28 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Suara Golkar Bisa Pecah

Aburizal Bakrie
Aburizal Bakrie

SUMUTPOS.CO- Peta dukungan terhadap pilihan pilkada langsung ataupun lewat DPRD masih cukup cair. Fraksi Partai Golkar yang saat ini merupakan yang terbesar kedua di parlemen berpotensi tidak bulat mendukung salah satu opsi.

JAKARTA-Meskipun sikap resmi fraksi adalah mendukung pilkada lewat DPRD, tidak menutup kemungkinan ada sejumlah legislator dari partai tersebut yang memilih pilkada langsung. Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso menyatakan, ada kemungkinan fraksinya tidak satu suara dalam pengesahan RUU Pilkada. “Silakan saja, tidak apa-apa, tidak ada sanksi. Itu dinamika yang terjadi,” ujar Priyo di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (23/9).

Menurut Priyo, dinamika di internal fraksi memang lumrah. Namun, pilihan Partai Golkar terhadap pemilihan melalui DPRD sudah merupakan keputusan final.

Tidak solidnya internal Fraksi Partai Golkar disuarakan oleh sejumlah kader muda Partai Golkar. Salah satu kader muda yang dipecat DPP Partai Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita menilai opsi pilkada langsung jauh lebih demokratis dibandingkan dengan DPRD. Dirinya meyakini jika dalam paripurna nanti suara Fraksi Partai Golkar tidak solid.   “Silent majority di internal Partai Golkar itu lebih banyak,” kata Agus.

Menurut Agus, para pendukung pilkada langsung ini bisa saja menyatakan dukungan langsung dalam sidang paripurna atau memilih tidak hadir. Jumlah kursi Fraksi Partai Golkar di DPR saat ini mencapai 106, atau terbesar kedua setelah Fraksi Partai Demokrat (148).

Jika Fraksi Partai Golongan Karya berpotensi pecah dukungan, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengkhawatirkan kekuatan dari Fraksi Partai Demokrat. Jumlah anggota Fraksi Partai Demokrat periode saat ini memang paling besar dibandingkan yang lain. Namun, bila dukungan itu tidak bulat, suara yang mendukung pilkada langsung bisa kalah oleh dukungan pilkada lewat DPRD.

“Situasi memang agak sedikit berubah kalau Partai Demokrat ikut mendukung Pilkada langsung. Tapi dengan masuknya Demokrat ini bukan berarti opsi Pilkada langsung nanti aman dan menang,” ujar Zainun Ahmadi, anggota Fraksi PDIP.

Dia mengatakan, hanya 35 dari 148 anggota Fraksi Partai Demokrat yang terpilih kembali. “Mereka yang tidak terpilih bisa saja abstain atau malah tidak hadir di paripurna,” ujarnya.

Lagipula, kata Zainun, dukungan pilkada langsung dari Partai Demokrat terkesan setengah-setengah. Jika Fraksi Partai Demokrat cermat, jumlah sepuluh syarat yang mereka minta sebagai bentuk dukungan pilkada langsung sedikit banyak sudah tercantum di draf RUU Pilkada. “Kalau dari hitung-hitungan, opsi Pilkada langsung masih mungkin tetap kalah,” ujarnya.

Wasekjen DPP PKS Fahri Hamzah yakin Fraksi Partai Demokrat akan kembali mengubah sikapnya saat pengambilan keputusan di sidang paripurna. “Saya termasuk yang yakin Demokrat akan kembali mendukung pilkada tak langsung,” kata Fahri di komplek parlemen kemarin. Dia menambahkan, awal munculnya usulan opsi pilkada tak langsung melalui DPRD berasal dari pemerintah.

Hingga dua hari menjelang pengesahan 25 September, pembahasan RUU pilkada hingga kemarin belum tuntas di tingkat Panja.

Pokok materi yang diperdebatkan malah makin meluas, tidak hanya masalah pilkada langsung atau pilkada oleh DPRD.

Kubu yang menghendaki pilkada secara langsung bahkan tidak kompak. Sebagian anggota Panja menghendaki agar pilkada langsung hanya memilih kepala daerah saja seperti sudah tertuang di RUU opsi pilkada langsung yang sudah disiapkan pemerintah.

Namun, sebagian yang lain menghendaki sistem paket, di mana kepala daerah dan wakilnya dipilih secara bersamaan, seperti yang sudah dilakukan selama ini.

“Ada dua opsi, paket atau non paket. Ada yang menghendaki satu paket yaitu dipilih kepala daerah dan wakilnya dan ada yang menghendaki kepala daerahnya saja, wakilnya ditentukan kepala daerah terpilih,” terang Ketua Panja RUU Pilkada, Abdul Hakam Naja di gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin (23/9).

Selain itu, lanjut politisi dari Partai Amanat Nasional itu, rapat Panja pada Senin (22/9) malam juga belum mempolemikkan mengenai aturan pembatasan dinasti politik. Ada fraksi yang menginginkan tidak perlu diatur di RUU Pilkada, ada yang menginginkan diatur.

“Misalnya anak dan ayah, kakak adik, suami istri dari imcumbent baru boleh mencalonkan diri setelah satu periode keluarganya tidak menjabat,” terang dia.

Seperti diketahui, dalam RUU pilkada yang dibuat pemerintah, diatur mengenai pembatasan dinasti poliitik. Disebutkan di salah satu pasal di RUU yang mengatur syarat pencalonan, “Tidak memiliki ikatan perkawinan atau garus keturunan dua tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping, dengan petahana”.

Lebih lanjut Hakam Naja menjelaskan, di rapat Panja muncul gagasan agar pilkada langsung digelar satu putaran saja. Siapa yang meraih suara terbanyak, maka ditetapkan sebagai pemenang.

“Sekarang kan kalau perolehan suara kurang dari 30 persen menjadi dua ronde.  Semalam ada usulan agar Pilkada itu cukup satu ronde, jadi masih ada opsi yang belum disepakati,” jelasnya.

Ketua Komisi II DPR, Agun Gunanjar Sudarsa menambahkan, hal lain yang masih belum disepakati adalah aturan mengenai uji publik. Di rumusan RUU, juga yang dikehendaki Fraksi Partai Demokrat, tim uji publik terhadap calon berhak mencoret kandidat.

Sementara, lanjut politisi Partai Golkar itu, ada fraksi yang pro pilkada langsung, menghendaki agar tim yang melakukan uji publik tidak melakukan pencoretan. Namun, tim hanya memberikan penilaian terhadap integritas atau moralitas si kandidat. Jadi, kubu yang pro pilkada langsung juga belum menyepakati aturan mengenai hal ini.

Seperti diketahui, RUU pilkada mengatur mengenai uji publik atas integritas dan kompetensi cagub, cawabup, dan cawako.

Di pasal 36 rumusan RUU pilkada, sudah diatur bahwa dalam tahap pencalonan, akan ada Tim Panel yang dibentuk KPU Daerah, untuk melakukan uji publik kompetensi dan integritas para kandidat.

Tim Panel terdiri lima orang, dengan rincian 2 akademisi, 2 tokoh masyarakat, dan 1 anggota KPU.

Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, mengatakan, meski pihaknya hanya menyiapkan dua usulan, namun keputusan pemilihan kepala daerah dapat tidak hanya mengacu dipilih secara langsung atau mekanisme pemilihannya dikembalikan lewat DPRD.

Kemungkinan lain bisa terjadi, misalnya pemilihan gubernur dilakukan secara langsung, sementara bupati/wali kota lewat DPRD.

“Kita memang menyiapkan dua usulan seperti yang mengerucut di DPR. Yaitu mekanisme dipilih langsung dan mekanisme jika pilkada lewat DPRD. Tapi keputusannya bisa saja tidak begitu. Semuanya kan tergantung pembahasan di DPR,” katanya di Jakarta, Selasa (23/9).

Karena itu Kemdagri, kata Gamawan, kini hanya menunggu keputusan DPR terkait Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Keputusan apapun yang nantinya diambil, pihaknya siap menjalankan sesuai amanah yang diberikan.

“Rapat dengan tim perumus masih berlangsung. Sekarang ini intinya kita siapkan dua-duanya. Termasuk perbaikan-perbaikan yang dimintakan. Jadi bukan hanya naskah akademiknya yang kita serahkan ke DPR, tapi semua yang kita nilai penting terkait RUU Pilkada,” katanya. (bay/dyn/sof/jpnn/sam/gir)

Aburizal Bakrie
Aburizal Bakrie

SUMUTPOS.CO- Peta dukungan terhadap pilihan pilkada langsung ataupun lewat DPRD masih cukup cair. Fraksi Partai Golkar yang saat ini merupakan yang terbesar kedua di parlemen berpotensi tidak bulat mendukung salah satu opsi.

JAKARTA-Meskipun sikap resmi fraksi adalah mendukung pilkada lewat DPRD, tidak menutup kemungkinan ada sejumlah legislator dari partai tersebut yang memilih pilkada langsung. Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso menyatakan, ada kemungkinan fraksinya tidak satu suara dalam pengesahan RUU Pilkada. “Silakan saja, tidak apa-apa, tidak ada sanksi. Itu dinamika yang terjadi,” ujar Priyo di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (23/9).

Menurut Priyo, dinamika di internal fraksi memang lumrah. Namun, pilihan Partai Golkar terhadap pemilihan melalui DPRD sudah merupakan keputusan final.

Tidak solidnya internal Fraksi Partai Golkar disuarakan oleh sejumlah kader muda Partai Golkar. Salah satu kader muda yang dipecat DPP Partai Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita menilai opsi pilkada langsung jauh lebih demokratis dibandingkan dengan DPRD. Dirinya meyakini jika dalam paripurna nanti suara Fraksi Partai Golkar tidak solid.   “Silent majority di internal Partai Golkar itu lebih banyak,” kata Agus.

Menurut Agus, para pendukung pilkada langsung ini bisa saja menyatakan dukungan langsung dalam sidang paripurna atau memilih tidak hadir. Jumlah kursi Fraksi Partai Golkar di DPR saat ini mencapai 106, atau terbesar kedua setelah Fraksi Partai Demokrat (148).

Jika Fraksi Partai Golongan Karya berpotensi pecah dukungan, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengkhawatirkan kekuatan dari Fraksi Partai Demokrat. Jumlah anggota Fraksi Partai Demokrat periode saat ini memang paling besar dibandingkan yang lain. Namun, bila dukungan itu tidak bulat, suara yang mendukung pilkada langsung bisa kalah oleh dukungan pilkada lewat DPRD.

“Situasi memang agak sedikit berubah kalau Partai Demokrat ikut mendukung Pilkada langsung. Tapi dengan masuknya Demokrat ini bukan berarti opsi Pilkada langsung nanti aman dan menang,” ujar Zainun Ahmadi, anggota Fraksi PDIP.

Dia mengatakan, hanya 35 dari 148 anggota Fraksi Partai Demokrat yang terpilih kembali. “Mereka yang tidak terpilih bisa saja abstain atau malah tidak hadir di paripurna,” ujarnya.

Lagipula, kata Zainun, dukungan pilkada langsung dari Partai Demokrat terkesan setengah-setengah. Jika Fraksi Partai Demokrat cermat, jumlah sepuluh syarat yang mereka minta sebagai bentuk dukungan pilkada langsung sedikit banyak sudah tercantum di draf RUU Pilkada. “Kalau dari hitung-hitungan, opsi Pilkada langsung masih mungkin tetap kalah,” ujarnya.

Wasekjen DPP PKS Fahri Hamzah yakin Fraksi Partai Demokrat akan kembali mengubah sikapnya saat pengambilan keputusan di sidang paripurna. “Saya termasuk yang yakin Demokrat akan kembali mendukung pilkada tak langsung,” kata Fahri di komplek parlemen kemarin. Dia menambahkan, awal munculnya usulan opsi pilkada tak langsung melalui DPRD berasal dari pemerintah.

Hingga dua hari menjelang pengesahan 25 September, pembahasan RUU pilkada hingga kemarin belum tuntas di tingkat Panja.

Pokok materi yang diperdebatkan malah makin meluas, tidak hanya masalah pilkada langsung atau pilkada oleh DPRD.

Kubu yang menghendaki pilkada secara langsung bahkan tidak kompak. Sebagian anggota Panja menghendaki agar pilkada langsung hanya memilih kepala daerah saja seperti sudah tertuang di RUU opsi pilkada langsung yang sudah disiapkan pemerintah.

Namun, sebagian yang lain menghendaki sistem paket, di mana kepala daerah dan wakilnya dipilih secara bersamaan, seperti yang sudah dilakukan selama ini.

“Ada dua opsi, paket atau non paket. Ada yang menghendaki satu paket yaitu dipilih kepala daerah dan wakilnya dan ada yang menghendaki kepala daerahnya saja, wakilnya ditentukan kepala daerah terpilih,” terang Ketua Panja RUU Pilkada, Abdul Hakam Naja di gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin (23/9).

Selain itu, lanjut politisi dari Partai Amanat Nasional itu, rapat Panja pada Senin (22/9) malam juga belum mempolemikkan mengenai aturan pembatasan dinasti politik. Ada fraksi yang menginginkan tidak perlu diatur di RUU Pilkada, ada yang menginginkan diatur.

“Misalnya anak dan ayah, kakak adik, suami istri dari imcumbent baru boleh mencalonkan diri setelah satu periode keluarganya tidak menjabat,” terang dia.

Seperti diketahui, dalam RUU pilkada yang dibuat pemerintah, diatur mengenai pembatasan dinasti poliitik. Disebutkan di salah satu pasal di RUU yang mengatur syarat pencalonan, “Tidak memiliki ikatan perkawinan atau garus keturunan dua tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping, dengan petahana”.

Lebih lanjut Hakam Naja menjelaskan, di rapat Panja muncul gagasan agar pilkada langsung digelar satu putaran saja. Siapa yang meraih suara terbanyak, maka ditetapkan sebagai pemenang.

“Sekarang kan kalau perolehan suara kurang dari 30 persen menjadi dua ronde.  Semalam ada usulan agar Pilkada itu cukup satu ronde, jadi masih ada opsi yang belum disepakati,” jelasnya.

Ketua Komisi II DPR, Agun Gunanjar Sudarsa menambahkan, hal lain yang masih belum disepakati adalah aturan mengenai uji publik. Di rumusan RUU, juga yang dikehendaki Fraksi Partai Demokrat, tim uji publik terhadap calon berhak mencoret kandidat.

Sementara, lanjut politisi Partai Golkar itu, ada fraksi yang pro pilkada langsung, menghendaki agar tim yang melakukan uji publik tidak melakukan pencoretan. Namun, tim hanya memberikan penilaian terhadap integritas atau moralitas si kandidat. Jadi, kubu yang pro pilkada langsung juga belum menyepakati aturan mengenai hal ini.

Seperti diketahui, RUU pilkada mengatur mengenai uji publik atas integritas dan kompetensi cagub, cawabup, dan cawako.

Di pasal 36 rumusan RUU pilkada, sudah diatur bahwa dalam tahap pencalonan, akan ada Tim Panel yang dibentuk KPU Daerah, untuk melakukan uji publik kompetensi dan integritas para kandidat.

Tim Panel terdiri lima orang, dengan rincian 2 akademisi, 2 tokoh masyarakat, dan 1 anggota KPU.

Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, mengatakan, meski pihaknya hanya menyiapkan dua usulan, namun keputusan pemilihan kepala daerah dapat tidak hanya mengacu dipilih secara langsung atau mekanisme pemilihannya dikembalikan lewat DPRD.

Kemungkinan lain bisa terjadi, misalnya pemilihan gubernur dilakukan secara langsung, sementara bupati/wali kota lewat DPRD.

“Kita memang menyiapkan dua usulan seperti yang mengerucut di DPR. Yaitu mekanisme dipilih langsung dan mekanisme jika pilkada lewat DPRD. Tapi keputusannya bisa saja tidak begitu. Semuanya kan tergantung pembahasan di DPR,” katanya di Jakarta, Selasa (23/9).

Karena itu Kemdagri, kata Gamawan, kini hanya menunggu keputusan DPR terkait Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Keputusan apapun yang nantinya diambil, pihaknya siap menjalankan sesuai amanah yang diberikan.

“Rapat dengan tim perumus masih berlangsung. Sekarang ini intinya kita siapkan dua-duanya. Termasuk perbaikan-perbaikan yang dimintakan. Jadi bukan hanya naskah akademiknya yang kita serahkan ke DPR, tapi semua yang kita nilai penting terkait RUU Pilkada,” katanya. (bay/dyn/sof/jpnn/sam/gir)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/