25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Syamsul Ngotot Bukan Koruptor

Auditor BPK Pastikan Kas Langkat Bobol Rp98,7 Miliar

JAKARTA-Dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait perkara dugaan korupsi APBD Langkat 2000-2007, diperkuat keterangan saksi ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Auditor BPK, Aulien Edison Situmorang dalam keterangannya di hadapan majelis hakim pengadilan tipikor meyakinkan bahwa kas Pemkab Langkat telah dibobol sebesar Rp98,716 miliar.

Dari jumlah itu, Rp81,103 miliar pengeluarannya dari kas Pemkab Langkat menggunakan cek. “Jumlah ceknya sebanyak 1.177 cek. Ada bukti-bukti transfernya,” ujar Aulien Edison Situmorang, ahli yang dihadirkan JPU, dalam persidangan di pengadilan tipikor, Jakarta, Senin (23/5).

Edison membeberkan, jumlah Rp98,716 miliar itu dipilah-pilah, antara lain pengeluaran sebesar Rp52 miliar tercatat di buku agenda mantan Bendahara Umum Pemkab Langkat Buyung Ritonga. Kas bon-kas bon sebesar Rp6 miliar lebih, untuk pengadaan Panther Rp6,771 miliar, pinjaman ke pihak ketiga yang hingga laporan BPK selesai belum juga dibayar sebesar Rp1,02 miliar, untuk melunasi pinjaman CV Anshor ke Bank Syariah Mandiri Rp2 miliar lebih. Juga untuk penyertaan modal ke PDAM yang menyalahi peruntukan Rp5 miliar.

Dia menyebutkan, Syamsul telah mengembalikan ke kas Pemkab Langkat sebesar Rp68,802 miliar. Sebanyak Rp31 miliar diantaranya dikembalikan sebelum kasus ini diselidiki KPK. Hanya saja, pengembalian itu tidak dihitung sebagai pengurang jumlah kerugian negara. Alasannya, pengembalian itu di luar siklus keuangan tahunan. “Biar majelis hakim yang memutuskan mengenai hal ini,” terang Edison.

Tim BPK melakukan audit berdasarkan permintaan dari penyidik KPK. Sebelum audit dilakukan, tim penyidik KPK melakukan ekspos perkara di hadapan tim BPK. Tim auditor BPK ini bekerja berdasarkan dokumen, bukti-bukti, dan keterangan yang dipasok dari penyidik KPK. Setelah ditemukan angka kerugian negara, hasilnya diserahkan ke pimpinan BPK, yang selanjutnya diserahkan ke KPK.

Untuk memperkuat data, tim auditor BPK juga beberapa kali ikut mendengarkan keterangan saksi saat diperiksa penyidik KPK, seperti beberapa mantan anggota DPRD Langkat. Tim auditor merasa tidak perlu terjun langsung melakukan interview kepada pihak terkait, dengan alasan adanya kerugian negara sudah meyakinkan.
Audit yang dilakukan tim BPK, lanjutnya, tidak hanya berdasarkan catatan di buku agenda pribadi Buyung. Namun, tetaplah dilakukan pemeriksaan untuk mendapatkan bukti-bukti penarikan uang kas dengan cek yang jumlahnya mencapai 1177 cek itu. “Bukti-buktinya cocok (dengan catatan Buyung, Red),” cetusnya, menjawab pertanyaan kuasa hukum Syamsul Arifin, Samsul Huda.

Edison juga menyebutkan, ada 571 transaksi yang uangnya dipergunakan Syamsul dan pihak ketiga lainnya. “Kita juga cek, ada sejumlah pengeluaran yang diteken Buyung dan bupati saat itu,” ujar Edison. “Maksudnya terdakwa?” tanya ketua majelis hakim, Tjokorda Rae Suamba, yang langsung dibenarkan Edison.

Tjokorda bertanya lagi, apakah ada cek yang dinikmati terdakwa secara langsung? Edison menjawab,” Dari bukti transfer, ada. Kalau yang menyebut nama langsung bupati dan anak-anaknya, Rp600 juta sekian. Itu ada bukti transfer.”

Saat diminta menanggapi keterangan Edison, Syamsul Arifin mengatakan, saat diperiksa KPK, uang kerugian negaranya Rp67 miliar (bukan 98,716 miliar). Syamsul pun membantah itu semua merupakan uang APBD. “Seolah-olah semua uang APBD, uang APBD. Ada uang untuk operasional saya yang tak tercatat. Pengiriman uang ke keluarga, apa itu uang dinas atau uang pribadi?” kata Syamsul malah bertanya.

Dengan enteng, Tjokorda menimpali pernyataan Syamsul. “Kalau anda punya bukti itu uang pribadi, ajukan nanti di pembelaan,” sergah Tjokorda.

Sementara, dari pengacara Syamsul kemarin mengajukan dua orang ahli. Yakni ahli Hukum Administrasi Negara dari Universitas Padjajaran Bandung Prof Dr I Gde Panca Astawa dan ahli keuangan daerah Syahril Mahmud Effendi, yang juga pensiunan pegawai Depdagri.Panca Astawa lebih banyak menguraikan mengenai teori pendelegasian wewenang dalam jabatan. Katanya, ketika seorang kepala daerah sudah mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat atau bawahannya, maka ketika ada penyimpangan, kepala daerah tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. “Ketika pejabat publik sudah melimpahkan kewenangannya, selesai. Tinggal lihat proses. Kalau ada penyimpangan, itu bukan urusan kepala daerah,” terangnya.

Sedang Syahril Mahmud menerangkan, pengelolaan keuangan merupakan ranah administrasi. “Jika kepala daerah melakukan penyimpangan, maka presiden yang berhak menyatakan berapa kerugian negaranya,” ujar Syahril. Sidang akan dilanjutkan pada 30 Mei mendatang, dengan agenda pemeriksaan terdakwa. (sam)

Auditor BPK Pastikan Kas Langkat Bobol Rp98,7 Miliar

JAKARTA-Dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait perkara dugaan korupsi APBD Langkat 2000-2007, diperkuat keterangan saksi ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Auditor BPK, Aulien Edison Situmorang dalam keterangannya di hadapan majelis hakim pengadilan tipikor meyakinkan bahwa kas Pemkab Langkat telah dibobol sebesar Rp98,716 miliar.

Dari jumlah itu, Rp81,103 miliar pengeluarannya dari kas Pemkab Langkat menggunakan cek. “Jumlah ceknya sebanyak 1.177 cek. Ada bukti-bukti transfernya,” ujar Aulien Edison Situmorang, ahli yang dihadirkan JPU, dalam persidangan di pengadilan tipikor, Jakarta, Senin (23/5).

Edison membeberkan, jumlah Rp98,716 miliar itu dipilah-pilah, antara lain pengeluaran sebesar Rp52 miliar tercatat di buku agenda mantan Bendahara Umum Pemkab Langkat Buyung Ritonga. Kas bon-kas bon sebesar Rp6 miliar lebih, untuk pengadaan Panther Rp6,771 miliar, pinjaman ke pihak ketiga yang hingga laporan BPK selesai belum juga dibayar sebesar Rp1,02 miliar, untuk melunasi pinjaman CV Anshor ke Bank Syariah Mandiri Rp2 miliar lebih. Juga untuk penyertaan modal ke PDAM yang menyalahi peruntukan Rp5 miliar.

Dia menyebutkan, Syamsul telah mengembalikan ke kas Pemkab Langkat sebesar Rp68,802 miliar. Sebanyak Rp31 miliar diantaranya dikembalikan sebelum kasus ini diselidiki KPK. Hanya saja, pengembalian itu tidak dihitung sebagai pengurang jumlah kerugian negara. Alasannya, pengembalian itu di luar siklus keuangan tahunan. “Biar majelis hakim yang memutuskan mengenai hal ini,” terang Edison.

Tim BPK melakukan audit berdasarkan permintaan dari penyidik KPK. Sebelum audit dilakukan, tim penyidik KPK melakukan ekspos perkara di hadapan tim BPK. Tim auditor BPK ini bekerja berdasarkan dokumen, bukti-bukti, dan keterangan yang dipasok dari penyidik KPK. Setelah ditemukan angka kerugian negara, hasilnya diserahkan ke pimpinan BPK, yang selanjutnya diserahkan ke KPK.

Untuk memperkuat data, tim auditor BPK juga beberapa kali ikut mendengarkan keterangan saksi saat diperiksa penyidik KPK, seperti beberapa mantan anggota DPRD Langkat. Tim auditor merasa tidak perlu terjun langsung melakukan interview kepada pihak terkait, dengan alasan adanya kerugian negara sudah meyakinkan.
Audit yang dilakukan tim BPK, lanjutnya, tidak hanya berdasarkan catatan di buku agenda pribadi Buyung. Namun, tetaplah dilakukan pemeriksaan untuk mendapatkan bukti-bukti penarikan uang kas dengan cek yang jumlahnya mencapai 1177 cek itu. “Bukti-buktinya cocok (dengan catatan Buyung, Red),” cetusnya, menjawab pertanyaan kuasa hukum Syamsul Arifin, Samsul Huda.

Edison juga menyebutkan, ada 571 transaksi yang uangnya dipergunakan Syamsul dan pihak ketiga lainnya. “Kita juga cek, ada sejumlah pengeluaran yang diteken Buyung dan bupati saat itu,” ujar Edison. “Maksudnya terdakwa?” tanya ketua majelis hakim, Tjokorda Rae Suamba, yang langsung dibenarkan Edison.

Tjokorda bertanya lagi, apakah ada cek yang dinikmati terdakwa secara langsung? Edison menjawab,” Dari bukti transfer, ada. Kalau yang menyebut nama langsung bupati dan anak-anaknya, Rp600 juta sekian. Itu ada bukti transfer.”

Saat diminta menanggapi keterangan Edison, Syamsul Arifin mengatakan, saat diperiksa KPK, uang kerugian negaranya Rp67 miliar (bukan 98,716 miliar). Syamsul pun membantah itu semua merupakan uang APBD. “Seolah-olah semua uang APBD, uang APBD. Ada uang untuk operasional saya yang tak tercatat. Pengiriman uang ke keluarga, apa itu uang dinas atau uang pribadi?” kata Syamsul malah bertanya.

Dengan enteng, Tjokorda menimpali pernyataan Syamsul. “Kalau anda punya bukti itu uang pribadi, ajukan nanti di pembelaan,” sergah Tjokorda.

Sementara, dari pengacara Syamsul kemarin mengajukan dua orang ahli. Yakni ahli Hukum Administrasi Negara dari Universitas Padjajaran Bandung Prof Dr I Gde Panca Astawa dan ahli keuangan daerah Syahril Mahmud Effendi, yang juga pensiunan pegawai Depdagri.Panca Astawa lebih banyak menguraikan mengenai teori pendelegasian wewenang dalam jabatan. Katanya, ketika seorang kepala daerah sudah mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat atau bawahannya, maka ketika ada penyimpangan, kepala daerah tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. “Ketika pejabat publik sudah melimpahkan kewenangannya, selesai. Tinggal lihat proses. Kalau ada penyimpangan, itu bukan urusan kepala daerah,” terangnya.

Sedang Syahril Mahmud menerangkan, pengelolaan keuangan merupakan ranah administrasi. “Jika kepala daerah melakukan penyimpangan, maka presiden yang berhak menyatakan berapa kerugian negaranya,” ujar Syahril. Sidang akan dilanjutkan pada 30 Mei mendatang, dengan agenda pemeriksaan terdakwa. (sam)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/