26 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Korban Kebanyakan Gen-Z dan Well Educated, Lebih dari 3.300 WNI Jadi Korban Online Scamming

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mencatat ada lebih dari 3300 warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban online scamming. Angka ini merupakan akumulasi sejak 2020.

Direktur Perlindungan WNI Kemenlu Judha Nugraha mengungkapkan, jumlah korban online scamming ini terus naik hingga 8 kali lipat di tahun ini. Lonjakan terdeteksi sejak 2021 lalu. “Yang dulu hanya tercatat di Kamboja, di awal 2020, sekarang (korban, red) sudah menyebar ke 8 negara,” ujarnya dalam press briefing Kemenlu di Jakarta, Rabu (20/12). Delapan negara tersebut meliputi Kamboja, Myanmar, Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, Filipina, dan UEA.

Menurutnya, kenaikan kasus ini turut dipicu oleh syarat mudah dan besaran gaji yang ditawarkan. Tak ada syarat khusus untukn

bisa bekerja di perusahaan-perusahaan online scamming ini. Hanya disebutkan bahwa ada lowongan menjadi customer service dengan gaji Rp 18-20 juta perbulan. Namun nyatanya, ketika tiba di sana, para korban diminta membuat akun palsu untuk kemudian mencari target sasaran online scamming. “Biasanya akun palsunya menjadi perempuan. Kemudian diberikan target korban scamming. Mereka mendekati dengan love scam,” ungkapnya.

Menariknya, tipikal korban yang dipekerjakan di perusahaan online scamming di luar negeri ini sangat berbeda dengan korban TPPO pada umumnya. Mereka adalah Gen-Z, berusia 18-35 tahun. “Hampir 90 persen Gen-Z,” katanya.

Selain itu, lanjut dia, mereka juga well educated. Bahkan, ada yang pendidikannya sudah S2. Mereka pun bukan dari golongan ekonomi ke bawah atau kategori miskin. “Dan ada yang sudah pernah bekerja. Bukan pengangguran. Mereka sudah bekerja lalu dapat tawaran “menggiurkan” jadi pindah,” jelasnya. Yang mengejutkan lagi, ada banyak yang sebetulnya bukan pertama kali melakoni pekerjaan ini. Mereka pergi dengan concern. Sehingga, tak dikategorikan sebagai korban TPPO.

Diakuinya, masalah ini sudah menjadi perhatian banyak negara. Sebab, korbannya bukan hanya dari Asia Tenggara saja. Melainkan warga dari 59 negara lainnya.

Terlebih, saat ini, muncul pusat online scam baru Myawaddy, Myanmar. Wilayah ini diketahui sebagai wilayah konflik yang dikuasai oleh kelompok bersenjata anti pemerintah yang  berbatasan dengan Thailand. Karenanya, Otoritas myanmar pun tak bisa masuk ke wilayah tersebut. “Karena tak tersentuh akhirnya banyak yang dikirim ke sana. Ini menjadi magnet, karena perusahaan-perusahaan tersebut tak terjamah oleh hukum,” paparnya.

Karenanya, Indonesia terus mendorong adanya kerja sama baik itu bilateral maupun multilateral untuk memerangi kejahatan online scamming ini. Dari dalam negeri pun, pemerintah terus berupaya mencegah adanya WNI yang menjadi korban kembali. Selain sosialisasi, kemenlu telah berkoordinasi dengan pihak Imigrasi untuk bisa mencegah adanya upaya pengiriman WNI menjadi “pegawai” perusahaan online scam ini. (mia/jpg)

 

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mencatat ada lebih dari 3300 warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban online scamming. Angka ini merupakan akumulasi sejak 2020.

Direktur Perlindungan WNI Kemenlu Judha Nugraha mengungkapkan, jumlah korban online scamming ini terus naik hingga 8 kali lipat di tahun ini. Lonjakan terdeteksi sejak 2021 lalu. “Yang dulu hanya tercatat di Kamboja, di awal 2020, sekarang (korban, red) sudah menyebar ke 8 negara,” ujarnya dalam press briefing Kemenlu di Jakarta, Rabu (20/12). Delapan negara tersebut meliputi Kamboja, Myanmar, Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, Filipina, dan UEA.

Menurutnya, kenaikan kasus ini turut dipicu oleh syarat mudah dan besaran gaji yang ditawarkan. Tak ada syarat khusus untukn

bisa bekerja di perusahaan-perusahaan online scamming ini. Hanya disebutkan bahwa ada lowongan menjadi customer service dengan gaji Rp 18-20 juta perbulan. Namun nyatanya, ketika tiba di sana, para korban diminta membuat akun palsu untuk kemudian mencari target sasaran online scamming. “Biasanya akun palsunya menjadi perempuan. Kemudian diberikan target korban scamming. Mereka mendekati dengan love scam,” ungkapnya.

Menariknya, tipikal korban yang dipekerjakan di perusahaan online scamming di luar negeri ini sangat berbeda dengan korban TPPO pada umumnya. Mereka adalah Gen-Z, berusia 18-35 tahun. “Hampir 90 persen Gen-Z,” katanya.

Selain itu, lanjut dia, mereka juga well educated. Bahkan, ada yang pendidikannya sudah S2. Mereka pun bukan dari golongan ekonomi ke bawah atau kategori miskin. “Dan ada yang sudah pernah bekerja. Bukan pengangguran. Mereka sudah bekerja lalu dapat tawaran “menggiurkan” jadi pindah,” jelasnya. Yang mengejutkan lagi, ada banyak yang sebetulnya bukan pertama kali melakoni pekerjaan ini. Mereka pergi dengan concern. Sehingga, tak dikategorikan sebagai korban TPPO.

Diakuinya, masalah ini sudah menjadi perhatian banyak negara. Sebab, korbannya bukan hanya dari Asia Tenggara saja. Melainkan warga dari 59 negara lainnya.

Terlebih, saat ini, muncul pusat online scam baru Myawaddy, Myanmar. Wilayah ini diketahui sebagai wilayah konflik yang dikuasai oleh kelompok bersenjata anti pemerintah yang  berbatasan dengan Thailand. Karenanya, Otoritas myanmar pun tak bisa masuk ke wilayah tersebut. “Karena tak tersentuh akhirnya banyak yang dikirim ke sana. Ini menjadi magnet, karena perusahaan-perusahaan tersebut tak terjamah oleh hukum,” paparnya.

Karenanya, Indonesia terus mendorong adanya kerja sama baik itu bilateral maupun multilateral untuk memerangi kejahatan online scamming ini. Dari dalam negeri pun, pemerintah terus berupaya mencegah adanya WNI yang menjadi korban kembali. Selain sosialisasi, kemenlu telah berkoordinasi dengan pihak Imigrasi untuk bisa mencegah adanya upaya pengiriman WNI menjadi “pegawai” perusahaan online scam ini. (mia/jpg)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/