Berkat Novel-Film Eat, Pray, Love, Ketut Liyer Kewalahan Layani Turis Asing
Gara-gara namanya ditulis di dalam novel terkenal berjudul Eat, Pray, Love, sosok Ketut Liyer didatangi para tamu di rumahnya di kawasan Ubud, Bali. Kebanyakan adalah turis asing. Karena kewalahan, aktivitas Liyer sebagai pelukis pun terbengkalai.
SUGENG SULAKSONO, Ubud
SUDAH satu jam lebih perempuan muda berambut pirang itu menunggu di teras sebuah rumah dengan ornamen khas Bali di kawasan Ubud. Dia langsung tersenyum begitu sosok yang ditunggu muncul di hadapannya. Sosok itu sudah sangat sepuh, mengenakan sarung, dan berkaus agak kusam. Sosok tua itu adalah Ketut Liyer, pria yang namanya terkenal setelah ditulis dalam novel berjudul Eat, Pray, Love karya Elizabeth Gilbert. Sosok Ketut semakin terkenal ketika novel tersebut difilmkan dengan judul yang sama dan dibintangi aktris Hollywood papan atas Julia Roberts. Sore itu, sepekan lalu, Liyer langsung menyambut senyum gadis berambut pirang yang menunggunya tadi. Liyer menanyakan nama si gadis dalam bahasa Inggris. “My name is Coby,” jawab gadis itu.
Dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya yang menghasilkan jawaban bahwa Coby berasal dari Spanyol dan berusia 22 tahun. Atas kedatangan Coby, Liyer mengaku sangat berbahagia. Tak lama berselang tangan kanan Liyer meraih telapak tangan kiri Coby, setelah sebelumnya meminta izin terlebih dahulu. “You will get married soon,” ucap Liyer lantas tersenyum. Dengan wajah kaget, Coby kemudian bereaksi dan mengatakan bahwa itu terlalu cepat. Dia merasa belum waktunya menikah karena masih muda. “No! It’s so early,” Coby berusaha membantah. Dari jarak sekitar lima meter, teman-temannya yang duduk sambil menyaksikan adegan itu tampak terkekeh. Begitulah salah satu cara Liyer meramal pasiennya.
Belakangan, setelah populer lewat buku dan promosi film yang melibatkan namanya, pria yang mengaku usianya 98 tahun -meski menurut keluarganya 95 tahun- itu ramai dikunjungi orang. Mereka berharap mendapatkan sesuatu yang sama, bahkan lebih dari apa yang didapatkan Elizabeth Gilbert. Sebelumnya, Elizabeth memang menulis bahwa Liyer berjasa besar dalam pemulihan psikisnya sampai akhirnya menemukan kembali perasaan cinta.
Padahal, dia sudah cukup putus asa pasca menjanda, sehingga tidak peduli lagi pada penampilan. Kisah dalam novel itu kemudian diangkat ke layar lebar dan sosok Elizabeth diperankan Julia Roberts. Demi menemukan nuansa dan tentunya sosok Liyer, lokasi syuting bahkan sampai ke Bali. Sayangnya, Liyer saat itu gagal bermain dalam film tersebut. Dia harus masuk rumah sakit akibat kencing batu.
Penyakit yang diderita Liyer salah satunya adalah akibat terlalu lelah dikunjungi banyak wisatawan, terutama wisatawan asing. Berapa pun jumlahnya, Liyer bersedia meladeni. Setelah pulih kembali, pengunjung mulai dibatasi. Maksimal 25 orang dengan tarif rata-rata Rp250 ribu. Dengan patokan tarif itu, dalam sehari dia maksimal bisa meraup Rp6.250.000. Liyer mengaku menikmati profesinya saat ini. Dia senang banyak orang datang kepadanya untuk diramal.
Namun, pada praktiknya Liyer tidak 100 persen meramal, tetapi lebih banyak memberikan nasihat. Kepada pasien pria dia berkali-kali mengingatkan agar tidak tergoda perempuan lain ketika sudah menikah dan memiliki karir yang baik.
“Sudah banyak terjadi, lakilaki jadi miskin karena dihalangi orang cantik. Kakek dulu masih muda, belum tahu, sampai Rp150 juta diambil oleh cewek. Itu menangis rasanya. Cari uang Rp150 juta lama sekali disimpan (menabungnya),” ucapnya dengan bahasa Indonesia yang kurang fasih. Ketika disinggung ke mana perginya perempuan itu, Liyer hanya tertawa.
Dia lalu berkelit dengan melanjutkan perannya sebagai peramal. “Kakek ini punya pengalaman. Jadi berani cerita. Tapi kalau kakek salah, jangan dimarahi,” katanya. Sebelum giat membaca tangan, Liyer membuka praktik penyembuhan penyakit. Karena itu, di depan rumahnya tertulis papan nama Medicine Man. Liyer juga seniman karena kerap membuat karya lukis. “Dulu hari Minggu kakek melukis. Terkenal juga, sehingga dapat penghargaan dari kabupaten, juga mantri (menteri) kebudayaan. Kira-kira lima bulan lalu dipanggil untuk dikasih penghargaan di bidang kesenian,” paparnya. Sekarang, terlebih dengan banyaknya pasien, kata Liyer, melukis sudah tidak bisa dilakukan.
“Sekarang kakek sudah tua. Kalau melukis, mata saya juga sudah kurang (tajam). Tapi, kakek senang meramal,” ucapnya. I Nyoman Latra (60), putra tunggal Liyer, mengatakan, pasien pernah mencapai 40 orang dalam sehari.
Namun, karena berakibat pada menurunnya kondisi Liyer, jumlah pasien akhirnya dibatasi. “Waktu operasi (kencing batu) itu habis Rp50 juta,” tutur pria yang menjadi guru kesenian di SMPN 1 Sukawati itu. Latra membenarkan bahwa sebelumnya Liyer giat melakoni pekerjaannya sebagai pelukis. Namun, jauh sebelum itu dia seperti orang pintar. “Dulu dukun juga, mengobati orang. Kalau ada upacara keagamaan, kakek yang bisa bimbing,” tuturnya. Kini, kata Latra, Liyer sangat menikmati peran sebagai peramal. Mayoritas pasien, sekitar 75 persen, adalah wisatawan asing. Sisanya wisatawan domestik. Dua tahun lalu Latra memutuskan mengalokasikan sebagian rezeki dari kedatangan para pasien itu untuk membeli mobil Daihatsu Terios secara kredit.
“Supaya kakek bisa bepergian ke mana-mana,” katanya. Latra menceritakan, awal Liyer benarbenar total melakukan ramalan adalah setelah seorang perempuan datang dan menanyakan suaminya. Liyer kemudian mengatakan bahwa suaminya akan menikah lagi. “Habis itu, perempuan itu jatuh (pingsan) di depan rumah,” kisahnya. Apa yang dikatakan Liyer, menurut Latra, memang benar-benar terjadi. Namun, pengalaman itu dijadikan pelajaran agar Liyer tidak mengatakan berita buruk kepada setiap pasien.
“Sekarang paling sedikit saja (yang diungkap dari hasil ramalannya). Lebih banyak cerita. Bahaya dan takut mendahului Tuhan,” ucapnya. Latra mengatakan, dirinya sebenarnya anak angkat Liyer. Anak kandung Liyer adalah laki-laki, berusia kurang lebih sama dengan Latra. Tapi, dia meninggal pada usia 3 bulan. Sementara istri Liyer, Ketut Lami, meninggal dunia sekitar empat tahun lalu karena mengidap penyakit asma. (c2/kum/jpnn)