29 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Banjir Air Mata Iringi Kepergian Korban Sukhoi

JAKARTA- Suasana rumah sakit Polri diselimuti duka. Kemarin (22/5), sejumlah keluarga korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 (SSJ100) memadati rumah sakit yang berlokasi di kawasan Kramat Jati tersebut. Mereka diberi kesempatan melihat jenazah korban untuk terakhir kalinya, sebelum dimakamkan. Tangis histeris dan duka pun mewarnai ruang forensik RS Polri.

Polisi menyediakan sebuah tenda khusus untuk keluarga yang antri melihat jenazah. Rata-rata, mereka datang sambil membawa foto semasa hidup almarhum. Ada yang menggunakan pakaian kerja, pose modeling, hingga foto keluarga. Raut muka sedih tidak bisa disembunyikan dari pihak keluarga yang antri tersebut.

Untuk bisa melihat, keluarga korban harus bertemu dulu dengan para psikolog untuk menguji kesiapan mental mereka dalam melihat jenazah. Maklum, kondisi jenazah yang tidak utuh membuat keluarga rawan shock, pingsan, hingga depresi. “Karena itu dibatasi 10-15 menit, meski sudah tergolong sangat lama,” ujar psikolog Mira Rumemser.

Kepala Rumah Sakit Polri, Brigjen Pol Agus Prayitno menegaskan kalau itu sudah jadi aturan sebelum melihat jenazah. Keluarga wajib diberi penjelasan singkat soal kondisi korban. Bahwa sudah lebih dari seminggu, maka sudah membusuk. Juga tidak ada jasad yang kondisinya di atas 50 persen. “Agar tidak menimbulkan efek psikologis yang tidak kita inginkan,” kata Agus.

Sebenarnya, kemarin tim psikolog mewanti-wanti kepada keluarga agar tidak membawa anak kecil untuk melihat jenazah. Alasannya, pengaruh depresi tersebut bisa lebih cepat terjadi pada anak dibawah umur.

Nanit (12) misalnya. Dia kehilangan ibunya, Maisyarah, yang menjadi kru maskapai Sky Aviation. Kemarin, dia datang bersama pamannya. Tim psikolog termasuk Ustad Jefry Al Buchori yang mendoakan jenazah dari unsur rohaniwan juga sempat melarang. Namun, Nanit mengelak dan tetap ingin melihat ibunya untuk terakhir kali.

Ternyata benar, siswa kelas VI SD itu tidak kuasa melihat jenazah ibunya yang tak lagi utuh. Air mata pun terus keluar membasahi wajahnya. Ustad Jefry yang ternyata mengenal dekat Masiyarah langsung menguatkan Nanit dan pamannya. “Saya bilang ke pamannya, dia tidak boleh goyah. Nanit butuh tempat bersandar,” katanya.

Kesedihan serupa juga datang dari Efrina, ibunda pramugari Sky Aviation Anggraeni Fitria. Dia menangis usai keluar dari ruang forensik. Kesedihan membuatnya tidak kuat menggerakkan sendi-sendi kakinya. (jpnn)

JAKARTA- Suasana rumah sakit Polri diselimuti duka. Kemarin (22/5), sejumlah keluarga korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 (SSJ100) memadati rumah sakit yang berlokasi di kawasan Kramat Jati tersebut. Mereka diberi kesempatan melihat jenazah korban untuk terakhir kalinya, sebelum dimakamkan. Tangis histeris dan duka pun mewarnai ruang forensik RS Polri.

Polisi menyediakan sebuah tenda khusus untuk keluarga yang antri melihat jenazah. Rata-rata, mereka datang sambil membawa foto semasa hidup almarhum. Ada yang menggunakan pakaian kerja, pose modeling, hingga foto keluarga. Raut muka sedih tidak bisa disembunyikan dari pihak keluarga yang antri tersebut.

Untuk bisa melihat, keluarga korban harus bertemu dulu dengan para psikolog untuk menguji kesiapan mental mereka dalam melihat jenazah. Maklum, kondisi jenazah yang tidak utuh membuat keluarga rawan shock, pingsan, hingga depresi. “Karena itu dibatasi 10-15 menit, meski sudah tergolong sangat lama,” ujar psikolog Mira Rumemser.

Kepala Rumah Sakit Polri, Brigjen Pol Agus Prayitno menegaskan kalau itu sudah jadi aturan sebelum melihat jenazah. Keluarga wajib diberi penjelasan singkat soal kondisi korban. Bahwa sudah lebih dari seminggu, maka sudah membusuk. Juga tidak ada jasad yang kondisinya di atas 50 persen. “Agar tidak menimbulkan efek psikologis yang tidak kita inginkan,” kata Agus.

Sebenarnya, kemarin tim psikolog mewanti-wanti kepada keluarga agar tidak membawa anak kecil untuk melihat jenazah. Alasannya, pengaruh depresi tersebut bisa lebih cepat terjadi pada anak dibawah umur.

Nanit (12) misalnya. Dia kehilangan ibunya, Maisyarah, yang menjadi kru maskapai Sky Aviation. Kemarin, dia datang bersama pamannya. Tim psikolog termasuk Ustad Jefry Al Buchori yang mendoakan jenazah dari unsur rohaniwan juga sempat melarang. Namun, Nanit mengelak dan tetap ingin melihat ibunya untuk terakhir kali.

Ternyata benar, siswa kelas VI SD itu tidak kuasa melihat jenazah ibunya yang tak lagi utuh. Air mata pun terus keluar membasahi wajahnya. Ustad Jefry yang ternyata mengenal dekat Masiyarah langsung menguatkan Nanit dan pamannya. “Saya bilang ke pamannya, dia tidak boleh goyah. Nanit butuh tempat bersandar,” katanya.

Kesedihan serupa juga datang dari Efrina, ibunda pramugari Sky Aviation Anggraeni Fitria. Dia menangis usai keluar dari ruang forensik. Kesedihan membuatnya tidak kuat menggerakkan sendi-sendi kakinya. (jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/