Liang Bua, Rumah ‘Hobbit Flores’ yang Terus Digali
Kepulauan Flores memang memikat. Alamnya elok, sejarahnya juga unik. Termasuk kehadiran homo floresiensis, manusia purba bertubuh kate (kerdil) yang dipercaya sebagai percabangan evolusi manusia. Liang Bua di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah rumah orang-orang pendek itu.
DOAN WIDHIANDONO, Ruteng
ISTILAH Hobbit beken lewat trilogi The Lord of the Rings karangan John Ronald Reuel Tolkien. Hobbit kian mendunian
saat epik tersebut diangkat ke layar lebar oleh sutradara kondang Peter Jackson pada 2001-2003.
Dikisahkan, para Hobbit adalah manusia kate setinggi rata-rata tiga kaki atau sekitar 1 meter. Mereka hidup berdampingan di Bumi Tengah (Middle Earth) bersama kaum Elf (peri), Dwarf (kurcaci), Wizards (penyihir), dan manusia. Selain pendek, para Hobbit punya telapak kaki lebar, rambut keriwil-keriwil, plus ujung telinga runcing.
Para Hobbit, makhluk yang selalu riang itu, mendiami kawasan The Shire. Itu adalah tempat indah dengan rumah-rumah pendek dengan warna hijau rumput.
Namun, Liang Bua bukan The Shire. Liang Bua adalah gua kapur di Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai. Tempat itu berada sekitar 14 kilometer di utara Ruteng, ibu kota Manggarai. Gua kapur itu begitu gede. Panjangnya sekitar 50 meter. Lebarnya 40 meter. Langit-langit tertingginya 25 meter. Plafon gua itu berhias stalaktit yang berjuntai-juntai.
Nah, Liang Bua (dalam bahasa Manggarai berarti gua dingin atau gua es) itulah dipercaya sebagai tempat tinggal Hobbit Flores, julukan homo floresiensis, lebih dari 10 ribu tahun lalu.
“Saya ikut terlibat dalam penemuan pertama homo floresiensis itu,” kata Jatmiko, peneliti utama di Pusat Arkeologi Nasional (Arkenas).
Senin siang (10/9), Jatmiko bersama sekitar 40 warga mengais-ngais Liang Bua. Di antara mereka ada Matthew Tocheri, staf Smithsonian Institute National Museum of Natural History, Amerika Serikat. Ya, penggalian Liang Bua memang belum mandek. Setidaknya pada 1978-1989 dilanjutkan mulai 2001 hingga saat ini Arkenas terus berupaya menyingkap tabir kehidupan masa lalu di Liang Bua.
Sejauh ini temuan yang paling fenomenal dari sisi kontroversi dan gaungnya adalah Hobbit Flores yang ditemukan pada 2004. Pada tahun itu Arkenas bekerja sama dengan University of New England dan Wollongong University, keduanya dari Australia. Smithsonian Institute baru masuk sebagai bagian dari kerja sama tersebut pada 2008.
Menurut Jatmiko, kerangka pertama homo floresiensis relatif komplet. Tengkoraknya nyaris utuh. Tulang bahu, lengan, panggul, kaki, hingga jemarinya ada. Tengkorak tua itulah yang menjadi pangkal kehebohan di jagat ilmiah hingga sekarang. “Sebab, LB 1 (sebutan resmi untuk kerangka itu, Red) menunjukkan sebuah karakter unik,” ujar Jatmiko.
LB 1 adalah perempuan. Itu terlihat dari panggulnya yang besar. Usianya 20-30 tahun. Secara anatomi, ada kelainan fisik pada kerangka tersebut. Ukurannya kecil. Tingginya 115 sentimeter, kira-kira setinggi panggul orang dewasa. Volume otak hanya 400 cc, sepertiga otak manusia modern, jauh lebih kecil katimbang otak simpanse.
Menurut Jatmiko, LB 1 yang akhirnya digolongkan dalam spesies homo floresiensis punya karakter serupa Lucy, fosil manusia tertua berumur 3 juta tahun yang ditemukan di Ethiopia.
“Tapi, LB 1 juga punya karakter anatomis manusia modern. Ini yang menjadi kontroversi ahli palaeoantropologis di seluruh dunia sampai sekarang,” ujar pria 55 tahun tersebut.
Sebagian ahli percaya, homo floresiensis adalah spesies anyar di percabangan evolusi antara homo erectus (manusia yang pertama berjalan tegak) dengan homo sapiens atau manusia modern. Tapi, ilmuwan yang skeptis cenderung percaya bahwa kerangka kate itu bukan spesies baru. Bisa jadi itu kerangka manusia purba (bisa juga modern) yang mengalami kelainan fisik. Misalnya, cebol atau mikrosepali (volume kepala yang mengecil).
Namun, sebagai orang yang menemukan langsung kerangka tersebut, Jatmiko lebih condong ke pendapat bahwa tulang belulang manusia cebol itu adalah spesies anyar, yang tak ada duanya di belahan dunia mana pun.
Jatmiko ingat betul, LB 1 ditemukan pada kedalaman 595 cm. Sebelum itu, tak ada satu ahli pun yang menggali hingga kedalaman itu. “Sebelum mencapai kedalaman itu, ada endapan abu vulkanik dengan ketebalan satu meter,” tambahnya.
Artinya, kehidupan para Hobbit habis total karena ada letusan gunung api di era tersebut.
Di kedalaman 6 meter itu, LB 1 tak sendiri. “Kami juga menemukan individu lain,” katanya. Jumlahnya enam. Tapi, tulang-tulang mereka tak komplet. Hanya ada fragmen-fragmen rahang, tulang jari, atau femur (tulang paha).
Bagi Jatmiko, ini mendukung teori bahwa Hobbit Flores bukanlah manusia cacat. “Dia tidak menyendiri. Mereka punya tata kemasyarakatan dan aktivitas kehidupan lainnya. Sebab, di kedalaman itu kami juga menemukan ribuan artefak batu. Jadi, mereka bertani dan meramu seperti manusia modern,” kata alumnus Universitas Udayana, Bali, dan Magister Universitas Indonesia, Jakarta, tersebut.
Tampak bahwa para Hobbit tinggal di zaman yang “mengerikan”. Mereka kate berjuang di tengah lingkungan yang juga ditinggali komodo raksasa, tikus raksasa, stegodon atau gajah cebol, hingga marabou atau bangau purba setinggi lebih dari 1,5 meter.
Sampai sekarang daya tarik homo floresiensis masih begitu kuat. Ahli-ahli kepurbakalaan di seluruh dunia masih terus memperbincangkannya. Penelitian dan penggalian seperti yang dilakukan Arkenas pun terus berlangsung. “Sampai sekarang kami masih temukan jejak-jejak peradaban lampau itu,” kata Jatmiko.
Kini, warga sekitar Liang Bua terus-menerus dilibatkan untuk membantu penelitian. “Saya berani jamin, warga di sini bisa disebut arkeolog. Saya berani adu mereka dengan arkeolog yang baru lulus perguruan tinggi. Warga ini lebih jago,” kata Jatmiko.
Padahal, menggali situs penelitian tak sama dengan menggali kubur. Di Liang Bua, tanah digali 10 sentimeter demi 10 sentimeter pada petak berukuran 2 x 2 meter persegi. Tanah yang diangkat lalu dicuci untuk memisahkan fragmen tulang atau temuan lain. Setelah itu, tanah dikembalikan lagi ke tempat penggalian.
Warga juga bisa memilah, membersihkan, hingga melakukan perbaikan kecil terhadap fragmen-fragmen yang ditemukan. Misalnya, memberikan pengawet khusus atau mengelem bagian yang retak. “Kami memang sudah biasa memegang fosil. Ini fosil tulang telinga stegodon,” kata Tensianus Tahu, 34, warga Liang Bua, yang bertugas menyortir fosil sebelum dikirim ke Arkenas, Jakarta, sembari menunjukkan potongan tulang.
Warga Liang Bua, terutama yang masih muda, memang mendapat pujian secara khusus oleh Jatmiko. “Mereka smart dan mau belajar. Mereka juga bisa menjelaskan salah kaprah bahwa homo floresiensis punya keturunan sampai sekarang,” kata Jatmiko.
Setiap Arkenas melakukan penelitian di Liang Bua selama kurang lebih dua bulan tiap tahun, ada 40 warga yang dilibatkan. Mereka diberi honor Rp45 ribu per hari per orang plus fasilitas makan, kopi, hingga rokok.
Meski sudah kondang sebagai tempat penelitian dan tempat wisata, suasana Liang Bua masih terasa sepi. Kalau saja tak ada aktivitas dari Arkenas siang itu, gua besar itu bisa jadi melompong. “Yang wisata memang tak banyak. Yang sering wisata minat khusus,” kata Kornelis Jaman, penjaga situs wisata Liang Bua.(c2/ari/jpnn)