26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bertemu Mafia Narkoba Rusia di Penjara

Rosita, TKW yang Berjuang Sendiri untuk Lolos dari Hukuman Pancung

Jika Ruyati adalah TKI perempuan di Arab Saudi yang tewas setelah dihukum pancung, kisah yang dialami Rosita Siti Saadah ini berbeda. Sama-sama dituduh membunuh, Rosita justru berhasil lolos dari hukuman mati itu meski dengan berjuang sendiri. Bagaimana kisahnya?

DHIMAS GINANJAR, Jakarta

Ketika berbincang dengan Jawa Pos (grup Sumut Pos), ada yang agak aneh pada diri Rosita. Perempuan 31 tahun itu selalu berusaha menyembunyikan dua tangannya di balik meja. Dia semakin menyembunyikan tangannya ketika dilirik Jawa Pos.

Ada apa dengan dua tanganmu? Ketika ditanya demikian, Rosita tidak langsung menjawab. Tak lama berselang, dengan agak ragu-ragu, dia menunjukkan bagian punggung dua tangannya yang menyerupai bekas kerutan. Seperti bekas luka bakar dan kulitnya tampak mengelupas.

“Luka ini ada sejak saya berada di penjara,” kata Rosita kepada Jawa Pos dan beberapa wartawan lain di markas LSM Solidaritas Perempuan (SP), Jalan Siaga 2, Pejanten Barat, Jakarta, Kamis lalu (23/6).

Saat ditanya penyebab luka bakar di tangannya, Rosita terdiam. Setelah menghela napas panjang, dia menceritakan bahwa luka bakar itu adalah “kenang-kenangan” ketika dia dijebloskan ke penjara Central Jail Fujairah, Uni Emirat Arab. Saat itu Rosita dituduh membunuh kolega sesama TKI Lilis Suryani.

“Luka bakar di tangan ini terjadi karena saat di penjara itu saya bekerja untuk mafia narkoba asal Rusia,” katanya. Dia lantas menceritakan asal muasal kasusnya.

Kisah Rosita bermula pada 15 Oktober 2009 atau empat bulan setelah dia mendarat di Fujairah, Uni Emirat Arab, untuk bekerja sebagai pembantu. Malam itu dia merasa letih yang luar biasa setelah mengurus sepuluh anak majikannya, Yaser Hassan Mohamed Saif.

Rasa lelah itu yang membuat dia tidur terlebih dahulu, meninggalkan Lilis Suryani yang masih terjaga. Lilis adalah teman Rosita sesama pembantu di rumah itu.

Ketika sedang enak-enaknya tidur, tiba-tiba Rosita terbangun setelah mendengar teriakan Lilis. Saat membuka mata, Rosita melihat sosok pria tinggi sedang melonggarkan bola lampu hingga padam.

Sesaat setelah suasana kamar menjadi gelap, tiba-tiba ada yang membekap mulutnya. Orang yang membekap mulut Rosita itu mengancam agar tidak berteriak jika tidak mau dibunuh. Setelah orang yang mengancam itu pergi, Rosita mencoba memanggil Lilis. Karena tidak ada sahutan, dia merasa ada sesuatu pada temannya itu. Rosita memilih mencari bantuan ke kamar majikannya.

“Tolong, ada laki-laki masuk ke kamar,” teriak Rosita saat itu sambil mengetuk pintu kamar majikannya. Anehnya, saat membuka pintu kamar, sang majikan malah menyuruh Rosita membuka pintu rumah. Majikannya berkata, polisi sudah ada di depan. Kedatangan polisi awalnya membuat Rosita lega. Namun, dia bingung bukan kepalang saat polisi tersebut malah membawanya ke rumah sakit. Di sana dia diperiksa apakah telah terjadi perzinahan. “Saya kaget saat di rumah sakit karena di sana baru tahu bahwa Lilis telah meninggal,” tuturnya.

Saat itu di benak Rosita banyak muncul pertanyaan. Mengapa Lilis meninggal? Lantas, siapa pria yang membekap mulutnya dan mengancamnya? Apakah pria itu yang membunuh Lilis? Belum mendapatkan jawaban atas beberapa pertanyaan itu, Rosita bertambah kaget ketika dirinya dijebloskan ke penjara. Di dalam penjara, polisi meminta dia mengaku telah membunuh Lilis. “Tentu saja saya kaget. Saya katakan bahwa saya tidak membunuh Lilis,” tandasnya.
Pemeriksaan berlanjut hingga mendatangkan majikan dan anak majikannya yang bernama Abdullah. Rosita lantas ingat, pada malam terbunuhnya Lilis, dirinya melihat Abdullah secara sepintas. Begitu anak majikannya yang berusia 15 tahun itu dipulangkan, dia mulai mendapat titik terang kasus tersebut.

Ibu satu anak itu menduga, pembunuhan itu muncul karena masalah cinta. Dia menduga, Abdullah menyukai Lilis yang seumuran dengannya. Tetapi, mengapa Lilis dibunuh? Masih belum ditemukan alasannya. “Yang saya yakin, dia (Abdullah, Red) terlibat pembunuhan,” ucapnya.

Dia lantas mengadu kepada polisi bahwa Abdullah adalah kekasihnya dan tahu pasti tentang pembunuhan itu. Dia terpaksa berbohong kepada polisi karena dengan cara itulah Abdullah bisa diseret ke kantor polisi lagi. Ternyata dugaannya benar, anak majikannya itu lantas dipanggil dan diperiksa. Dari pengakuan Abdullah, dua temannya yang ikut membunuh terseret juga. Akhirnya, tiga orang itu dipenjara dan menjalani persidangan hingga kini. “Tapi, saya masih dipenjara karena dianggap bersekongkol,” kenang perempuan kelahiran 1 Mei 1980 itu.

Nah, tiga bulan dalam penjara itulah dia berkenalan dengan mafia narkoba Rusia. Rosita menolak membeberkan nama mafia tersebut. Dia hanya menyebut orang Rusia itu adalah salah seorang penjahat yang paling disegani di antara tahanan. “Dia semacam ketua di penjara itu. Saya sampai ditawari kerja dengannya,” ungkapnya.
Pekerjaan itu tentu bukan mengedarkan narkoba di penjara. Tetapi, dia diminta untuk mencuci baju orang Rusia tersebut. Tawaran pekerjaan itu muncul lantaran orang Rusia itu merasa kasihan melihat Rosita tidak memiliki uang. “Saya diberi gaji 200 dirham (setara Rp467 ribu) sebulan,” jelasnya.

Luka bakar itu didapat karena dia kerap merendam tangannya di air yang berisi detergen dalam waktu lama dan rutin. Pekerjaan itu terus dilakukan selama dia di penjara sekitar 17 bulan. “Tiga bulan awal saya menganggur lumayan dapat uang,” tuturnya.

Dia hampir kehilangan harapan ketika sudah mendekam di penjara selama setahun. Sudah tiga kali dia disidang atas tuduhan pembunuhan. Hingga akhirnya, petugas dari KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) datang ke penjara tersebut untuk melakukan pendataan rutin.

Ketakutan luar biasa dia rasakan saat petugas KBRI mengatakan bahwa dia terancam dipancung. Alasannya, Rosita menjadi satu-satunya terdakwa dalam dugaan pembunuhan Lilis. Seketika itu pikirannya kalut, bayangan putra dan suaminya di kampung halaman tidak bisa hilang dari ingatannya.

Dia kecewa dengan perwakilan KBRI yang datang terlambat, yakni setahun setelah dia dipenjara. Tidak hanya itu, pengacara yang disediakan pun berasal dari Mesir sehingga dia kesulitan berkomunikasi. “Saya benar-benar kecewa mendapat perlakuan seperti itu,” jelasnya.

Pada 11 Juni lalu menjadi hari bersejarah bagi Rosita. Majelis hakim Fujairah menyebut tidak ada bukti yang menyatakan dirinya sebagai pembunuh. Karena itu, dia hanya diganjar hukuman penjara enam bulan. “Karena saya sudah dipenjara 20 bulan, saya langsung diberi tiket ke Indonesia,” katanya.

Tiket yang diberikan oleh polisi itu disebutnya sebagai permintaan maaf karena sudah mengurung Rosita 20 bulan. Berbekal Rp300 ribu yang didapat dari polisi, dia langsung terbang ke Indonesia. Sampai di Karawang, kampung halamannya, dia bertemu dengan berbagai pihak yang bersimpati kepadanya.

Beberapa hari kemudian dia mendatangi Kementerian Luar negeri (Kemenlu). Anehnya, Kemenlu tidak tahu bahwa Rosita sudah pulang. Bahkan, petugas sempat ragu bahwa yang datang itu adalah Rosita. “Orang Kemenlu telepon ke KBRI. Katanya saya baru bebas enam bulan lagi,” tandasnya.

Staf penanganan kasus buruh migran LSM Solidaritas Perempuan Vicky Sylvanie mengatakan, pihaknya bakal mengawal Rosita hingga status hukumnya selesai. Sebab, statusnya masih menggantung. Apakah dia bebas murni, bersyarat, atau yang lain. “Saat ini sidang pembunuhan Lilis masih berjalan di sana,” ucapnya. (c2/kum/jpnn)

Rosita, TKW yang Berjuang Sendiri untuk Lolos dari Hukuman Pancung

Jika Ruyati adalah TKI perempuan di Arab Saudi yang tewas setelah dihukum pancung, kisah yang dialami Rosita Siti Saadah ini berbeda. Sama-sama dituduh membunuh, Rosita justru berhasil lolos dari hukuman mati itu meski dengan berjuang sendiri. Bagaimana kisahnya?

DHIMAS GINANJAR, Jakarta

Ketika berbincang dengan Jawa Pos (grup Sumut Pos), ada yang agak aneh pada diri Rosita. Perempuan 31 tahun itu selalu berusaha menyembunyikan dua tangannya di balik meja. Dia semakin menyembunyikan tangannya ketika dilirik Jawa Pos.

Ada apa dengan dua tanganmu? Ketika ditanya demikian, Rosita tidak langsung menjawab. Tak lama berselang, dengan agak ragu-ragu, dia menunjukkan bagian punggung dua tangannya yang menyerupai bekas kerutan. Seperti bekas luka bakar dan kulitnya tampak mengelupas.

“Luka ini ada sejak saya berada di penjara,” kata Rosita kepada Jawa Pos dan beberapa wartawan lain di markas LSM Solidaritas Perempuan (SP), Jalan Siaga 2, Pejanten Barat, Jakarta, Kamis lalu (23/6).

Saat ditanya penyebab luka bakar di tangannya, Rosita terdiam. Setelah menghela napas panjang, dia menceritakan bahwa luka bakar itu adalah “kenang-kenangan” ketika dia dijebloskan ke penjara Central Jail Fujairah, Uni Emirat Arab. Saat itu Rosita dituduh membunuh kolega sesama TKI Lilis Suryani.

“Luka bakar di tangan ini terjadi karena saat di penjara itu saya bekerja untuk mafia narkoba asal Rusia,” katanya. Dia lantas menceritakan asal muasal kasusnya.

Kisah Rosita bermula pada 15 Oktober 2009 atau empat bulan setelah dia mendarat di Fujairah, Uni Emirat Arab, untuk bekerja sebagai pembantu. Malam itu dia merasa letih yang luar biasa setelah mengurus sepuluh anak majikannya, Yaser Hassan Mohamed Saif.

Rasa lelah itu yang membuat dia tidur terlebih dahulu, meninggalkan Lilis Suryani yang masih terjaga. Lilis adalah teman Rosita sesama pembantu di rumah itu.

Ketika sedang enak-enaknya tidur, tiba-tiba Rosita terbangun setelah mendengar teriakan Lilis. Saat membuka mata, Rosita melihat sosok pria tinggi sedang melonggarkan bola lampu hingga padam.

Sesaat setelah suasana kamar menjadi gelap, tiba-tiba ada yang membekap mulutnya. Orang yang membekap mulut Rosita itu mengancam agar tidak berteriak jika tidak mau dibunuh. Setelah orang yang mengancam itu pergi, Rosita mencoba memanggil Lilis. Karena tidak ada sahutan, dia merasa ada sesuatu pada temannya itu. Rosita memilih mencari bantuan ke kamar majikannya.

“Tolong, ada laki-laki masuk ke kamar,” teriak Rosita saat itu sambil mengetuk pintu kamar majikannya. Anehnya, saat membuka pintu kamar, sang majikan malah menyuruh Rosita membuka pintu rumah. Majikannya berkata, polisi sudah ada di depan. Kedatangan polisi awalnya membuat Rosita lega. Namun, dia bingung bukan kepalang saat polisi tersebut malah membawanya ke rumah sakit. Di sana dia diperiksa apakah telah terjadi perzinahan. “Saya kaget saat di rumah sakit karena di sana baru tahu bahwa Lilis telah meninggal,” tuturnya.

Saat itu di benak Rosita banyak muncul pertanyaan. Mengapa Lilis meninggal? Lantas, siapa pria yang membekap mulutnya dan mengancamnya? Apakah pria itu yang membunuh Lilis? Belum mendapatkan jawaban atas beberapa pertanyaan itu, Rosita bertambah kaget ketika dirinya dijebloskan ke penjara. Di dalam penjara, polisi meminta dia mengaku telah membunuh Lilis. “Tentu saja saya kaget. Saya katakan bahwa saya tidak membunuh Lilis,” tandasnya.
Pemeriksaan berlanjut hingga mendatangkan majikan dan anak majikannya yang bernama Abdullah. Rosita lantas ingat, pada malam terbunuhnya Lilis, dirinya melihat Abdullah secara sepintas. Begitu anak majikannya yang berusia 15 tahun itu dipulangkan, dia mulai mendapat titik terang kasus tersebut.

Ibu satu anak itu menduga, pembunuhan itu muncul karena masalah cinta. Dia menduga, Abdullah menyukai Lilis yang seumuran dengannya. Tetapi, mengapa Lilis dibunuh? Masih belum ditemukan alasannya. “Yang saya yakin, dia (Abdullah, Red) terlibat pembunuhan,” ucapnya.

Dia lantas mengadu kepada polisi bahwa Abdullah adalah kekasihnya dan tahu pasti tentang pembunuhan itu. Dia terpaksa berbohong kepada polisi karena dengan cara itulah Abdullah bisa diseret ke kantor polisi lagi. Ternyata dugaannya benar, anak majikannya itu lantas dipanggil dan diperiksa. Dari pengakuan Abdullah, dua temannya yang ikut membunuh terseret juga. Akhirnya, tiga orang itu dipenjara dan menjalani persidangan hingga kini. “Tapi, saya masih dipenjara karena dianggap bersekongkol,” kenang perempuan kelahiran 1 Mei 1980 itu.

Nah, tiga bulan dalam penjara itulah dia berkenalan dengan mafia narkoba Rusia. Rosita menolak membeberkan nama mafia tersebut. Dia hanya menyebut orang Rusia itu adalah salah seorang penjahat yang paling disegani di antara tahanan. “Dia semacam ketua di penjara itu. Saya sampai ditawari kerja dengannya,” ungkapnya.
Pekerjaan itu tentu bukan mengedarkan narkoba di penjara. Tetapi, dia diminta untuk mencuci baju orang Rusia tersebut. Tawaran pekerjaan itu muncul lantaran orang Rusia itu merasa kasihan melihat Rosita tidak memiliki uang. “Saya diberi gaji 200 dirham (setara Rp467 ribu) sebulan,” jelasnya.

Luka bakar itu didapat karena dia kerap merendam tangannya di air yang berisi detergen dalam waktu lama dan rutin. Pekerjaan itu terus dilakukan selama dia di penjara sekitar 17 bulan. “Tiga bulan awal saya menganggur lumayan dapat uang,” tuturnya.

Dia hampir kehilangan harapan ketika sudah mendekam di penjara selama setahun. Sudah tiga kali dia disidang atas tuduhan pembunuhan. Hingga akhirnya, petugas dari KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) datang ke penjara tersebut untuk melakukan pendataan rutin.

Ketakutan luar biasa dia rasakan saat petugas KBRI mengatakan bahwa dia terancam dipancung. Alasannya, Rosita menjadi satu-satunya terdakwa dalam dugaan pembunuhan Lilis. Seketika itu pikirannya kalut, bayangan putra dan suaminya di kampung halaman tidak bisa hilang dari ingatannya.

Dia kecewa dengan perwakilan KBRI yang datang terlambat, yakni setahun setelah dia dipenjara. Tidak hanya itu, pengacara yang disediakan pun berasal dari Mesir sehingga dia kesulitan berkomunikasi. “Saya benar-benar kecewa mendapat perlakuan seperti itu,” jelasnya.

Pada 11 Juni lalu menjadi hari bersejarah bagi Rosita. Majelis hakim Fujairah menyebut tidak ada bukti yang menyatakan dirinya sebagai pembunuh. Karena itu, dia hanya diganjar hukuman penjara enam bulan. “Karena saya sudah dipenjara 20 bulan, saya langsung diberi tiket ke Indonesia,” katanya.

Tiket yang diberikan oleh polisi itu disebutnya sebagai permintaan maaf karena sudah mengurung Rosita 20 bulan. Berbekal Rp300 ribu yang didapat dari polisi, dia langsung terbang ke Indonesia. Sampai di Karawang, kampung halamannya, dia bertemu dengan berbagai pihak yang bersimpati kepadanya.

Beberapa hari kemudian dia mendatangi Kementerian Luar negeri (Kemenlu). Anehnya, Kemenlu tidak tahu bahwa Rosita sudah pulang. Bahkan, petugas sempat ragu bahwa yang datang itu adalah Rosita. “Orang Kemenlu telepon ke KBRI. Katanya saya baru bebas enam bulan lagi,” tandasnya.

Staf penanganan kasus buruh migran LSM Solidaritas Perempuan Vicky Sylvanie mengatakan, pihaknya bakal mengawal Rosita hingga status hukumnya selesai. Sebab, statusnya masih menggantung. Apakah dia bebas murni, bersyarat, atau yang lain. “Saat ini sidang pembunuhan Lilis masih berjalan di sana,” ucapnya. (c2/kum/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/