Edison Poltak Siahaan, Ketua Perhimpunan Wicara Esofagus
Akibat merokok, Edison Poltak Siahaan harus merelakan pita suaranya diangkat. Dia tidak bisa berbicara lagi layaknya orang-orang normal. Tak ingin orang lain bernasib seperti dirinya, Edison kini gencar mengampanyekan gerakan berhenti merokok lewat Perhimpunan Wicara Esofagus.
SEKARING RATRI ADANINGGAR, Jakarta
USIANYA sudah memasuki senja. Tahun ini Edison Poltak Siahaan genap 74 tahun.
Namun, di usia setua itu, dia tergolong lansia yang sehat. Kondisi tubuhnya tampak selalu fit. Posturnya tegak, tidak bungkuk dan ringkih. Dia juga masih sering naik angkutan umum daripada mengendarai mobil pribadi.
Sekilas, memang tidak ada yang salah dengan fisik Edison. Hanya, bagian lehernya selalu ditutupi kain putih. Ketika dia bicara, suara yang keluar juga tidak seperti suara orang-orang normal lain. Suaranya lirih, parau, dan cenderung mirip bunyi robot.
Kalau tidak terbiasa, lawan bicara bisa kesulitan menangkap apa yang dia katakan. Karena itu, terkadang Edison perlu menenteng mikrofon mini ke mana pun dirinya pergi.
“Tapi, (mikrofon) ini sudah agak rusak sehingga suaranya nggak sejernih dulu,” ujar Edison ketika ditemui di Kalibata Mall, Kamis pekan lalu.
Edison adalah salah seorang mantan penderita kanker laring. Bahkan, kankernya dulu termasuk stadium berat. Karena kanker itu sudah menggerogoti saluran pernapasannya, ayah empat anak tersebut harus merelakan pita suaranya “diamputasi”.
Edison pun harus bernapas melalui lubang yang dibuat di bagian tengah lehernya. Karena itu pula, pergi ke mana pun, dia selalu melingkarkan kain putih semacam syal pada lehernya untuk menutupi lubang “hidung” tersebut. “Saya ke mana-mana juga selalu bawa tisu untuk membersihkan kotoran yang keluar dari lubang ini,” tutur dia.
Meski menyandang status tunalaring, Edison tergolong orang yang percaya diri. Dia tidak malu untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dia juga tidak segan menunjukkan lubang buatan di lehernya. Hanya, dia belum bersedia difoto dengan kondisi lubang yang terbuka.
“Kalau cuma dilihat tidak apa-apa. Tapi, kalau difoto, saya malu,” jelas Edison sembari tersenyum.
Berkat kegigihannya bersosialisasi sebagai mantan penderita kanker laring, Edison didaulat menjadi ketua Perhimpunan Wicara Esofagus (PWE) Indonesia, organisasi tempat berkumpulnya para penyandang tunalaring. Di PWE, dia juga merangkap sebagai instruktur untuk melatih teknik berbicara para penyandang tunalaring. Setiap dua bulan, anggota PWE berkumpul di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk belajar tentang teknik berbicara sekaligus berbagi pengalaman.
“Saya lihat perkembangan teknik berbicara mereka. Kalau ada yang kurang bagus, terus kami latih semaksimal mungkin,” tuturnya.
Pria kelahiran 27 Desember tersebut menjadi ketua PWE Indonesia sejak 2007. Dia dipilih karena dikenal sebagai motivator andal di komunitas tunalaring. Selain itu, Edison memiliki kemampuan sebagai instruktur. “Mungkin karena saya paling senior sehingga dipilih,” ujar dia merendah.
Sejak saat itu, Edison membawahkan 150 anggota PWE di seluruh Indonesia. Dia juga melakukan banyak perubahan di tubuh organisasi. Misalnya, bila sebelumnya PWE hanya menjadi wadah untuk belajar tentang teknik bicara dan berbagi pengalaman antarsesama penyandang tunalaring, Edison ingin lebih dari itu.
“Saya bilang pada mereka, tidak punya pita suara bukan berarti kiamat. Hidup itu anugerah dari Tuhan, harus disyukuri,” tambah dia.
Edison terserang kanker laring lantaran kebiasaannya merokok. Sebelum kanker menggerogoti saluran pernapasannya, dia termasuk perokok berat. Dalam sehari, Edison bisa menghabiskan dua sampai tiga pak rokok. Dia mulai merokok pada usia yang sangat muda, saat masih duduk di kelas dua SMP. Kebiasaan merokok tersebut berlanjut hingga dia beranak pinak. Tak pernah sedikit pun dia terpikir untuk berhenti merokok.
Pada 1995, efek merokok baru dia rasakan. Saat berlibur ke Timur Tengah, tiba-tiba suara Edison menjadi serak. Awalnya, dia membiarkannya. “Saya pikir, suara saya jadi serak karena perbedaan suhu antara Indonesia dan Timur Tengah,” kenang dia.
Namun, sepulang dari liburan, suara Edison belum juga pulih. Bahkan, suaranya makin serak dan hilang. Pernapasannya juga mulai terganggu. Edison mencoba berobat ke sana kemari, namun penyakitnya tak sembuh-sembuh.
Akhirnya, pada 1997, dia memutuskan untuk menjalani endoskopi. Tapi, hasilnya negatif alias tidak ada yang salah dengan saluran pernapasannya. Anehnya, suaranya tetap serak dan dia sulit bernapas. Dia pun kembali melakukan endoskopi. “Saya lakukan sampai lima kali,” terang dia.
Edison memang bandel. Meski kondisi pernapasannya tidak normal, dia tetap merokok seperti biasanya. Padahal, dokter secara tegas meminta dia berhenti merokok total. Dia pernah mencobanya, tapi selalu gagal.
“Istri saya ikut membantu upaya saya. Dia selalu cek jam tangan. Kalau belum satu jam, saya nggak boleh merokok. Sampai pernah ada tamu bertanya kenapa istri saya terus lihat jam, apa ada janji. Setelah saya jelaskan alasannya, mereka tertawa,” papar dia.Sejak 1997 hingga empat tahun kemudian, Edison masih aktif merokok. Sampai akhirnya, pada 2001, dia kolaps. Edison sama sekali tidak bisa bernapas. Pria kelahiran Parapat, Sumatera Utara, itu pun langsung dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) RSCM.
Sehari kemudian, Edison bisa kembali bernapas. Dia pun pulang keesokan harinya. Setelah pulang, dia menyempatkan diri untuk memeriksakan kondisi ke klinik khusus THT langganannya. Sesudah dia memeriksakan kondisi, dokter klinik tersebut langsung mengharuskan Edison masuk rumah sakit.
Dia bahkan memberikan surat rujukan agar segera dilakukan operasi. Edison kembali masuk rumah sakit. Dia akan menjalani dua operasi, yakni operasi untuk membikin lubang di leher dan operasi pengangkatan kanker secara total, termasuk pita suaranya.
Mendengar vonis bahwa pita suaranya harus diangkat, Edison tidak bisa protes. Sebab, kondisinya sudah benar-benar lemah. Dia sangat sulit bernapas. Bahkan, berat badannya turun drastis dari 65 kg menjadi 45 kg.
Namun, dalam kondisi yang sudah parah seperti itu, Edison tetap bandel. Menjelang operasi, dia masih sempat merokok. “Kalau pas ke kamar mandi, saya merokok sembunyi-sembunyi, satu batang kan lumayan,” kata dia sembari terkikik.
Akhirnya, pada Juni 2001, operasi pengangkatan pita suara dilakukan. Dia juga harus menjalani radiasi sampai 33 kali. Edison merasa sangat terpuruk. Selain harus merelakan pita suaranya diambil, pada November 2001 dia kehilangan anak bungsunya yang meninggal akibat kecelakaan.
“Saya benar-benar stres kehilangan anak bungsu saya itu,” kata kakek empat cucu tersebut.
Selain kehilangan pita suara, Edison tidak memiliki indra penciuman lagi. Dia tidak mampu mencium benda yang aromanya kurang kuat. “Kalau parfum masih bisa. Tapi, kalau kayak asap rokok atau bau selokan, saya tidak bisa mencium baunya,” ujarnya.
Sejak itu, Edison memutuskan untuk berhenti merokok secara total. Sejak indra penciumannya tidak lagi sempurna, dia tidak bisa menikmati rasa rokok lagi.
“Saya selalu bilang, jangan pernah mencoba untuk mengurangi rokok, tapi harus benar-benar berhenti. Karena saya sudah mengalami sendiri,” tegasnya.
September lalu, Edison hadir dalam pertemuan para korban rokok seperti dirinya. Tidak hanya mantan penderita tunalaring, ada juga mantan penderita tuberkulosis (TB), kanker payudara, hingga asma. Dalam forum itu, Edison mengusulkan agar dibentuk aliansi para korban rokok.
Lalu, lahirlah Aliansi Masyarakat Korban Rokok (AMKR). “Intinya, kami pernah menjadi perokok dan kini merasakan akibatnya. Karena itu, kami tidak ingin menambah teman senasib lagi,” pungkasnya. (*)