JAKARTA, SUMUTPOS.CO – MENTERI Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Jokowi juga ingin melonggarkan syarat perjalanan. Menurutnya, masa berlaku tes PCR akan diperpanjang. “Arahan Presiden agar harga PCR dapat diturunkan menjadi Rp 300ribu dan berlaku selama 3×24 jam untuk perjalanan pesawat,” kata Luhut dalam jumpa pers usai rapat terbatas evaluasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang disiarkan kanal Youtube Sekretariat Presiden, Senin (25/10).
Luhut menyampaikan, rapat itu juga membahas berbagai kritik soal penerapan PCR saat kasus melandai. Luhut mengatakan pemerintah mendapat banyak masukan dan kritikan masyarakat ihwal kebijakan PCR untuk syarat perjalanan menggunakan pesawat. “Perlu dipahami, kebijakan PCR diberlakukan karena kami melihat risiko penyebaran makin meningkat karena mobilitas penduduk yang meningkat pesat dalam beberapa minggu terakhir,” ujarnya.
Dia menjelaskan, saat ini mobilitas masyarakat sudah meningkat. Ia mencontohkan mobilitas di Provinsi Bali saat ini sudah sama dengan musim libur akhir tahun lalu. “Kita belajar dari banyak negara yang melakukan relaksasi aktivitas masyarakat dan protokol kesehatan, kemudian kasusnya meningkat pesat meskipun tingkat vaksinasi mereka jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia,” tuturnya.
Karena itu, Luhut memohon agar masyarakat dapat memahami dan tidak emosional atas kebijakan yang diputuskan pemerintah atas tes PCR. “Saya mohon jangan kita lihat enaknya. Enak ini kita rileks berlebihan nanti kalau sudah ramai jangan juga ribut,” ujar dia.
Terpisah, Menteri Parriwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno juga menyampaikan hal senada. “Pak Presiden langsung menerima masukan yang tajam dari media sosial. Pak Presiden merespon, meminta agar haga batas atas PCR menjadi Rp300 ribu. Ini respons yang disampaikan pemerintah atas masukan dari masyarakat,” kata Sandiaga.
Dia juga mengatakan, pemerintah akan memberikan relaksasi ihwal batas waktu tes PCR yang semula 2×24 jam menjadi 3×24 jam. “Mudah-mudahan ini sedikit meringankan beban dari pelaku perjalanan,” tuturnya.
Penetapan tes PCR, kata Sandiaga, telah mempertimbangkan masukan dari pelbagai epidemiolog. Pemerintah ingin mengantisipasi terjadinya gelombang Covid-19 ketiga yang dimungkinkan terjadi pada masa liburan akhir tahun.
Namun ia mengakui, kebijakan tes itu berdampak besar bagi industri pariwisata. Ia mengatakan pelaku usaha wisata kembali menghadapi kondisi berat. Padahal sebelumnya, industri ini mulai bergerak menuju pemulihan. Bahkan, tingkat kunjungan turun 20-30 persen akibat kebijakan itu. “Padahal kami lagi mencoba meningkatkan pariwisata dan Bali tembus 10-11 ribu wisatawan domestik, yang berkunjung setiap hari,” kata Sandiaga.
Jumlah Penumpang di KNIA Normal
Pemberlakuan syarat tes RT-PCR bagi penumpang pesawat, belum begitu berpengaruh terhadap jumlah penumpang di Bandara Internasional Kualanamu (KNIA). Manager of Branch Communication dan Legal PT Angkasa Pura (AP) II (Persero) KNIA, Chandra Gumilar mengklaim, jumlah penumpang masih terbilang normal.
“Masih berjalan lancar dan normal. Pergerakan penumpang di Bandara Kualanamu per 24 Oktober 2021 sebanyak 9.693 pax dengan 86 flight,” kata Chandra Gumilar kepada Sumut Pos, Senin (25/10).
Dia menegaskan, seluruh stakeholder di Bandara Internasional Kualanamu berkomitmen untuk menerapkan ketentuan SE Menhub Nomor 88 Tahun 2021 ini dengan baik, sebagai upaya bersama dalam mencegah penyebaran Covid-19. “Ini demi kebaikan bersama. Selain itu kita juga wajib mematuhi peraturan Pemerintah tersebut,” tegasnya.
Dalam hal ini, lanjut Chandra, PT AP II (Persero) Bandara Kualanamu juga sedang menyosialisasikan ketentuan peraturan itu di akun resmi perusahaan penerbangan tersebut, agar diketahui masyarakat Sumut yang ingin bepergian menggunakan transportasi udara. “Kita sedang sosialisasikan ketentuan perjalanan dalam negeri dimaksud melalui akun resmi media sosial @ap2_kualanamu juga,” pungkasnya.
Risiko Penularan di Pesawat Rendah
Sebelumnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru khusus untuk perjalanan domestik dengan transportasi udara. Penumpang di wilayah intra-Jawa dan Bali serta daerah dengan PPKM level 3 dan 4 wajib mengantongi dokumen tes RT-PCR. Aturan sebelumnya, penumpang dapat menunjukkan hasil tes rapid Antigen.
Kebijakan tersebut mendapat kritik dari masyarakat. Bahkan sejumlah orang menandatangani petisi di laman change.org untuk meminta pemerintah menghapus aturan wajib menunjukkan hasil tes PCR sebagai syarat perjalanan menggunakan pesawat. Selain rapid antigen yang dinilai lebih praktis, alasan lainnya adalah fakta bahwa penularan Covid-19 di pesawat terbukti lebih rendah daripada moda transportasi lain.
Menurut Dicky Budiman, epidemiolog dan peneliti pandemi Covid-19 dari Universitas Griffith, Australia, banyak contoh kejadian di mana tingkat persebaran Covid-19 di pesawat terbukti rendah. Laporan yang dimuat dalam The New England Journal of Medicine (NEJM), misalnya. Diceritakan bahwa pada 1 Februari 2020, sebuah operasi penerbangan dilakukan angkatan udara Jerman untuk mengevakuasi 126 warga negara Jerman dari Hubei, Tiongkok.
Dari total 126 penumpang, 10 orang diisolasi karena kontak erat dan menunjukkan gejala. Namun, hanya dua orang yang positif Covid-19 setiba di Jerman. Penelitian itu melaporkan, hanya 1,8 persen tingkat infeksi dari 114 spesimen yang diambil.
Rendahnya tingkat penularan Covid-19 di pesawat udara salah satunya dipicu sistem filtrasi udara HEPA (high efficiency particulate air) yang disuplai dalam kabin bertekanan selama penerbangan. Sistem sirkulasi udara itu dikatakan sama bagusnya dengan filter udara di rumah sakit.
Dicky menyebutkan, jika merujuk pada manajemen pengendalian pandemi berbasis risiko, moda transformasi udara paling kecil risikonya. ’’Risiko terjadinya klaster pesawat sangat kecil, bahkan paling kecil jika dibandingkan dengan moda transportasi lainnya,” katanya kepada Jawa Pos, kemarin.
Dia melanjutkan, HEPA filter di pesawat setara dengan sirkulasi udara 20 kali dalam 1 jam sehingga menurunkan potensi penularan. Belum lagi adanya penerapan prokes yang ketat. “(Risikonya, Red) rendah bahkan sebelum ada vaksin. Kalau semua prokes diterapkan, ketika pesawatnya penuh sekalipun, tidak terjadi itu klaster penularan meskipun ada penumpang yang teridentifikasi positif,” jelasnya.
Selain ke Jerman, ada beberapa penerbangan evakuasi dari Wuhan ke negara lain seperti Kanada pada awal pandemi. Penularannya juga relatif rendah. Karena itu, dia setuju syarat skrining tidak terlalu ketat. ’’Walaupun tidak dilonggarkan, sama sekali tidak. Tapi, kalau bicara PCR, ini kan satu alat konfirmasi diagnostik. Namanya konfirmasi ya sebelum itu ada screening, yakni memakai antigen,” terang Dicky.
SE Satgas yang sebelumnya menyebutkan boleh menggunakan antigen asalkan telah divaksin, menurut Dicky, sudah tepat. Syarat vaksinasi, tidak bergejala, dan tidak dalam status kontak bisa dijadikan patokan dalam screening perjalanan. “Bahkan nanti kalau perjalanan domestik, antardaerah yang populasi sudah divaksin 80 persen,” jelasnya.
Menurut Dicky, penggunaan antigen pada syarat penerbangan bukan dengan maksud melonggarkan, namun lebih mempertimbangkan cost-effectiveness dari tes. PCR, lanjut dia, adalah opsi terakhir. Efektivitas biaya itu harus dipenuhi tidak hanya soal murah, tapi juga mudah, cepat, dan memakan sumber daya yang lebih sedikit. ’’Kecuali pemerintah mau memberi subsidi,” tuturnya. (jpc/dwi)