Petinju M Rachman Bangkit Lagi, Jadi Juara Dunia Tertua di Indonesia
Bagi petinju, meraih gelar juara dunia di usia menjelang 40 tahun termasuk langka. Tapi, itulah yang terjadi pada Muhammad Rachman. Dia akhirnya berhasil meraih juara dunia lagi setelah karir bertinjunya sempat terseok-seok.
MUHAMMAD AMJAD, Jakarta
Ruang VIP di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, mendadak ramai pada Rabu (20/4) malam lalu. Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Mallarangeng, Ketua Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) n
Gordon Mogot, dan beberapa insan olahraga tanah air terlihat berkumpul di sana.
Berkumpulnya para petinggi olahraga tanah air itu terjadi secara mendadak. Kehadiran mereka di bandara ternyata diputuskan dengan tiba-tiba pada hari itu juga untuk menyambut kedatangan juara dunia tinju kelas terbang mini (47,6 kg) WBA baru, M Rachman.
Kesuksesan Rachman memang tidak diprediksi oleh kalangan olahraga tanah air. Sebab, tidak ada gembar-gembor sebelumnya tentang rencana dia menantang juara dunia asal Thailand, Kwantai Sithmorseng. Itu pula yang diungkapkan Andi saat menyambut Rachman. “Anda pergi tidak bilang-bilang. Ternyata, saat pulang membuat kami terkejut dengan membawa kemenangan dan sabuk juara,” kata mantan juru bicara kepresidenan itu.
Dia juga memuji Rachman. Sebab, saat meraih gelar juara dunia itu, dia tidak muda lagi, hampir memasuki usia 40 tahun. “Kami bangga karena dia telah berhasil mengharumkan nama Indonesia. Istimewanya, dia sudah tua. Kalau saya boleh sebut, tua-tua nanas, makin tua makin ganas,” ujar Andi.
Rachman menceritakan, kesuksesannya membawa pulang gelar juara dunia tak bisa dilepaskan dari sikapnya selama ini. Dia memang sengaja berangkat diam-diam ke Thailand. Dengan cara begitu, dia menjadi lebih tenang dan tidak terlalu terbebani. “Lebih baik begini (berangkat diam-diam). Saya bisa lebih berkonsentrasi. Selain itu, tidak ada pikiran lain-lain dari saya. Mungkin berbeda kalau rame-rame berangkatnya,” ucapnya saat ditemui di Jakarta (21/4) lalu.
Keberhasilan Rachman itu harus dilalui dengan jalan cukup panjang. Sebab, dia sebenarnya sudah dianggap habis oleh insan tinju tanah air. Bisa jadi, karena anggapan itu pula, nyaris tidak terdengar rencana pertarungannya.
Petinju kelahiran Merauke, Papua, itu mengatakan, keberhasilannya bertanding melawan juara dunia dari Thailand tidak didapatkan dengan mudah. Kesempatan itu didapat karena dia memang sering bertarung di luar negeri.
Sebelumnya, Rachman merebut sabuk juara dunia kelas terbang mini versi IBF pada 2004. Gelar tersebut melayang pada 2007 setelah dia ditaklukkan petinju Filipina, Florante Condes. Setelah itu, Rachman ternyata tidak berhenti. Dia masih meneruskan karir bertinjunya.
Pertarungan besar yang sempat dia lakoni sebelum 2011 adalah pada 2009. Saat itu dia menantang juara dunia versi WBC Oleydong Sithsamercai asal Thailand. Dalam pertarungan yang digelar di Thailand itu, Rachman kembali harus menelan kekalahan. “Saat itu saya belum merasa waktunya untuk berhenti meskipun sudah tua. Saya tetap bertinju karena ini hobi saya. Jadi, saya terus saja berlatih,” terangnya.
Belajar dari kekalahan itu, Rachman lebih mematangkan persiapan. Hebatnya, dia tidak perlu seorang pelatih yang mendampinginya berlatih.
Rachman membuat sendiri program latihannya. Pada medio 2010 itu, Rachman telah bertanding dua kali, dan keduanya dia menangkan. Peringkatnya pun terus melorot dari sepuluh besar hingga hanya berada di peringkat ke-12. Namun, keberuntungan berpihak kepadanya.
Pada akhir 2010, juara dunia WBA Kwantai memilih melakoni pertarungan choice (pilihan). Saat itu promotor dari bendera Galaxy Promotion, Niwat Laosuwanwat, menawarinya menjadi lawan Kwantai.
“Saya mengiyakannya saja. Saya melihat itu adalah kesempatan besar untuk kembali menjadi juara dunia,” ucapnya. Dia pun membuat persiapan secara matang. Selama persiapan tanpa pelatih itu, Rachman hanya didampingi sang istri (Dia tidak mau menyebutkan namanya) berlatih setiap pagi dan sore.
Melihat hasil latihan, lanjut Rachman, dia semakin yakin bahwa fisiknya masih mampu menghadapi petinju Thailand itu.
“Istri saya sebagai timer (pemantau waktu saya) saat berlatih fisik. Latihan saya lakukan mandiri di rumah dan alun-alun Blitar,” bebernya. Selain faktor persiapan, Rahman mengaku kesuksesannya disebabkan pihak lawan cenderung meremehkannya. Sebab, saat berangkat ke Thailand dia hanya didampingi tiga koleganya. Bahkan, sang manajer Erik Purna Irawan juga tidak ikut.
Setibanya di Thailand, saat timbang badan pada Senin (18/4), Rachman ternyata juga kelebihan berat 5 ons dari 47,6 kg yang diwajibkan. Karena itu, dia sempat skipping 15 menit hingga berat badannya memenuhi syarat.
“Mungkin dari beberapa alasan itu lawan semakin meremehkan saya. Dia melihat saya tidak siap sehingga menjadi kurang waspada,” ungkapnya.
Meskipun sempat terjatuh dua kali pada ronde kedua dan kelima, Rachman akhirnya berhasil membalikkan kedudukan dan meng-KO Kwantai pada ronde ke-9. “Melihat lawan terlalu percaya diri, saya semakin termotivasi dan yakin juga bahwa saya pasti bisa mengalahkannya. Itu akhirnya terbukti,” ujarnya.
Rachman menyebut akan meneruskan karir bertinjunya hingga benar-benar habis. Selama masih mampu bertarung, Rachman akan berusaha keras untuk mempertahankan sabuk juaranya. “Saya tidak akan pensiun dalam waktu dekat. Saya akan berusaha mempertahankan sabuk ini selama mungkin.
Saya juga tidak akan mencari pelatih, karena dengan program saya ternyata saya mampu,” tandas petinju dengan rekor 64 kali tanding dengan 49 kali menang (33 KO/TKO), 10 kali kalah, dan 5 kali draw tersebut. (c2/kum/jpnn)