25 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Jika Sektor Pendidikan Dikenakan Pajak, Bakal Banyak Anak Putus Sekolah

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Rencana pemerintah untuk memungut pajak penambahan nilai (PPN) dari sektor jasa pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), menuai kontroversi. Pengamat dan Praktisi Pendidikan, Indra Charismiadji menilai, dampak yang akan terjadi jika jasa pendidikan dikenakan pajak, bakal banyak anak putus sekolah.

“Dampaknya kalau SPP naik, apa? Banyak anak putus sekolah dong,” ujar Indra kepada JawaPos.com, Jumat (11/6).

Disebutnya, anak-anak usia SMP di Indonesia itu, 20 persen belum sekolah. Artinya, menurut Indra, jika revisi UU tersebut disahkan, maka kemungkinan besar angka tersebut akan semakin bertambah. Apalagi, jumlah partisipasi untuk masuk ke sekolah negeri di Indonesia sangat tinggi, sementara jumlah sekolah negeri masih belum memadai untuk menampung jumlah peserta didik yang lulus tiap tahunnya.

“Jadi, mereka yang tidak diterima di sekolah negeri, yang memilih harus bisa sekolah adalah mereka yang bisa membayar. Sekarang kalau biaya tersebut ditambah, itu ditambah 12 persen. Kalau tadi sebulannya Rp100 ribu, itu sekarang jadi Rp 112 ribu. Dampaknya, ya pilih tidak sekolah dong,” imbuhnya.

Ia pun mengaku bingung dengan arah kebijakan pendidikan di Indonesia. Hal ini terjadi disinyalir karena tidak adanya blue print arah pendidikan di dalam negeri. “Jadi kita bingung, sebetulnya kemana sih arah kebijakan pendidikan Indonesia. Makanya selalu saya mengatakan bahwa kita itu butuh blue print, kita butuh cetak biru, makanya tidak ada di tengah jalan seperti ini, karena akses pendidikan saja belum terbuka, tapi ini sudah mau ditutup,” ungkapnya.

Di sisi lain, Indra mengatakan, wacana tersebut juga melanggar hak konstitusional warga Indonesia. Pasalnya, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dikatakan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. “Jadi kalau saya merasa itu inkonstitusional, melanggar UUD 1945 karana di pasal 31 UUD 1945 mengatakan, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya,” jelasnya.

Oleh karenanya, ia menilai, rencana revisi UU ini telah keluar dari jalurnya. Di mana negara seharusnya memberikan jaminan pendidikan. Di sisi lain, negara juga yang menghilangkan pendidikan atas pengenaan pajak tersebut. “Itukan jelas, kalau pemerintah berniat memajaki pendidikan, berarti tidak ada niat untuk membiayai pendidikan, itukan sudah ngawur dan tidak sesuai dengan konstitusi yang mereka justru punya kewajiban untuk membiayai pendidikan,” tambahnya.

Menurut dia, pemerintah sudah berpikir jauh di luar logika. Sebab, apabila pendidikan dijatuhi pajak, maka kemungkinan besar akan ada pula anak usia sekolah yang tidak melanjutkan ke jenjang selanjutnya, karena masuk satuan pendidikan swasta. “Sekarang malah ingin menarik pajak, jadi orang lain yang disuruh membiayai pendidikan dan malah mengambil pajak dari situ, logika sudah tidak sesuai,” pungkasnya.

Salah satu Dirjen di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) turut menentang wacana tersebut. Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Prof Nizam menilai, wacana memungut pajak dari sekolah tidak sesuai dengan hukum normatif dunia pendidikan.

Menurutnya, pendidikan merupakan sektor sosial dan usaha yang seharusnya bersifat nirlaba. “Jadi, perlakuan pada usaha pendidikan mestinya seperti perlakuan pada usaha nirlaba lainnya, beda dengan usaha komersial,” ujar Nizam, Jumat (11/6).

Kekhawatiran yang muncul, kian mahalnya biaya sekolah sehingga menjadi tidak relevan dengan kemampuan peserta didik, menjadi alasan kuat mengapa hal tersebut perlu dipertimbangkan kembali. Hal tersebut akan berdampak terhadap jasa pendidikan di Indonesia di tengah kondisi ekonomi saat ini.

Kemendikbudristek sebagai salah satu pemegang kepentingan utama pun ternyata masih belum mengetahui wacana yang sudah dibahas dalam rapat di DPR RI beberapa waktu lalu. Saat ini, kata Nizam, kementerian baru akan mempelajari revisi UU yang berjumlah hampir 150 halaman tersebut.

Kekhawatiran tersebut cukup masuk akal. Sebab, penerapan PPN tersebut akan berdampak pada tren tingkat partisipasi masyarakat usia 7-24 tahun dalam pendidikan yang tercatat stabil dalam 10 tahun terakhir berpotensi berbalik negatif pada masa mendatang. Menurut data Badan Pusat Statistik, tingkat partisipasi masyarakat usia 7-24 tahun di Tanah Air cenderung membaik, yakni di kisaran 97 – 99 persen untuk usia 7-12 tahun; 87 – 95 persen untuk usia 13 – 15 tahun; 57 – 71 persen untuk usia 16 -18 tahun; dan 14 – 22 persen untuk 19-24 tahun.

Pengenaan pajak pun akan menambah beban peserta didik yang besar kemungkinan belum lepas dari dampak finansial akibat terdampak pandemi Covid-19. Adapun, berdasarkan draf revisi UU No. 6/1983, pemerintah menetapkan pengenaan PPN dengan batas bawah 5 persen dan batas atas 12 persen. (jpc/bsc)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Rencana pemerintah untuk memungut pajak penambahan nilai (PPN) dari sektor jasa pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), menuai kontroversi. Pengamat dan Praktisi Pendidikan, Indra Charismiadji menilai, dampak yang akan terjadi jika jasa pendidikan dikenakan pajak, bakal banyak anak putus sekolah.

“Dampaknya kalau SPP naik, apa? Banyak anak putus sekolah dong,” ujar Indra kepada JawaPos.com, Jumat (11/6).

Disebutnya, anak-anak usia SMP di Indonesia itu, 20 persen belum sekolah. Artinya, menurut Indra, jika revisi UU tersebut disahkan, maka kemungkinan besar angka tersebut akan semakin bertambah. Apalagi, jumlah partisipasi untuk masuk ke sekolah negeri di Indonesia sangat tinggi, sementara jumlah sekolah negeri masih belum memadai untuk menampung jumlah peserta didik yang lulus tiap tahunnya.

“Jadi, mereka yang tidak diterima di sekolah negeri, yang memilih harus bisa sekolah adalah mereka yang bisa membayar. Sekarang kalau biaya tersebut ditambah, itu ditambah 12 persen. Kalau tadi sebulannya Rp100 ribu, itu sekarang jadi Rp 112 ribu. Dampaknya, ya pilih tidak sekolah dong,” imbuhnya.

Ia pun mengaku bingung dengan arah kebijakan pendidikan di Indonesia. Hal ini terjadi disinyalir karena tidak adanya blue print arah pendidikan di dalam negeri. “Jadi kita bingung, sebetulnya kemana sih arah kebijakan pendidikan Indonesia. Makanya selalu saya mengatakan bahwa kita itu butuh blue print, kita butuh cetak biru, makanya tidak ada di tengah jalan seperti ini, karena akses pendidikan saja belum terbuka, tapi ini sudah mau ditutup,” ungkapnya.

Di sisi lain, Indra mengatakan, wacana tersebut juga melanggar hak konstitusional warga Indonesia. Pasalnya, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dikatakan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. “Jadi kalau saya merasa itu inkonstitusional, melanggar UUD 1945 karana di pasal 31 UUD 1945 mengatakan, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya,” jelasnya.

Oleh karenanya, ia menilai, rencana revisi UU ini telah keluar dari jalurnya. Di mana negara seharusnya memberikan jaminan pendidikan. Di sisi lain, negara juga yang menghilangkan pendidikan atas pengenaan pajak tersebut. “Itukan jelas, kalau pemerintah berniat memajaki pendidikan, berarti tidak ada niat untuk membiayai pendidikan, itukan sudah ngawur dan tidak sesuai dengan konstitusi yang mereka justru punya kewajiban untuk membiayai pendidikan,” tambahnya.

Menurut dia, pemerintah sudah berpikir jauh di luar logika. Sebab, apabila pendidikan dijatuhi pajak, maka kemungkinan besar akan ada pula anak usia sekolah yang tidak melanjutkan ke jenjang selanjutnya, karena masuk satuan pendidikan swasta. “Sekarang malah ingin menarik pajak, jadi orang lain yang disuruh membiayai pendidikan dan malah mengambil pajak dari situ, logika sudah tidak sesuai,” pungkasnya.

Salah satu Dirjen di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) turut menentang wacana tersebut. Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Prof Nizam menilai, wacana memungut pajak dari sekolah tidak sesuai dengan hukum normatif dunia pendidikan.

Menurutnya, pendidikan merupakan sektor sosial dan usaha yang seharusnya bersifat nirlaba. “Jadi, perlakuan pada usaha pendidikan mestinya seperti perlakuan pada usaha nirlaba lainnya, beda dengan usaha komersial,” ujar Nizam, Jumat (11/6).

Kekhawatiran yang muncul, kian mahalnya biaya sekolah sehingga menjadi tidak relevan dengan kemampuan peserta didik, menjadi alasan kuat mengapa hal tersebut perlu dipertimbangkan kembali. Hal tersebut akan berdampak terhadap jasa pendidikan di Indonesia di tengah kondisi ekonomi saat ini.

Kemendikbudristek sebagai salah satu pemegang kepentingan utama pun ternyata masih belum mengetahui wacana yang sudah dibahas dalam rapat di DPR RI beberapa waktu lalu. Saat ini, kata Nizam, kementerian baru akan mempelajari revisi UU yang berjumlah hampir 150 halaman tersebut.

Kekhawatiran tersebut cukup masuk akal. Sebab, penerapan PPN tersebut akan berdampak pada tren tingkat partisipasi masyarakat usia 7-24 tahun dalam pendidikan yang tercatat stabil dalam 10 tahun terakhir berpotensi berbalik negatif pada masa mendatang. Menurut data Badan Pusat Statistik, tingkat partisipasi masyarakat usia 7-24 tahun di Tanah Air cenderung membaik, yakni di kisaran 97 – 99 persen untuk usia 7-12 tahun; 87 – 95 persen untuk usia 13 – 15 tahun; 57 – 71 persen untuk usia 16 -18 tahun; dan 14 – 22 persen untuk 19-24 tahun.

Pengenaan pajak pun akan menambah beban peserta didik yang besar kemungkinan belum lepas dari dampak finansial akibat terdampak pandemi Covid-19. Adapun, berdasarkan draf revisi UU No. 6/1983, pemerintah menetapkan pengenaan PPN dengan batas bawah 5 persen dan batas atas 12 persen. (jpc/bsc)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/