26 C
Medan
Sunday, October 20, 2024
spot_img

Lihat Penyeludupan Narkoba, Tengah Malamlah…

Menyusuri Pintu Masuk Narkoba dan Barang Ilegal Lainnya di Sumatera Utara (4/Habis)

Jelang maghrib Kwala Besar makin ramai. Beberapa nelayan pulang dari laut. Sumut Pos dan rombongan memilih meninggalkan kampung itu. Bang Mail berpesan agar rombongan membuka mata lebar-lebar sepanjang perjalanan menuju pulang, siapa tahu dapat melihat langsung transaksi para penyeludup.

Dua ekor ikan tenggiri berukuran 3 kilogram telah kami kuasai. Beberapa lembar uang pun berpindah tangan ke toke ikan yang dermaga kayunya tempat perahu kami bersandar. Satu per satu rombongan mulai memenhui perahu. Perjalanan dimulai lagi.

Meninggalkan Kwala Besar berarti penyusuran kami akan selesai Setelah perkampungan ini, kami akan menjumpai kawasan Karang Gading Kabupaten Langkat, setelah itu tak ada lagi perkampungan besar lain hingga tiba di Parit Belang, Telaga Tujuh, Kabupaten Deliserdang.

Maghrib berganti gelap dan kami mulai menikmati lagi bising suara mesin perahu yang dikemudikan Bang Ful. Lepas Kwala Besar, jalur air mulai menyempit. Rapat hutan bakau di kiri kanan bak marka jalan di daratan sana. Seandainya tak ada hutan bakau itu, bisa dipastikan sulit menentukan arah. Benar-benar gelap. Dan, kami akan berada di atas perahu sedikitnya dua jam.

Beruntung, Bang Ful cukup kenal kawasan itu. Beberapa keramba ikan terlewati, sama sekali tidak tersenggol perahu. Padahal, Sumut Pos yang duduk di barisan depan sama sekali tidak bisa melihat tonggak-tonggak kayu keramba yang kadang samapi ke tengah sungai.

Beberapa nelayan dengan perahu dayung masih terlihat. Mereka memakai lampu sekadarnya. Nelayan yang menggunakan perahu motor pun beberapa kali melintas. Sekali lagi, beruntung Bang Ful lihai, bukan tidak mungkin perahu kami bertabrakan bukan?

Setelah jauh meninggalkan Kwala Besar, perahu nelayan mulai jarang. Sumut Pos hanya bisa menikmati suara mesin yang membahana. Tanpa kata.

Tapi, entah karena terlalu memperhatikan sesuatu yang mencurigakan, Sumut Pos melihat dua perahu nelayan parkir di pinggir hutan bakau. Tak ada suara mesin perahu mereka. Masing-masing perahu terdiri atas dua orang. Nah, keempat orang itu sibuk memindahkan barang. Sayang, suasana begitu gelap. Sumut Pos hanya bisa melihat gerakan mereka; seperti bayangan. Mau berteriak kepada Wak Ngah dan Pak Awang untuk mencari tahu apa yang dilakukan dua perahu itu adalah tidak mungkin. Pun, untuk melihat Bang Ful tersenyum juga tidak bisa. Semua gelap.

Tiba-tiba Bang Ful belok kiri, dia memasuki paluh kecil. Ya, seperti jalan pintas. Nah, di kawasan ini, seperti di Paluh Makna, hutan bakau bercampur dengan pohon nipah serta kelapa sawit. Pohon bakau dan nipah di barisan depan dan sawit di barisan berikutnya. Bayangan pohon kelapa sawit jelas terlihat, runcing-runcing dan memanjang, sangat berbeda dengan pohon nipah dan bakau. Sumut Pos memperhatikan Bang ful yang bergerak-gerak, seperti menunjuk-nunjuk. Sumut Pos berusaha paham, pasti ini salah satu kawasan tempat penyeludup menghindar alias bersembunyi jika ada razia atau malah jalan pintas menuju Karang Gading yang dianggap aman.

Paluh ini lebarnya tak sampai tujuh meter, benar-benar mirip gang di kota besar. Perahu kami melaju sendiri, sayang tidak bisa cepat. Pasalnya, beberapa dahan pohon bakau dan nipah kadang masuk ke tengah paluh. Pak Awang yang duduk paling depan sibuk menyingkirkan dahan-dahan pohon itu.

Malah, beberapa kali, perahu terasa membentur sesuatu. Bukan di bagian depan, tapi di bagian dasar perahu; seperti menyeret. Tampaknya, paluh ini tidak berair dalam. Kenyataan ini seakan menegaskan kalimat Bang Mail di Kwala Besar. Ya, kapal patroli pasti tidak akan bisa melewati paluh ini. Perahu kami yang kecil – seperti perahu pasir – saja beberapa kali menyentuh dasar, bagaimana dengan kapal patroli?

Tak Lama kemudian, setelah memasuki jalur yang lebih besar, terlihat beberapa lampu rumah. Ya, sebuah perkampungan yang belakangan diketahui namanya Karang Gading. Perahu kami melaju pelan.

Kami pun memasuki perkampungan ini, tidak seperti Kwala Besar, perkampungan ini terlihat lebih banyak penghuninya. Dua sisi sungai menawarkan rumah-rumah. Tapi, kampung ini kesannya begitu sepi. Tak tampak aktivitas yang berarti. Di beberapa rumah terlihat dermaga kayu ala kadarnya. Beberapa rumah itu malah mirip dengan rumah toke ikan di Kwala Besar yang memiliki dermaga memanjang. Ada beberapa perahu yang bersandar. Dan, ada beberapa kotak ikan di sana, terbengkalai dan bertumpuk.
Tiba-tiba Bang Ful mematikan mesin perahunya.
“Tenang,cuma sampah…,” katanya.
“Inilah Karang Gading, masuk Kabupaten Langkat,” kata Wak Ngah.
“Di sini juga tempat masuk barang-barang itu?” tanya Sumut Pos.

Wak Ngah mengangguk. Tapi sekali lagi, ketika diarahkan ke narkoba, Wak Ngah tak menjawab. Sumut Pos berusaha melihat senyum Bang Ful, sayang lelaki hitam berambut gelombang itu sibuk menyingkirkan sampah. Senyum yang penuh dari arti dia tidak terlihat, padahal posisi kami sedang di kawasan yang menawarkan banyak lampu.

Belum sempat berbincang lagi dengan Wak Ngah, mesin perahu kembali dinyalakan. Perahu kembali berjalan normal. Karang Gading belum juga selesai terlewati. Di suatu sudut, terlihat beberapa warga yang memperhatikan kami. Mereka duduk di semacam warung kopi. Ekspresi mereka begitu jelas; curiga.

Lalu, jembatan yang membelah sungai di depan mata. Ya, jembatan Karang Gading. Sebuah sepeda motor melintas. Kabarnya, jembatan ini juga berperan persis dengan jembatan yang ada di Parit Belang; sering menjadi tempat untuk menghalau para penyeludup yang tidak permisi.

Setelah itu, perjalanan kembali melewati gelap, tak ada yang istimewa. Hanya, suasana mencekam benar-benar terasa. Tak terbayang ketika perahu kami berpapasan dengan para penyeludup yang pastinya membawa senjata berapi sebagai pegangan. Pukul sembilan malam kami tiba di Parit Belang.

Sumut Pos mengutarakan kekecewaan pada Wak Ngah dan Pak Awang setelah sampai di darat. Wak Ngah tersenyum saja. “Ya, yang kjita lewati tadilah jalur-jalur itu…” balas Pak Awang.
Bang Ful permisi, tugasnya telah selesai.

“Apalagi, mau lihat langsung penyeludupan narkoba? Ya, tengah malamlah… tapi jangan ajak kami. Ajak saja yang lain yang berani mengambil risiko,” tegas Pak Awang.

“Sudahlah, yang penting kalian kan bisa melihat jalur-jalur itu…” tambah Wak Ngah.
Suasana mulai tidak menyenangkan. Sumut Pos mengalah dan meminta maaf. Kami pun mulai bercanda sambil menikmati kopi. Ya, untuk apa dipaksakan. Mungkin, lain kali, Sumut Pos punya kesempatan yang sama dan narasumber yang lebih terbuka. Itu saja. (*)

Menyusuri Pintu Masuk Narkoba dan Barang Ilegal Lainnya di Sumatera Utara (4/Habis)

Jelang maghrib Kwala Besar makin ramai. Beberapa nelayan pulang dari laut. Sumut Pos dan rombongan memilih meninggalkan kampung itu. Bang Mail berpesan agar rombongan membuka mata lebar-lebar sepanjang perjalanan menuju pulang, siapa tahu dapat melihat langsung transaksi para penyeludup.

Dua ekor ikan tenggiri berukuran 3 kilogram telah kami kuasai. Beberapa lembar uang pun berpindah tangan ke toke ikan yang dermaga kayunya tempat perahu kami bersandar. Satu per satu rombongan mulai memenhui perahu. Perjalanan dimulai lagi.

Meninggalkan Kwala Besar berarti penyusuran kami akan selesai Setelah perkampungan ini, kami akan menjumpai kawasan Karang Gading Kabupaten Langkat, setelah itu tak ada lagi perkampungan besar lain hingga tiba di Parit Belang, Telaga Tujuh, Kabupaten Deliserdang.

Maghrib berganti gelap dan kami mulai menikmati lagi bising suara mesin perahu yang dikemudikan Bang Ful. Lepas Kwala Besar, jalur air mulai menyempit. Rapat hutan bakau di kiri kanan bak marka jalan di daratan sana. Seandainya tak ada hutan bakau itu, bisa dipastikan sulit menentukan arah. Benar-benar gelap. Dan, kami akan berada di atas perahu sedikitnya dua jam.

Beruntung, Bang Ful cukup kenal kawasan itu. Beberapa keramba ikan terlewati, sama sekali tidak tersenggol perahu. Padahal, Sumut Pos yang duduk di barisan depan sama sekali tidak bisa melihat tonggak-tonggak kayu keramba yang kadang samapi ke tengah sungai.

Beberapa nelayan dengan perahu dayung masih terlihat. Mereka memakai lampu sekadarnya. Nelayan yang menggunakan perahu motor pun beberapa kali melintas. Sekali lagi, beruntung Bang Ful lihai, bukan tidak mungkin perahu kami bertabrakan bukan?

Setelah jauh meninggalkan Kwala Besar, perahu nelayan mulai jarang. Sumut Pos hanya bisa menikmati suara mesin yang membahana. Tanpa kata.

Tapi, entah karena terlalu memperhatikan sesuatu yang mencurigakan, Sumut Pos melihat dua perahu nelayan parkir di pinggir hutan bakau. Tak ada suara mesin perahu mereka. Masing-masing perahu terdiri atas dua orang. Nah, keempat orang itu sibuk memindahkan barang. Sayang, suasana begitu gelap. Sumut Pos hanya bisa melihat gerakan mereka; seperti bayangan. Mau berteriak kepada Wak Ngah dan Pak Awang untuk mencari tahu apa yang dilakukan dua perahu itu adalah tidak mungkin. Pun, untuk melihat Bang Ful tersenyum juga tidak bisa. Semua gelap.

Tiba-tiba Bang Ful belok kiri, dia memasuki paluh kecil. Ya, seperti jalan pintas. Nah, di kawasan ini, seperti di Paluh Makna, hutan bakau bercampur dengan pohon nipah serta kelapa sawit. Pohon bakau dan nipah di barisan depan dan sawit di barisan berikutnya. Bayangan pohon kelapa sawit jelas terlihat, runcing-runcing dan memanjang, sangat berbeda dengan pohon nipah dan bakau. Sumut Pos memperhatikan Bang ful yang bergerak-gerak, seperti menunjuk-nunjuk. Sumut Pos berusaha paham, pasti ini salah satu kawasan tempat penyeludup menghindar alias bersembunyi jika ada razia atau malah jalan pintas menuju Karang Gading yang dianggap aman.

Paluh ini lebarnya tak sampai tujuh meter, benar-benar mirip gang di kota besar. Perahu kami melaju sendiri, sayang tidak bisa cepat. Pasalnya, beberapa dahan pohon bakau dan nipah kadang masuk ke tengah paluh. Pak Awang yang duduk paling depan sibuk menyingkirkan dahan-dahan pohon itu.

Malah, beberapa kali, perahu terasa membentur sesuatu. Bukan di bagian depan, tapi di bagian dasar perahu; seperti menyeret. Tampaknya, paluh ini tidak berair dalam. Kenyataan ini seakan menegaskan kalimat Bang Mail di Kwala Besar. Ya, kapal patroli pasti tidak akan bisa melewati paluh ini. Perahu kami yang kecil – seperti perahu pasir – saja beberapa kali menyentuh dasar, bagaimana dengan kapal patroli?

Tak Lama kemudian, setelah memasuki jalur yang lebih besar, terlihat beberapa lampu rumah. Ya, sebuah perkampungan yang belakangan diketahui namanya Karang Gading. Perahu kami melaju pelan.

Kami pun memasuki perkampungan ini, tidak seperti Kwala Besar, perkampungan ini terlihat lebih banyak penghuninya. Dua sisi sungai menawarkan rumah-rumah. Tapi, kampung ini kesannya begitu sepi. Tak tampak aktivitas yang berarti. Di beberapa rumah terlihat dermaga kayu ala kadarnya. Beberapa rumah itu malah mirip dengan rumah toke ikan di Kwala Besar yang memiliki dermaga memanjang. Ada beberapa perahu yang bersandar. Dan, ada beberapa kotak ikan di sana, terbengkalai dan bertumpuk.
Tiba-tiba Bang Ful mematikan mesin perahunya.
“Tenang,cuma sampah…,” katanya.
“Inilah Karang Gading, masuk Kabupaten Langkat,” kata Wak Ngah.
“Di sini juga tempat masuk barang-barang itu?” tanya Sumut Pos.

Wak Ngah mengangguk. Tapi sekali lagi, ketika diarahkan ke narkoba, Wak Ngah tak menjawab. Sumut Pos berusaha melihat senyum Bang Ful, sayang lelaki hitam berambut gelombang itu sibuk menyingkirkan sampah. Senyum yang penuh dari arti dia tidak terlihat, padahal posisi kami sedang di kawasan yang menawarkan banyak lampu.

Belum sempat berbincang lagi dengan Wak Ngah, mesin perahu kembali dinyalakan. Perahu kembali berjalan normal. Karang Gading belum juga selesai terlewati. Di suatu sudut, terlihat beberapa warga yang memperhatikan kami. Mereka duduk di semacam warung kopi. Ekspresi mereka begitu jelas; curiga.

Lalu, jembatan yang membelah sungai di depan mata. Ya, jembatan Karang Gading. Sebuah sepeda motor melintas. Kabarnya, jembatan ini juga berperan persis dengan jembatan yang ada di Parit Belang; sering menjadi tempat untuk menghalau para penyeludup yang tidak permisi.

Setelah itu, perjalanan kembali melewati gelap, tak ada yang istimewa. Hanya, suasana mencekam benar-benar terasa. Tak terbayang ketika perahu kami berpapasan dengan para penyeludup yang pastinya membawa senjata berapi sebagai pegangan. Pukul sembilan malam kami tiba di Parit Belang.

Sumut Pos mengutarakan kekecewaan pada Wak Ngah dan Pak Awang setelah sampai di darat. Wak Ngah tersenyum saja. “Ya, yang kjita lewati tadilah jalur-jalur itu…” balas Pak Awang.
Bang Ful permisi, tugasnya telah selesai.

“Apalagi, mau lihat langsung penyeludupan narkoba? Ya, tengah malamlah… tapi jangan ajak kami. Ajak saja yang lain yang berani mengambil risiko,” tegas Pak Awang.

“Sudahlah, yang penting kalian kan bisa melihat jalur-jalur itu…” tambah Wak Ngah.
Suasana mulai tidak menyenangkan. Sumut Pos mengalah dan meminta maaf. Kami pun mulai bercanda sambil menikmati kopi. Ya, untuk apa dipaksakan. Mungkin, lain kali, Sumut Pos punya kesempatan yang sama dan narasumber yang lebih terbuka. Itu saja. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru