dan organisasi profesi kesehatan, ada 14 rumah sakit yang ditunjuk sebagai rujukan. Rumah sakit rujukan itu terdapat layanan hemodialisa dan dokter spesialis ginjal anak. 14 rumah sakit itu antara lain RSUP dr Cipto Mangunkusumo, RSUD dr Soetomo, RSUP dr Kariadi Semarang, RSUP dr Sardjito, RSUP Prod Ngoerah, RSUP H Adam Malik, dan RSUD Saiful Anwar Malang. “Dalam upaya turunkan fatalitas, Kemenkes melalui RSCM telah membeli penawar yang didatangkan dari luar negeri untuk pasien yang dirawat di seluruh RS di Indonesia,” kata Syahril.
Ditemui terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (MenkoPMK) Muhadjir Effendy mengatakan, penghentian obat sirup yang dilakukan Kemenkes merupakan bagian dari upaya pencegahan. Di samping, upaya investigasi yang saat ini masih terus berjalan guna mengetahui penyebab dari penyakit gagal ginjal akut misterius yang tengah marak terjadi. “Investigasi saat ini sedang berjalan. Saya kira perlu (penghentian obat-obatan tertentu, red) sambil diadakan pengkajian lebih dalam,” ujarnya ditemui di sela acara High-level Intergovernmental meeting on the Final Review of the Asian and Pacific Decade Of Persons with Disabilities (HLIGM-FRPD) di Jakarta, kemarin (19/10).
Menurutnya, saat ini kondisi yang sama juga terjadi di Afrika Barat, namun di sana, sudah dipastikan penyebabnya yakni obat sirup yang berasal dari Asia Selatan. Dia memastikan, jika obat yang sama tidak beredar di Indonesia. Tapi, dia meminta agar ditelusuri lebih dalam apakah ada obat lain yang memiliki kandungan sama dengan obat dari Asia Selatan tersebut. “Kalau yang sekarang berada di Afrika Barat itu dipastikan tidak ada di Indonesia, cuma apakah mungkin ada jenis yang lain atau yang punya kandungan sama. Itu yang sedang dicari,” paparnya.
Kondisi saat ini dinilainya sudah mengkhawatirkan. Apalagi melihat jumlah kasus yang sudah mencapai 206 kasus dengan kematian sebanyak 99 kasus. Karenanya, dia mendorong agar Kemenkes dan BPOM segera melakukan langkah-langkah pencegahan.
Sementara itu, Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman menilai, keputusan Kemenkes untuk menghentikan penggunaan obat sirup tepat untuk saat ini. Upaya ini sebagai mitigasi awal dan respon awal sembari menunggu proses penyelidikan lebih lanjut.
Menurutnya, menyetop hal-hal yang bisa berpotensi menyebabkan gagal ginjal akut perlu dilakukan. Apalagi, ada literatur yang mendukung. Misal, penggunaan beberapa obat baik yang sifatnya antipiretik atau penurun demam atau obat batuk yang mengandung Diethylene Glycol (DEG). “Sementara tepat. Sampai ada kepastian dari investigasi yang dilakukan terkait atau tidak, atau obat yang ada saat ini aman atau tidak,” ungkapnya.
Kendati demikian, Dicky meminta, kebijakan tersebut disertai dengan rekomendasi obat yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat ketika ada kasus batuk pilek. Pemerintah dan IDAI juga perlu kembali mensosialisasikan pola hidup sehat yang jadi opsi paling aman untuk menghindari segala risiko infeksi penyakit. “Tetap harus ada solusi, gak plek berhenti. Harus ada solusi yang menenangkan,” tegasnya.
Menurutnya, kondisi gagal ginjal akut di Indonesia sudah tergolong kejadian luar biasa (KLB). Hal ini berdasarkan case fatality rate cukup tinggi di beberapa daerah yang telah mencapai 50 persen. “Tentu sangat logis dalam konteks Indonesia. Satu di tengah lemahnya deteksi dini dan kedua, terbatasnya sarana prasarana,” ungkapnya.
Lemahnya deteksi dini sangat berpengaruh lantara kasus ini termasuk emergency. Sehingga, jika telat terdeteksi akan sulit tertolong. Lalu, sarana dan prasarana menyangkut hemodialisa. Keduanya kemudian diperparah dengan kesadaran masyarakat untuk deteksi dini kesehatan anak, behavior dalam melakukan pengobatan sendiri, hingga enggan ke ketika sakit. “Semua berkontribusi,” keluhnya.
Adanya senyawa EG dan DEG pada obat sirup ini menjadi atensi. Apalagi kejadian di Gambia, WHO menyebutkan ada 4 jenis obat batuk dari India yang menjadi penyebab gangguan ginjal akut. Obat tersebut menurut catatan BPOM tidak beredar di Indonesia. Dalam regulasi persyaratan registrasi produk obat, BPOM sendiri telah menetapkan persyaratan, semua produk obat sirup untuk anak dan dewasa tidak boleh menggunakan EG dan DEG. Tapi bisa saja EG dan DEG terdapat dalam cemaran larutan kimia gliserin atau propilen glikol yang biasa digunakan sebagai zat pelarut tambahan. BPOM minta industri farmasi yang memiliki produk obat sirup untuk melapor. (lyn/mia/jpg)