JAKARTA – Dukungan banyak partai terbukti bukan menjadi penentu utama dalam pesta demokrasi pemilihan langsung. Kekalahan duet Foke-Nara -sesuai hasil quick count- yang diusung seluruh anggota parpol koalisi pemerintah plus sejumlah partai lain, telah membuktikannya.
Pengamat politik Ray Rangkuti menyatakan, bahwa hasil Pilgub DKI Jakarta telah menegaskan sinyalemen sejumlah hasil survei bahwa parpol makin tidak diminati publik. “Parpol makin tak berwibawa, makin tak punya kemampuan menjelaskan pemilihnya,” ujar Ray Rangkuti, saat dihubungi.
Kemerosotan wibawa partai itu setidaknya tampak dari kemampuan memobilisasi pemilih. Publik tidak serta merta mengikuti logika yang ditawarkan partai dalam memilih salah satu pasangan kandidat. “Ketika logika masyarakat berbeda dengan (logika) partai, maka keduanya pun berjalan sendiri-sendiri,” kata direktur eksekutif Lingkar Madani Indonesia itu.
Dia menambahkan, bahwa fenomena tersebut sebenarnya sudah terbaca sejak pilgub putaran pertama, beberapa waktu lalu. Saat itu, salah satu pasangan calon independen Faisal Basri-Biem bahkan berhasil mengungguli pasangan kandidat yang diusung partai. Yaitu, pasangan Alex Noerdin-Nono yang diusung Partai Golkar dan PPP.
“Nah, hasil putaran kedua ini memperkuat fenomena tersebut,” tandasnya.
Atas hal tersebut, dia mendorong, agar partai-partai segera membuka diri untuk melakukan refleksi mendalam. Jika itu tidak dilakukan, maka bukan tidak mungkin publik akan benar-benar meninggalkan partai. “Tidak ada kata lain, karena pemilih sudah semakin independen dan cerdas, maka anda (parpol, Red) harus berubah,” imbuh Ray.
Selain makin independen, lanjut dia, pemilih saat ini juga terbukti makin rasional. Isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang marak sepanjang masa kampanye ternyata tidak banyak mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan masing-masing. “Siapa yang bisa memberi harapan dia lah yang akan dipilih, sekarang ini era visi, misi, dan program yang dilirik,” ujarnya.
Terpisah, Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin, di Jakarta, Jumat (21/9), mengingatkan tiga karakter Jokowi yang dapat dijadikan pelajaran cagubsu.
Sebagaimana dikemukakan tiga kepribadian inilah yang membawa Jokowi mampu merebut simpati masyarakat DKI Jakarta. Disebutkan, dalam kesehariannya, Jokowi terlihat benar-benar rendah hati. Hal ini tidak saja dimunculkan saat hendak maju sebagai calon. Namun jauh hari sebelumnya sudah terlihat sangat jelas.
“Calon lainnya (Fauzi Bowo) dipersepsikan sebagai figur yang sombong, angkuh, dan arogan,” dia menambahkan. Kepribadian lainnya, Jokowi, menurut Said, juga terlihat sangat bijaksana dalam mengambil kebijakan perkotaan, terutama penanganan pedagang kaki lima. Selain dua karakter itu Jokowi juga dinilai sebagai pemimpin yang senang membuat terobosan, terutama birokrasi pemerintahan yang selama ini dinilai masyarakat amat berbelit-belit. (dyn/gir/jpnn)