Site icon SumutPos

Hukuman Kebiri Jawab Ketakutan Publik

Suntik kebiri-Ilustrasi
Suntik kebiri-Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual pada Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menuai pro dan kontra di parlemen dan masyarakat. Namun, langkah itu diyakini jawaban atas ketakutan dan keresahan di tengah kian banyaknya ‘predator’ anak di sekeliling kita.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengapresiasi langkah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang mengatur hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Ketua KPAI Asrorun Ni’am menilai perppu tersebut merupakan bentuk komitmen Presiden untuk mencegah dan melindungi anak dari kejahatan seksual.

“Perppu ini diharapkan dapat memberikan efek jera sehingga dapat mencegah tindak kejahatan seksual terhadap anak,” tutur Asrorun, kemarin.

Asrorun menilai, Perppu itu bukan satu-satunya langkah yang paling sempurna untuk melindungi anak dari kejahatan seksual. Kendati demikian, setidaknya Perppu tersebut mampu memberi jawaban atas kekhawatiran masyarakat, khususnya orangtua yang selama ini gelisah terhadap maraknya aksi kejahatan seksual terhadap anak.

“Penerbitan Perppu ini menunjukkan negara hadir dalam upaya perlindungan anak-anak Indonesia dari ancaman kejahatan seksual terhadap anak,” ucapnya.

Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan mengaku tak heran jika masih banyak perbedaan pendapat dalam menyikapi usulan kebiri kimiawi, terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak.

“Tapi kan memperkosa atau seks abuse, dilakukan oleh orang semacam itu pada anak-anak kan tidak manusiawi,” ujar Luhut di sela-sela Pembukaan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kepala Daerah Angkatan ke-2 2016, Kamis (26/5).

Karena itu pemerintah akan tetap menjalankan aturan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam perppu dimaksud. “Saya kira kalau presiden sudah tanda tangan, akan dieksekusi sesegera mungkin. Soal teknis, nanti Menkumham dengan Setneg yang memprosesnya,” ujarnya.

Purnawirawan jenderal bintang tiga ini menyatakan, dirinya belum bisa memberi penjelasan lebih lanjut, karena teknis pelaksanaan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual bagi anak, masih akan dikoordinasikan terlebih dahulu.

“Saya kan belum bisa cerita, biar ahli hukum yang cerita. Yang pasti akan disinkronkan dengan RUU penghapusan kekerasan seksual yang tengah dibahas DPR. Sekarang belajar dari pengalaman yang lalu, banyak peraturan perundang-undangan itu satu sama lain saling mengunci, akhirnya merugikan kita sendiri,” ujarnya.

Presiden kata Luhut, meminta semua aturan yang saling berbenturan, untuk dievaluasi. Dengan demikian tidak ada tumpang tindih aturan.

Diketahui, selepas meneken Perppu Perlindungan Anak, Presiden Jokowi mengatakan bahwa peraturan itu dikeluarkan menyusul peningkatan signifikan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia saat ini.

“Butuh penanganan luar biasa karena mengancam, membahayakan jiwa dan tumbuh kembang anak. Kejahatan itu mengganggu rasa kenyamanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat,” kata Jokowi di Istana Negara, Rabu (25/5).

Perppu tersebut memuat pemberatan dan penambahan hukuman, mulai dari hukuman pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun, hukuman penjara seumur hidup, dan hukuman mati.

Penambahan pidana yang dimuat dalam Perppu itu melingkupi kebiri kimia, pengungkapan identitas, dan pemasangan alat deteksi elektronik atau cip kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

“Ini memberikan ruang kepada hakim untuk menghukum seberat-beratnya sehingga memberikan efek jera,” ujar Jokowi.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menuturkan, Perppu tidak akan berlaku surut atau retroaktif terhadap terpidana kekerasan seksual kepada anak yang sebelumnya telah dijatuhi vonis.

Perppu Kebiri nantinya memberikan kewenangan kepada hakim dalam menentukan pidana tambahan berupa kebiri kimia, pengumuman identitas, dan pemasangan cip kepada predator. Putusan pidana tambahan diberikan bersamaan dengan pidana pokok.

Pasal 81 A ayat 1 mengatur bahwa hukuman tambahan, kebiri, dan pemasangan cip diberlakukan paling lama dua tahun setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaksanaan kebiri kimia disertai rehabilitasi. Pemberlakuan kebiri dan pemasangan cip diawasi berkala oleh kementerian bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

Secara terpisah, Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan zat kimia yang digunakan untuk hukuman kebiri itu adalah obat antitestosteron.

“Bisa berupa medroxyprogesterone, cyproterone acetate, atau leuprolide acetate,” ujarnya.

Pribudiarta menuturkan obat itu diberikan kepada pelaku setelah dilakukan pemeriksaan klinis dan kadar hormon testosteron lebih dari 1.000 nanogram. “Jadi tidak diberikan begitu saja, harus ada pemeriksaan klinis,” ucapnya.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra Rachel Maryam menilai pemberian hukuman kebiri tidak tepat karena belum tentu menimbulkan efek jera. Sebab, menurutnya hukuman kebiri justru dikhawatikan memperpanjang dendam pelaku, karena psikologisnya terganggu.

“Saya tidak setuju dengan hukuman kebiri maupun mati. Jangan sampai justru menjadi menimbulkan pelanggaran HAM. Menurut saya hukuman kebiri harus dikaji lagi,” kata Rachel di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (26/5).

Menurutnya, meski pelaku telah melanggar HAM, pemberian hukuman tidak boleh melakukan hal yang sama. Rachel menganggap masih ada hukuman yang lebih efektif selain kebiri, seperti pelaku diisolasi dari lingkungannya.

Untuk itu, dia meminta agar pemberian hukuman pada pelaku, tidak dilakukan secara emosional dan reaktif atas kasus kekerasan seksual yang telah terjadi. “Sehingga, dalam mengambil hukuman tidak secara reaksional dan emosional,” kata dia. (jpnn)

Exit mobile version