25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Mendag Sudah Teken Aturan Larangan Jualan di Medsos, Daya Saing UMKM Harus Ditingkatkan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag), akhirnya membuat aturan yang melarang social media untuk memfasilitasi transaksi perdagangan. Regulasi tersebut tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020. Dalam revisi Permendag itu, pemerintah juga memisahkan secara tegas platform social commerce dan social media.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas), mengaku sudah meneken revisi Permendag tersebut. “Sudah saya teken kemarin, tinggal mau diundangkan di Kemenkum HAM. Saya kira minggu ini selesai,” katanya kepada wartawan di Semarang, Selasa (26/9).

Menurut Zulkifli, perdagangan digital harus diatur. Untuk itu, media sosial yang ingin menjadi social commerce harus memiliki izin usaha sendiri. Kemudian, social commerce dilarang berjualan dan bertransaksi. “Kalau dia jadi social commerce, harus izin usahanya sendiri. Social commerce seperti media TV. Dia boleh iklan, promosi boleh, tapi tidak boleh jadi toko,” terangnya.

“Tidak boleh juga langsung jadi perbankan, menjamin uang, kredit juga, jualan juga, enggak boleh gitu. Jadi enggak boleh satu platform digital memborong semuanya,” imbuhnya.

Zulkifli sebelumnya mengatakan dalam revisi Permendag tadi, pemerintah akan memisahkan social commerce dengan e-commerce. Artinya, tidak boleh ada platform seperti TikTok yang menjadi sosial media dan e-commerce secara bersamaan.

Menurutnya, jika social commerce dan e-commerce disatukan, pihak platform sangat diuntungkan. Pasalnya, ia mengantongi algoritma pengguna yang bisa digunakan untuk mengatur iklan kepada yang bersangkutan.

Langkah pemerintah yang ingin mengatur pengendalian niaga elektronik atau e-commerce berbasis media sosial itu, mendapat dukungan dari Anggota DPRD Sumut, Zeira Salim Ritonga. “Pemerintah, saya lihat pada intinya mau melindunginya UMKM. Karena, dia takut ada dagang barang dari luar. Terutama, memanfaatkan Tik Tok dari produk-produk luar negeri, khususnya Tiongkok,” kata Zeira kepada Sumut Pos, kemarin.

Menurut Bendahara DPW PKB Sumut itu, pemerintah benar-benar ingin melindungi usaha UMKM. “Tapi, aturan e-commerce ini jangan menghidupkan yang satu, tapi mematikan yang lain. Jangan gara-gara tikus, lumbung yang dibakar,” sebutnya.

Zeira yang merupakan anggota Komisi C DPRD Sumut ini, mendorong pemerintah menindak tegas produk-produk luar negeri yang dijual di Tiktok itu tanpa izin. “Kalau mau berjualan, hasil produk Indonesia. Tapi, semua itu harus melakukan verifikasi dari Kementerian Kominfo RI, dengan Kementerian Perdagangan. Ini boleh, ini tidak boleh,” ujarnya.

Sementara, pengamat ekonomi Sumatera Utara Gunawan Benjamin menilai, revisi Permendag tersebut merupakan kabar baik bagi pelaku UMKM maupun produsen berskala besar di Tanah Air. “Dengan kebijakan baru ini, gempuran barang-barang impor ilegal tadi bisa berkurang. Dan pelaku usaha lokal bisa memanfaatkan regulasi tersebut untuk mendongkrak produksi maupun penjualan. Jadi harapannya, sektor ril mulai dari hulu ke hilirnya bisa hidup kembali. Meskipun saya menilai masyarakat saat ini tengah mengalami tekanan dari sisi pengeluarannya,” ujar Gunawan.

Diakuinya, saat ini banyak pelaku usaha perdagangan yang kelasnya UMKM, yang menjajakan barang dagangannya secara konvensional, mengeluhkan akibat turunnya penjualan akhir akhir ini. “Fenomena penurunan penjualan bahkan sudah terlihat sejak menjelang Idul Fitri kemarin. Di sisi lain, kita sebelumnya juga sempat ribut dengan impor pakaian bekas yang dinilai sebagai salah satu pemicu banyak perusahaan lokal yang merugi,” ungkapnya.

“Nah sekarang kita diributkan lagi dengan banyaknya barang dari luar yang masuk lewat transaksi social commerce seperti tik tok shop. Nah, kalau kedua masalah ini katakan sudah teratasi nantinya, namun ternyata produksi atau penjualan tetap mengalami penurunan. Maka kesimpulan apalagi yang akan kita ambil, kalau bukan masalah daya beli,” imbuhnya.

Menurut Gunawan, dari sini kita harus belajar bahwa masalah fundamentalnya itu ada pada daya saing produk itu sendiri. “Kalau negara lain mampu menghadirkan harga barang jauh lebih murah, maka sebaiknya kita perlu meniru bagaimana barang murah itu bisa kita hasilkan di sini. Sehingga ke depan kita tidak perlu kuatir jika pelaku usaha di tanah air dihadapkan dengan pasar bebas yang perdagangannya terjadi antar negara (cross border),” bebernya.

Menurut Gunawan, perubahan platform yang awalnya adalah media sosial menjadi social commerce, juga dilakukan platform media sosial lainnya. Jadi menurut Gunawan, ada dua isu utama yang menjadi tantangan ke depan. Pertama, teknologi terus berkembang dengan segala kemungkinan terbentuknya platform baru yang sama atau lebih canggih.

“Kedua, transaksi di social commerce melewati batas negara, dan memaksa kita masuk dalam persaingan global. Jadi kalau menghentikan laju perkembangan teknologi itu, tidak mungkin. Dan negara yang memiliki daya saing lebih tinggi memiliki peluang untuk menang dalam persaingan pasar global,” sebutnya.

Sehingga menurut dia, yang perlu didorong adalah daya saing para pelaku UMKM. Sehingga sebisa mungkin tidak harus melulu dibenturkan dengan melahirkan beragam regulasi, di saat terjadi serangan barang-barang impor yang masuk lewat social commerce maupun media sosial lainya. “Saya menilai, sejauh ini yang membuat kehadiran tik tok menghadirkan masalah kaena serbuan barang barang murah dari luar negeri yang membunuh industri di tanah air,” katanya.

Sehingga, lanjut Gunawan, regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah nantinya mampu menghidupkan kembali industri yang terdampak kehadiran tik tok shop. “Ada banyak tenaga kerja yang bergantung pada industri di tanah air. Dan sudah semestinya kebijakan yang diambil berpihak pada keberlangsungan usaha di tanah air,” pungkasnya. (bbs/gus/ika/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag), akhirnya membuat aturan yang melarang social media untuk memfasilitasi transaksi perdagangan. Regulasi tersebut tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020. Dalam revisi Permendag itu, pemerintah juga memisahkan secara tegas platform social commerce dan social media.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas), mengaku sudah meneken revisi Permendag tersebut. “Sudah saya teken kemarin, tinggal mau diundangkan di Kemenkum HAM. Saya kira minggu ini selesai,” katanya kepada wartawan di Semarang, Selasa (26/9).

Menurut Zulkifli, perdagangan digital harus diatur. Untuk itu, media sosial yang ingin menjadi social commerce harus memiliki izin usaha sendiri. Kemudian, social commerce dilarang berjualan dan bertransaksi. “Kalau dia jadi social commerce, harus izin usahanya sendiri. Social commerce seperti media TV. Dia boleh iklan, promosi boleh, tapi tidak boleh jadi toko,” terangnya.

“Tidak boleh juga langsung jadi perbankan, menjamin uang, kredit juga, jualan juga, enggak boleh gitu. Jadi enggak boleh satu platform digital memborong semuanya,” imbuhnya.

Zulkifli sebelumnya mengatakan dalam revisi Permendag tadi, pemerintah akan memisahkan social commerce dengan e-commerce. Artinya, tidak boleh ada platform seperti TikTok yang menjadi sosial media dan e-commerce secara bersamaan.

Menurutnya, jika social commerce dan e-commerce disatukan, pihak platform sangat diuntungkan. Pasalnya, ia mengantongi algoritma pengguna yang bisa digunakan untuk mengatur iklan kepada yang bersangkutan.

Langkah pemerintah yang ingin mengatur pengendalian niaga elektronik atau e-commerce berbasis media sosial itu, mendapat dukungan dari Anggota DPRD Sumut, Zeira Salim Ritonga. “Pemerintah, saya lihat pada intinya mau melindunginya UMKM. Karena, dia takut ada dagang barang dari luar. Terutama, memanfaatkan Tik Tok dari produk-produk luar negeri, khususnya Tiongkok,” kata Zeira kepada Sumut Pos, kemarin.

Menurut Bendahara DPW PKB Sumut itu, pemerintah benar-benar ingin melindungi usaha UMKM. “Tapi, aturan e-commerce ini jangan menghidupkan yang satu, tapi mematikan yang lain. Jangan gara-gara tikus, lumbung yang dibakar,” sebutnya.

Zeira yang merupakan anggota Komisi C DPRD Sumut ini, mendorong pemerintah menindak tegas produk-produk luar negeri yang dijual di Tiktok itu tanpa izin. “Kalau mau berjualan, hasil produk Indonesia. Tapi, semua itu harus melakukan verifikasi dari Kementerian Kominfo RI, dengan Kementerian Perdagangan. Ini boleh, ini tidak boleh,” ujarnya.

Sementara, pengamat ekonomi Sumatera Utara Gunawan Benjamin menilai, revisi Permendag tersebut merupakan kabar baik bagi pelaku UMKM maupun produsen berskala besar di Tanah Air. “Dengan kebijakan baru ini, gempuran barang-barang impor ilegal tadi bisa berkurang. Dan pelaku usaha lokal bisa memanfaatkan regulasi tersebut untuk mendongkrak produksi maupun penjualan. Jadi harapannya, sektor ril mulai dari hulu ke hilirnya bisa hidup kembali. Meskipun saya menilai masyarakat saat ini tengah mengalami tekanan dari sisi pengeluarannya,” ujar Gunawan.

Diakuinya, saat ini banyak pelaku usaha perdagangan yang kelasnya UMKM, yang menjajakan barang dagangannya secara konvensional, mengeluhkan akibat turunnya penjualan akhir akhir ini. “Fenomena penurunan penjualan bahkan sudah terlihat sejak menjelang Idul Fitri kemarin. Di sisi lain, kita sebelumnya juga sempat ribut dengan impor pakaian bekas yang dinilai sebagai salah satu pemicu banyak perusahaan lokal yang merugi,” ungkapnya.

“Nah sekarang kita diributkan lagi dengan banyaknya barang dari luar yang masuk lewat transaksi social commerce seperti tik tok shop. Nah, kalau kedua masalah ini katakan sudah teratasi nantinya, namun ternyata produksi atau penjualan tetap mengalami penurunan. Maka kesimpulan apalagi yang akan kita ambil, kalau bukan masalah daya beli,” imbuhnya.

Menurut Gunawan, dari sini kita harus belajar bahwa masalah fundamentalnya itu ada pada daya saing produk itu sendiri. “Kalau negara lain mampu menghadirkan harga barang jauh lebih murah, maka sebaiknya kita perlu meniru bagaimana barang murah itu bisa kita hasilkan di sini. Sehingga ke depan kita tidak perlu kuatir jika pelaku usaha di tanah air dihadapkan dengan pasar bebas yang perdagangannya terjadi antar negara (cross border),” bebernya.

Menurut Gunawan, perubahan platform yang awalnya adalah media sosial menjadi social commerce, juga dilakukan platform media sosial lainnya. Jadi menurut Gunawan, ada dua isu utama yang menjadi tantangan ke depan. Pertama, teknologi terus berkembang dengan segala kemungkinan terbentuknya platform baru yang sama atau lebih canggih.

“Kedua, transaksi di social commerce melewati batas negara, dan memaksa kita masuk dalam persaingan global. Jadi kalau menghentikan laju perkembangan teknologi itu, tidak mungkin. Dan negara yang memiliki daya saing lebih tinggi memiliki peluang untuk menang dalam persaingan pasar global,” sebutnya.

Sehingga menurut dia, yang perlu didorong adalah daya saing para pelaku UMKM. Sehingga sebisa mungkin tidak harus melulu dibenturkan dengan melahirkan beragam regulasi, di saat terjadi serangan barang-barang impor yang masuk lewat social commerce maupun media sosial lainya. “Saya menilai, sejauh ini yang membuat kehadiran tik tok menghadirkan masalah kaena serbuan barang barang murah dari luar negeri yang membunuh industri di tanah air,” katanya.

Sehingga, lanjut Gunawan, regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah nantinya mampu menghidupkan kembali industri yang terdampak kehadiran tik tok shop. “Ada banyak tenaga kerja yang bergantung pada industri di tanah air. Dan sudah semestinya kebijakan yang diambil berpihak pada keberlangsungan usaha di tanah air,” pungkasnya. (bbs/gus/ika/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/