Dian Inggrawati, Gadis Tunarungu yang Menang Tiga Besar di Ajang Miss Deaf World 2011
Indonesia berhasil meraih penghargaan sebagai runner-up II kontes kecantikan Miss Deaf World 2011 berkat Dian Inggrawati. Ajang ratu sejagat yang dikhususkan bagi para perempuan penyandang tunarungu itu dihelat di Praha, Republik Ceko.
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
Gadis itu tinggi semampai. Senyumnya mengembang ketika siang itu dia mulai melangkahkan kaki untuk memasuki Kantor Direktorat Pengembangan SMK Ditjen Pendidikan Menengah (Dikmen) Kemendiknas di Jalan Sudirman, Jakarta, akhir pekan lalu.
Dialah Dian Inggrawati. Gadis 27 tahun tersebut datang dengan didampingi sang ibu, Ny Ida Ratih Hermawan. Selain mengenakan mahkota, Dian memakai selempang kebesaran dari prestasi yang berhasil dia raih sebagai runner-up II Miss Deaf World 2011.
Tahun ini kali kesebelas ajang kecantikan dunia itu diadakan. Malam puncak kontes tersebutn
dihelat pada 8 Juli lalu di Praha, Republik Ceko.
Sesuai dengan namanya, kontes kecantikan itu dikhususkan bagi penyandang tunarungu. “Kelebihan kontes itu, selain kecantikan, sopan santun dinilai,” jelas Ida, yang ikut mendampingi putrinya tersebut ke Praha.
Ida menceritakan, keikutsertaan anak sulungnya itu bermula ketika Dian aktif di organisasi tunarungu yang bernama Yayasan Sehjira (Sehat Jiwa Raga). Kegiatan sosial Dian tersebut dimulai setelah dirinya lulus sarjana dari Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Persaja Indonesia pada 2010. “Di yayasan itu, Dian membantu bagian administrasi dan keuangan,” tutur perempuan kelahiran Malang yang sekarang tinggal di Jalan Tanah Abang II, Jakarta, tersebut.
Sebagai organisasi tunarungu, Mei lalu Yayasan Sehjira mendapat formulir pendaftaran kontes Miss Deaf Wolrd 2011. Saat itu yayasan boleh mengirim dua delegasi untuk diseleksi sebelum masuk babak final yang diikuti 38 peserta dari seluruh penjuru dunia.
Akhirnya, Dian menjadi satu-satunya delegasi dari Yayasan Sehjira setelah calon lain tidak bisa ikut. Dia juga menjadi satu-satunya delegasi Indonesia. Selain itu, baru tahun ini Indonesia mengikuti ajang tersebut.
Berbekal keyakinan kuat, Dian terbang ke Praha bersama ibunya dan pendamping dari Yayasan Sehjira pada 30 Juni lalu. Sebelum berangkat, Ida menyatakan mengalami kesulitan untuk pengurusan visa berkunjung ke Praha. Dia menjelaskan, saat itu tidak ada satu pun lembaga pemerintahan yang mendukungnya. Bahkan, Ida mengatakan menginap semalam untuk mengurus visa tersebut. “Kami murni berangkat mandiri,” jelas Ida.
Layaknya kontes-kontes kecantikan pada umumnya, setiba di Praha, gadis yang bisu-tuli sejak lahir tersebut menjalani masa karantina. Selama masa itu, Ida menjelaskan bahwa panitia sangat menekankan penanaman rasa percaya diri dan sopan santun. Penanaman sifat-sifat itu dilakukan dengan beragam kegiatan. Mulai pembelajaran di ruang kelas hingga kegiatan outbound.
Selama menjalani masa karantina itu, Dian tampak cepat beradaptasi dengan sesama penyandang tunarungu dari penjuru dunia. Ida menjelaskan, para peserta kontes sering saling membantu dalam memecahkan persoalan tertentu.
Misalnya, ketika ada peserta dari negara lain yang kesulitan memahami bahasa isyarat tunarungu yang sesuai dengan standar internasional, rekan lain tidak segan-segan membantu. Meski sejatinya mereka berkompetisi, persaingan hanya terjadi jika sudah berada di atas panggung. Di balik panggung, mereka terlihat seperti saudara.
Dian juga kurang begitu memahami bahasa tunarungu internasional. Pendengaran Dian tidak 100 persen hilang. Dian mengaku kepada ibunya bisa sedikit mendengar ketika menggunakan alat bantu dengar yang dipasang di telinga kanannya.
Saat tiba malam penganugerahan yang dihelat pada 8 Juli, Dian, Ida, dan pendamping dari Yayasan Sehjira diselimuti kegalauan. “Kami punya beban karena Dian harus tampil maksimal,” jelas Ida. Malam puncak acara itu diselenggarakan di sebuah gedung pertunjukan di Praha. Laporan dari penyelenggara menyebutkan, total ada 700 penonton yang hadir saat itu. Malam itu Dian dan peserta lain harus unjuk gigi. Seluruh peserta wajib membawakan keahlian masing-masing yang juga bisa dikombinasikan dengan budaya negara masing-masing.
Malam itu sulung di antara tiga bersaudara tersebut membawakan tarian Betawi dalam balutan busana karya Anne Avantie. Ida menjelaskan, dengan iringan musik untuk tarian Betawi, Dian tampil nyaris sempurna. “Saya merasa, semua penonton terpikat,” ucap Ida.
Meski tampil bagus, Dian masih cemas. Sebab, kontestan lain juga terlihat memukau juri dan penonton. Misalnya, delegasi Prancis July Duffrece beraksi menjadi seorang penunggang kuda andal. Sedangkan wakil Siprus Christiana Tsangara menampilkan kebolehan bermain basket. Wakil Korea Selatan, Mongolia, Brazil, dan Meksiko juga unjuk gigi dengan menampilkan tarian adat negara masing-masing.
Ida menuturkan, ada sedikit perbedaan antara Miss Deaf World dengan Miss Universe. Yaitu, pada malam puncak itu dewan juri tidak melontarkan pertanyaan kepada peserta. Para peserta juga tidak harus menjawab pertanyaan yang telah diundi. “Semua penilaian murni dari aspek percaya diri dan sopan santun,” tegas istri Hermawan tersebut.
Sebelum turun panggung setelah memperagakan tarian khas Betawi, Dian membuat suasana gedung pertunjukan riuh. Tepatnya ketika dia mengeluarkan sejenis surat berukuran 1 meter persegi. Dalam surat tersebut, dia menunjukkan tulisan “Deaf, no problem (Tuli, bukan masalah)?.
Ida menyatakan cukup terkejut dengan kejutan Dian itu. “Selama ini, dia menyembunyikan itu dari saya. Kami tidak tahu,” kenang Ida. Dia menduga, upaya Dian tersebut turut mengatrol nilainya hingga diputuskan menjadi runner-up II atau peringkat ketiga. “Kami tidak kecewa dengan ranking itu. Runner-up II sudah sangat bagus,” ucap Ida.
Gelar juara Miss Deaf World 2011 disabet Ilaria Galbusera, 20, dari Italia. Dia juga dikukuhkan sebagai Miss Deaf Sympathy 2011. Sedangkan runner-up I direbut Elena Korchagina, 17, delegasi dari Rusia. Sedangkan Miss Deaf Europe 2011 menjadi milik Natallia Rabava, 17, delegasi Belarusia.
Aneka hadiah dari sponsor pun mengalir ke para pemenang tersebut. Selain itu, piala dan sebuah mahkota bisa dibawa pulang Dian. Dari keberhasilan tersebut, koleksi piala Dian bertambah menjadi 401 buah. “Uangnya tidak besar,” jelas Ida. Mereka lantas pulang ke tanah air pada 13 Juli lalu.
Dian yang mampu tampil percaya diri dan memukau itu bukan karbitan. Ida menuturkan, sejak duduk di bangku SMK Santa Maria, Dian sering dijadikan model peragaan busana oleh kakak kelasnya. Selain itu, dia sering mendapat order dari alumni. Saat itu Dian menempuh pendidikan menengah kejuruan di bidang tata busana.
?Dian sering menjadi model peragaan karena katanya mudah dilatih,” ungkap Ida. Selain sering ditunjuk untuk menjadi model peragaan, Dian menonjol dalam desain pola busana. Untuk urusan itu, dia sudah memenangi lomba mulai tingkat sekolah hingga sekolah lain di Jakarta.
Sepulang dari Praha dengan membawa embel-embel runner-up II Miss Deaf World 2011, Dian menyimpan impian khusus. Impian itu adalah membuat semacam butik. Bukan sembarang butik. Melainkan, butik yang khusus menampung desainnya dan desain para penyandang tunarungu lainnya.
Penghargaan di tanah air langsung mengalir untuk Dian. Salah satunya datang dari Kemendiknas. Dian mulai tahun ini ditunjuk menjadi duta SMK. Baik untuk siswa normal maupun siswa cacat.
Tugas lain juga siap digarap Dian, selain menjadi duta. Tugas itu adalah menyiapkan kontes miss deaf tingkat lokal. Rencananya, Kemendiknas siap menjadi penanggung jawab kontes tersebut. Namun, pesertanya khusus yang masih sekolah. Yang berhasil menjadi juara bakal disalurkan untuk mengikuti kontes Miss Deaf World tahun berikutnya. (c11/kum/jpnn)