JAKARTA- Fenomena artis yang terjun ke panggung politik mewarnai Pemilu 2014. Belakangan persaingan mereka tak lagi sekadar berebut proyek sinetron atau film televisi, namun mulai membidik kursi DPR di Senayan. Sejumlah partai politik terang-terangan menyertakan artis dalam Daftar Caleg Sementara (DCS) di KPU Pusat dengan alasan mendongkrak suara.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Syamsudin Harris mengatakan naiknya jumlah artis yang maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) dari berbagai parpol merupakan fenomena gagalnya kaderisasi dan kepemimpinan parpol.
“Ini menunjukkan bahwa parpol tidak siap berdemokrasi dengan sehat, karena gagal melaksanakan kaderisasi dan pembelajaran kepemimpinan,” tuturnya, kemarin.
Dia menegaskan, sudah bukan rahasia lagi saat ini hampir seluruh partai politik berebut meminang artis sebagai caleg. Tujuannya tentu saja sebagai penarik minat masyarakat untuk memilih partai yang bersangkutan. Sayangnya, bergabungnya partai politik yang otomatis hanya akan mengalami kaderisasi instan di parpol memberi efek yang tidak menguntungkan bagi kinerja para wakil rakyat.
Hal ini terlihat dari kualitas para artis yang duduk di Senayan pada periode sebelumnya. “Semakin banyak artisnya, maka kualitas legislatif semakin merosot. Berdasarkan pemilu lalu nyatanya hanya satu, atau dua orang saja yang kinerjanya baik,” tambahnya.
Menyikapi fenomena ini, Haris menyampaikan bahwa parpol seharusnya lebih bangga dalam mengusung kader yang telah dibesarkan dan memiliki kualitas lebih baik dari pada para artis yang baru mencalonkan diri.
“Justru aneh ketika parpol mengutamakan artis daripada kader-kader berkualitasnya,” tegas Haris.
Di lain pihak, politisi Partai Gerindra, Sunatra, mencermati masuknya artis ke dunia politik merupakan ‘tantangan’ tersendiri bagi caleg dari kalangan biasa. Mau tak mau caleg dari kalangan bukan artis itu harus bekerja keras demi menggaet hati pemilih di daerah pemilihan, dimana dia harus bertarung suara dengan sang artis.
“Bagi saya, fenomena ini membuat ketar-ketir, terutama bagi yang sehari-harinya aktif di partai,” kata politikus Partai Gerindra, Sunatra, Selasa (23/4).
Sunatra membagi aktivis politik menjadi dua, yakni kalangan idealis dan populis-kapitalis. Kalangan idealis adalah yang aktivitasnya terkait dengan politik, misalnya para kader muda partai. Sedangkan kalangan populis-kapitalis, yakni artis dan politikus berduit.
Hasil Survei
Maraknya artis masuk dunia politik justru bukan kabar menggembirakan bagi parpol. Setidaknya ini menurut hasil survei soal ketertarikan publik pemilih terhadap artis yang maju sebagai caleg.
Sebanyak 62 persen masyarakat Indonesia yang disurvei Charta Politika mengaku tak ingin memilih artis sebagai calon legislatif mereka. “Figur artis mendapat resistensi atau penolakan yang kuat dari masyarakat untuk menjadi calon legislatif,” ujar Direktur Riset Charta Politika Yunarto Wijaya, kemarin.
Dalam survei tersebut, Charta Politika menemukan hanya 16,7 persen responden yang setuju seorang artis menjadi calon legislatif. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan 21,2 persen responden yang mengaku tak tahu atau tak jawab.
“Ini menandakan pemilih kita semakin rasional dalam memilih calon legislatif,” ujar Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham. Dia menilai masyarakat tak lagi memandang popularitas sebagai suatu hal yang penting. “Mereka lebih banyak melihat kompetensi calegnya,” katanya.
Senada dengan Idrus, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Saan Mustofa menyebut popularitas bukan segalanya. “Yang dipilih oleh publik bukan hanya popularitas instan, tapi juga jaringan dan kerja politiknya,” ujar Saan.
Meskipun begitu, Saan mengaku bahwa personal branding sangat penting untuk pemilu legislatif. “Bagaimana bisa dipilih kalau tak dikenal,” tukasnya .
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Nasional Demokrat Ferry Mursyidan Baldan menyarankan partai-partai besar tak sepenuhnya bergantung pada nama tenar artis sebagai calon legislatif. “Publik tak lagi menghendaki figur publik menjadi legislatif,” kata dia.
Survei nasional yang digelar Charta Politika dilaksanakan pada tanggal 8-22 Juli 2012 lalu terhadap 2.000 responden. Metode yang digunakan adalah wawancara tatap muka dengan kuesioner terstruktur. Adapun batas kesalahannya (margin of error) sebesar 2,19 persen dengan tingkat kepercayaan mencapai 95 persen. (net/bbs/jpnn)
[table caption=”Para artis berebut kursi caleg” terminator=”|”]
1. ,Partai NasDem,
Doni Damara
Jane Shalimar
Sarwana
Melly Manuhutu
Mel Shandy
Ricky Subagja|
2.,PAN,
Primus Yustisio
Eko Patrio
Ikang Fawzi
Dwiki Dharmawan
Desy Ratnasari
Jeremy Thomas
Gisel Idol|
3., PDIP,
Rieke Dyah Pitaloka
Yessy Gusman
Edo Kondologit
Sony Tulung
Nico Siahaan
Dedi Gumelar (Miing)|
4. ,PKB,
Ridho Rhoma
Arzetti Bilbina
Said (Bajaj Bajuri)
Mandala Shoki
Iyeth Bustami
Akri ‘Patrio’|
5., PPP,
Angel Lelga
Okky Asokawati
Mat Solar|
6. ,Partai Demokrat,
Venna Melinda
Inggrid Kansil
Nurul Qomar
Ruhut Sitompul|
7. ,Partai Gerindra,
Irwansyah
Jamal Mirdad
Rachel Maryam
Bella Saphira
Iis Sugianto|
8. ,Partai Golkar,
Nurul Arifin
Charles Bonar Sirait
Tantowi Yahya|
9. ,Partai Hanura,
Andre Hehanusa
Gusti Randa
David Chalik
Teti Kadi
[/table]