25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Beri Peringatan Dini kepada Presiden, Ombudsman: TNI Dilarang Masuk Wilayah Sipil

no picture

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu, angkat bicara mengenai isu penempatan TNI di jabatan sipil. Isu ini merebak, setelah Presiden Jokowi mengumumkan akan menambah 60 pos jabatan baru. Jabatan ini diperuntukkan bagi perwira tinggi (pati) TNI di kementerian atau lembaga yang membutuhkan.

Menurut Ninik, tindakan tersebut akan berpotensi maladministrasi. Alias berpotensi menabrak undang-undang.

“Tentu yang kami sampaikan ini peringatan dini. Kalau dilihat UU Nomor 5 Tahun 2014 (UU ASN) dan PP Nomor 11 Tahun 2017, sesungguhnya pintu masuk prajurit (TNI) ke wilayah sipil itu sudah ditutup rapat-rapat,” beber Ninik saat ditemui di Kantor Ombudsman RI, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (21/2).

Ninik juga menilai, jika prajurit TNI hendak menduduki jabatan sipil, maka harus mengundurkan diri. Prosedur tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Kalau dilihat di Pasal 39 (UU TNI), prajurit dilarang masuk ke ruang politik, bisnis yang berkaitan legislasi dan politis. Di UU yang sama Pasal 47, mengatakan prajurit, kalau mau masuk sipil, harus berhenti, mundur. Ikuti proses rekrutmen ASN. Kalau dia ikut ada fit and proper test, kalau fit-nya dia enggak berhasil, dia tak bisa kembali ke TNI,” jelasnya.

“Sehingga kami memandang kebijakan menempatkan jabatan TNI di (pos) ASN ini, berpotensi maladministrasi, terutama dalam penyelewengan jabatan,” imbuh Ninik.

Lebih lanjut, Ninik menjelaskan, TNI adalah alat negara yang bertugas di bagian pertahanan negara. Jika rencana tersebut ditetapkan, perlu adanya pembuatan keputusan dan kebijakan politik baru. Sebab, dalam aturan yang berlaku saat ini, tugas TNI hanya melakukan tugas di bagian pertahanan negara.

“Maka dalam waktu dekat, Ombudsman akan mengundang untuk mendalami potensi maladministrasi. Kami kan sayang dengan TNI, jangan sampai ada penyalahgunaan wewenang dalam buat prosedur dan kebijakan ini,” tegasnya.

Meski demikian, lanjutnya, berdasarkan Pasal 47, prajurit TNI aktif bisa menduduki jabatan pada lembaga terkait sejumlah bidang saja. Ninik mencontohkan, seperti Lembaga Ketahanan Nasional, Mahkamah Agung, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

“Ada 10 kalau tidak salah. Maka perlu dilakukan upaya pembuatan keputusan dan kebijakan politiknya terlebih dulu. Ya tentu saja harus diambil antara pemerintah dan DPR. Tidak bisa kemudian pemerintah melakukan sendiri tanpa ada pelibatan DPR,” pungkasnya. (jpc/saz)

no picture

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu, angkat bicara mengenai isu penempatan TNI di jabatan sipil. Isu ini merebak, setelah Presiden Jokowi mengumumkan akan menambah 60 pos jabatan baru. Jabatan ini diperuntukkan bagi perwira tinggi (pati) TNI di kementerian atau lembaga yang membutuhkan.

Menurut Ninik, tindakan tersebut akan berpotensi maladministrasi. Alias berpotensi menabrak undang-undang.

“Tentu yang kami sampaikan ini peringatan dini. Kalau dilihat UU Nomor 5 Tahun 2014 (UU ASN) dan PP Nomor 11 Tahun 2017, sesungguhnya pintu masuk prajurit (TNI) ke wilayah sipil itu sudah ditutup rapat-rapat,” beber Ninik saat ditemui di Kantor Ombudsman RI, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (21/2).

Ninik juga menilai, jika prajurit TNI hendak menduduki jabatan sipil, maka harus mengundurkan diri. Prosedur tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Kalau dilihat di Pasal 39 (UU TNI), prajurit dilarang masuk ke ruang politik, bisnis yang berkaitan legislasi dan politis. Di UU yang sama Pasal 47, mengatakan prajurit, kalau mau masuk sipil, harus berhenti, mundur. Ikuti proses rekrutmen ASN. Kalau dia ikut ada fit and proper test, kalau fit-nya dia enggak berhasil, dia tak bisa kembali ke TNI,” jelasnya.

“Sehingga kami memandang kebijakan menempatkan jabatan TNI di (pos) ASN ini, berpotensi maladministrasi, terutama dalam penyelewengan jabatan,” imbuh Ninik.

Lebih lanjut, Ninik menjelaskan, TNI adalah alat negara yang bertugas di bagian pertahanan negara. Jika rencana tersebut ditetapkan, perlu adanya pembuatan keputusan dan kebijakan politik baru. Sebab, dalam aturan yang berlaku saat ini, tugas TNI hanya melakukan tugas di bagian pertahanan negara.

“Maka dalam waktu dekat, Ombudsman akan mengundang untuk mendalami potensi maladministrasi. Kami kan sayang dengan TNI, jangan sampai ada penyalahgunaan wewenang dalam buat prosedur dan kebijakan ini,” tegasnya.

Meski demikian, lanjutnya, berdasarkan Pasal 47, prajurit TNI aktif bisa menduduki jabatan pada lembaga terkait sejumlah bidang saja. Ninik mencontohkan, seperti Lembaga Ketahanan Nasional, Mahkamah Agung, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

“Ada 10 kalau tidak salah. Maka perlu dilakukan upaya pembuatan keputusan dan kebijakan politiknya terlebih dulu. Ya tentu saja harus diambil antara pemerintah dan DPR. Tidak bisa kemudian pemerintah melakukan sendiri tanpa ada pelibatan DPR,” pungkasnya. (jpc/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/