MEDAN- Pasangan Jokowi-Ahok unggul dalam penghitungan cepat (quik count) dari pasangan incumbent Foke-Nara pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Kamis (20/9). Kemenangan Jokowi ini menjadi pelajaran berharga bagi warga Sumatera Utara (Sumut), yang akan menggelar Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) pada 7 Maret 2013 mendatang.
Menurut pengamat politik Ahmad Taufan Damanik, pemilihan gubernur DKI menegaskan kalau kepala daerah sejatinya harus merakyat, bukan selalu memposisikan diri sebagai pimpinan yang selalu memerintah. Pelajaran lainnya, khususnya untuk kandidat calon Gubernur Sumatera Utara (Cagubsu) 2013-2018 adalah masyarakat sudah pandai memilih, dalam melihat sosok yang dikehendaki untuk pemimpinnya, yakni tidak lagi berorientasi putera daerah atau tidak putera daerah, menarik atau tidak menarik.
“Sosok yang mampu dan telah memberikan bukti, bukan hanya sebatas pencitraan. Putera daerah dan bukan putera daerah sudah tidak relevan. Menarik atau tidak juga tidak lagi. Jokowi membuktikan keberhasilan di Solo. Meski warga Jakarta tidak melihat secara langsung, peran media sangat besar dalam mempublikasikan Jokowi dengan keberhasilan-keberhasilannya,” katanya.
Taufan menyebutkan, tampaknya dua periode memimpin Kota Solo berjalan sukses. Bahkan, memposisikan Jokowi memiliki kapabilitas, gaya komunikasi yang merakyat. Sebab, selama ini masyarakat bosan dengan pemimpin yang memerintah, tapi lebih menginginkan pemimpin yang mengayomi. Kampanye yang mencuatkan isu SARA sudah tidak mempan lagi.
“Ini jadi pelajaran berharga bagi pemilih atau masyarakat Sumut yang akan menggelar Pilgubsu yang tinggal beberapa bulan lagi,” ujar pengamat politik dari USU itu.
Apakah ada peluang, adanya calon impor seperti Jokowi di Pilkada DKI, di perhelatan Pilgubsu 2013 mendatang? Menurut prediksinya, Pilgubsu 2013 mendatang dengan kondisi dan kenyataan yang telah berjalan selama ini, sangat kecil kemungkinanannya Pilgubsu 2013 akan diramaikan calon dari luar daerah.
“Saya pikir tidak ada calon impor yang akan ikut Pilgubsu. Apakah mungkin Demokrat Sumut sudah ada para bakal calon, begitu juga Golkar dan partai lain, mengesampingkan para Balon Gubsu yang sudah mendaftar? Saya pikir tidak mungkin. Jadi sosolk yang akan bertarung di Pilgubsu 2013 nanti adalah sosok-sosok yang ada saat ini,” terangnya.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Rafdinal juga menilai pada Pilgubsu 2013, isu putera daerah masih strategis untuk menyerang para Balon-balon Gubsu yang akan bertarung. Karena heterogenitas masyarakat Sumut. Namun, masyarakat Sumut juga sudah pandai dalam menentukan pilihannya, yakni mencari sosok yang memiliki kemampuan untuk memimpin.
“Memang dalam konteks negara kesatuan seperti Indonsia, persoalan putera daerah atau bukan tidaklah menjadi penting. Tetapi lebih pada kualitas dan kapabilitas seseorang untuk melakukan perubahan yang diinginkan rakyat. Untuk Pilgubsu, isu putera daerah menurut saya tetap strategis dan kuat. Karena karakter Sumut yang beragam etnis dan suku. Namun tetap pada dasar kualitas dan kemampuan untuk melakukan yang diharapkan rakyat,” ucapnya.
Parpol Perlu Introspeksi
Sedangkan pengamat pengamat politik Ray Rangkuti menyatakan, bahwa hasil Pilgub DKI Jakarta telah menegaskan sinyalemen sejumlah hasil survei bahwa parpol makin tidak diminati publik. “Parpol makin tak berwibawa, makin tak punya kemampuan menjelaskan pemilihnya,” ujar Ray Rangkuti.
Kemerosotan wibawa partai itu setidaknya tampak dari kemampuan memobilisasi pemilih. Publik tidak serta merta mengikuti logika yang ditawarkan partai dalam memilih salah satu pasangan kandidat. “Ketika logika masyarakat berbeda dengan (logika) partai, maka keduanya pun berjalan sendiri-sendiri,” kata direktur eksekutif Lingkar Madani Indonesia itu. (dyn/jpnn/ari)