JAKARTA-Kemendikbud tampaknya harus mengevaluasi pelaksanaan ujian nasional (UN). Sebab, dari kajian 17 guru besar seluruh Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Damai Reformasi Pendidikan (KDRP), UN justru membuat anak tidak bersaing di skala internasional. UN disebut hanya mencetak anak yang pandai menghafal.
Prof Mayling Oey Gardiner, seorang guru besar dari FE UI yang menjadi juru bicara KDRP, mengatakan, jika tetap diberlakukan, UN hanya akan mematikan kreativitas anak. “UN membuat murid tak bisa bersaing dengan pelajar luar negeri. Sebab, murid hanya menghafal untuk ujian sehingga mereka tidak mendapat apa-apa,” papar Mayling dalam jumpa pers petisi reformasi pendidikan di Jakarta, Minggu (25/11).
Menurut Mayling, UN untuk tingkat SD dan SMP harus dihapus karena dampak bohong yang diciptakannya berbahaya. Dia menjelaskan, ada keterkaitan atau lingkaran setan antara pemerintah, guru, dan sekolah.
Mayling memaparkan, banyak guru yang bisa naik pangkat kalau hasil UN anak didiknya bagus. Begitu juga halnya dengan kepala sekolah dan kepala dinas instansi terkait. “Jadi, keterkaitan itu harus dihapus. Tidak ada gunanya anak SD harus diambil melalui nilai UN,” tegas anggota Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut.
Akibatnya, nasib pendidikan siswa di daerah-daerah terpencil terancam jika hanya mengandalkan nilai UN. “Dia bisa dibohongi kalau belanja di pasar karena tidak bisa menghitung. Padahal, katanya, hasil UN-nya bagus dan lulus. Jadi, ini hanya kebohongan-kebohongan,” tuturnya.
Dia menegaskan, UN juga hanya menghasilkan tekanan-tekanan psikologis terhadap anak. Padahal, kata dia, bangsa ini membutuhkan anak yang berkarakter dan bermoral baik. “Kami ingin punya anak yang berinovasi dengan berpikir. Tetapi, bagaimana mau berpikir kalau anak hanya disuruh menghafal dan menghafal?” ucapnya.
Dalam rangka petisi reformasi pendidikan itu, ada 17 profesor yang hadir dan menandatangani petisi untuk mengkaji ulang sistem pendidikan, terutama UN. Saat ini ada 600 tanda tangan petisi yang akan diajukan oleh KDRP ke Kemendikbud pada 2013. (dem/c8/agm/jpnn)