SUMUTPOS.CO- Sekitar 64 kepala keluarga masih menghuni barak pengungsian korban gempa dan tsunami di Aceh, 10 tahun setelah gempa meluluh lantakan provinsi di ujung utara Pulau Sumatera.
Barak-barak berupa rumah petak panggung dari kayu ini yang disebut barak Bakoy I dan II, Kabupaten Aceh Besar, sudah lapuk di bagian lantai dan dinding. Itulah salah satu rumah hunian sementara terakhir yang masih berdiri dan dihuni hingga menjelang peringatan 10 tahun tsunami di Aceh.
“Saya pindahan dari Barak Bada ke Bakoy tahun 2007. Barak yang pertama dibongkar, kemudian dipindah ke barak 15 ini,” tutur Khalimatusaidah, salah seorang penghuni barak.
“Setelah kami di sini beberapa tahun, ini mau dibongkar lagi barak ini. Jadi kalau dibongkar lagi, kami mau ke mana? Sedang kami ini betul orang tsunami. Kalau bukan (korban tsunami) kami tidak berani di sini,” tambah seorang ibu ini sambil memperlihatkan foto kopi berita sebuah publikasi yang mengisahkan Khalimatusaidah terhempas ke atas pohon oleh gelombang tsunami.
Ia juga memegang dokumen resmi, surat bukti sebagai korban tsunami yang ditandatangani oleh kepala desa, camat, pejabat kepolisian dan seorang saksi.
‘Punya kunci rumah’
Bahkan seorang penghuni lain, Muzakir, mengantongi setumpuk dokumen yang membuktikan bahwa ia korban tsunami yang berhak dibantu perumahan seperti korban-korban lain.
“Ini kunci rumahnya. Kemudian dikasih sertifikat rumah yang dikasih ADB (Bank Pembangunan Asia), habis itu dikasih sertifikat tanah. Tanah itu sudah hak kita. Ini atas nama Muzakir, tapi rumah tidak bisa kita tempati. Lagi pun sertifikat aslinya sudah digelapkan oleh warga yang serobot rumah,” ungkap Muzakir.
Rumah yang diklaim Muzakir seharusnya menjadi haknya sudah terlebih dulu dihuni orang. Peristiwa itu terjadi beberapa tahun lalu ketika ia hendak menempati rumah barunya dengan diantar seorang petugas dari BRR. Oleh petugas ia disarankan kembali ke barak dan untuk bersabar menunggu penyelesaian sengketa kepemilikan.
Namun baik Muzakir maupun Khalimatusaidah bukan pemilik rumah ketika tsunami menerjang. Mereka hanya menyewa tahunan.
“Tapi banyak warga, yang juga penyewa, sudah mendapatkan rumah. Mereka 100% mengharapkan rumah seperti orang-orang yang sudah mendapatkan rumah,” tegas Bukhari Yunus, wakil koordinator penghuni barak Bakoy.
Semestinya tidak ada lagi pengungsi korban tsunami di Aceh setelah masa kerja Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias berakhir pada 2009. BRR adalah badan yang diberi mandat membangun kembali dan juga mengelola dana rekonstruksi pasca tsunami 2004.
“Saya pikir bukan masalah mereka berhak atau tidak tapi data-data yang diberikan oleh pemerintah daerah, khususnya Aceh Besar ada saat itu, tidak valid sehingga BRR tidak berani melakukan pembangunan rumah atas dasar data yang tidak valid,” kata mantan Direktur SDM dan Benefit BRR, Irfan Sofni di Banda Aceh kepada BBC Indonesia.
Sisa-sisa masalah yang belum terselesaikan ketika masa kerja BRR berakhir, lanjut Irfan, seharusnya dipikul oleh pemerintah daerah.
“Kita akan evaluasi lagi. Fenomena ini tidak boleh kita biarkan dan akan kita lihat apa solusinya dengan kabupaten kota. Kita sudah bangun banyak sekali rumah Duafa. Kalau memang nanti kita bisa buktikan mereka benar (korban tsunami) kita akan ditindaklanjuti dengan baik,” kata Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh, Dr. Mahyuzar.
Bagi Khalimatusaidah, Muzakir dan warga-warga lainnya yang menghuni Barak Bakoy, skema apapun yang ditempuh pemerintah tidak menjadi persoalan. Yang utama mereka mendapat rumah sebagaimana warga-warga lain yang mengalami bencana tsunami akibat gempa 9,1 skala Richter itu. (BBC)