JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Keberadaan sekolah berlabel internasional di Indonesia diperketat. Banyak aturan yang bakal dijalankan, termasuk mengganti pelabelan sekolah internasional menjadi sekolah kerjasama. Supaya tidak ada pelanggaran, izin terkini sekolah internasional di seluruh Indonesia dibatasi sampai 31 Desember 2014.
Aturan baru tentang keberadaan sekolah internasional ini tertuang dalam Permendikbud 31/2014. Data resmi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), jumlah sekolah internasional di seluruh Indonesia mencapai 111 unit. Seluruh sekolah internasional itu, tidak semuanya membuka layanan pendidikan mulai dari pendidikan anak usia dini hingga pendidikan menengah.
Khusus untuk sekolah internasional yang menyelenggarakan pendidikan menengah (SMA sederajat), jumlahnya ada 45 unit sekolah. Tersebar di beberapa provinsi seperti, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, hingga Sulawesi Utara.
Direktur Jenderal Pendidikan Menengah (Dirjen Dikmen) Achmad Jazidie menuturkan, Kemendikbud sudah mengantisipasi potensi pelanggaran aturan oleh sekolah-sekolah internasional itu. “Caranya kami hanya memberikan izin sekolah-sekolah itu sampai 31 Desember 2014 semuanya,” katanya.
Dengan cara itu, otomatis ketika mengajukan perpanjangan izin operasional untuk 1 Januari 2015 dan seterusnya, sekolah-sekolah internasional itu harus mengikuti aturan baru.
Aturan pencopotan label sekolah internasional dan lain-lainnya harus dipatuhi, untuk mendapatkan perpanjangan izin operasional. Jika tidak dituruti, resikonya sekolah bersangkutan tidak mendapatkan izin operasional alias ilegal. “Sekarang sudah mulai ada yang mengajukan perpanjangan izin operasional,” paparnya.
Jazidie menuturkan, semangat utama dalam membuat regulasi baru sekolah internasional murni dilakukan untuk melindungi putra-putri Indonesia. Jazidie menjelaskan bahwa di dalam sekolah-sekolah internasional itu, juga ada anak Indonesianya. Kondisi ini berbeda dengan sekolah diplomatik, yang isinya anak dari negara bersangkutan.
Dosen ITS Surabaya itu mengatakan, yang terjadi saat ini sekolah internasional tidak mengajarkan mata pelajaran bahasa Indonesia, sejarah, agama, dan pendidikan pancasila atau kewarganegaraan. Dia mengaku sangat prihatin, karena anak-anak Indonesia di dalamnya bisa tidak mengerti tentang Indonesia dan nilai-nilai di dalamnya.
Regulasi yang paling mencolok dalam pengelolaan sekolah internasional yang baru adalah, pengelola yayasannya harus kerjasama dengan orang Indonesia. Selama ini Jazidie mengatakan ada sekolah internasional yang yayasannya tidak jelas. Kalaupun ada yayasannya, dikelola oleh orang asing.
Dia menuturkan pendidikan yang berlabel nasional maupun internasional tetap terikat dengan aturan non-profit. “Saya tidak setuju dengan istilah saham sekolah internasional harus sharing antara orang asing dengan pribumi. Kelihatan sekali profit oriented-nya, sekolah tidak boleh dibisniskan,” urai Jazidie. (wan)