JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pipres masih 41 hari lagi, namun daftar calon menteri dari kubu Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa telah beredar di dunia maya. Polemik soal nama-nama yang terdaftar pun makin marak. Jokowi dan Prabowo pun bak ‘terjerat’ dengan segala perbincangan itu.
Rencana susunan kabinet bayangan dalam tahapan baku suksesi kepemimpinan nasional Indonesia saat ini sebenarnya belum waktunya, bagi sementara pihak, bisa jadi presentasi kabinet bayangan merupakan hal menarik dan penting, setidaknya guna mendongkrak daya ‘jual’ pesona figur, visi beserta programnya.
Mereka, adalah para menteri bukan pembantu biasa presiden dan mereka juga bukan pegawai tinggi biasa presiden. Sebab, di tangan para menteri-menterilah sesungguhnya yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (pouvoir executive) dalam praktik.
Pada ranah ideal, pandangan Jokowi maupun Prabowo Subianto soal kabinet sebenarnya relatif sama, menghendaki terbentuknya kabinet yang diturunkan dari sistem pemerintahan presidensiil, bukan kabinet pelangi atau kabinet dagang sapi.
Dalam bahasa Jokowi kabinet idaman tersebut disebutnya kabinet kerja, yakni bukan kabinet politik yang cenderung cuma bagi-bagi kursi/roti kekuasaan. Dan, dalam bahasa Prabowo dikatakannya sebagai kabinet profesional.
Secara teoritik, memang, sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi. Sehingga para anggota legislatif bisa lebih independent dalam membuat UU karena tidak khawatir dengan jatuh bangunnya pemerintahan.
Namun demikian juga tidak ditutup mata bahwa sistem presidensial sangat berpotensi akan melahirkan kemandekan (deadlock) antara eksekutif-legislatif, mendorong terjadinya kekakuan temporal, dan nuansa pemerintahan menjadi lebih eksklusif.
Pertanyaannya adalah seperti apakah profil riil kabinet bayangan ala Jokowi dan juga ala Prabowo tersebut?
Menteri yang berhubungan dengan ekonomi adalah bagian yang paling dipelototi para pelaku usaha. Orang-orang diposisi ini mencerminkan arah kebijakan perekonomian ke depan dan masih menjadi teka-teki.
“Platform ekonomi dari masing-masing capres belum terlihat secara detail. Yang diangkat oleh Prabowo maupun Jokowi belum banyak. Kami berharap program tersebut sudah dapat dijelaskan pada tatanan implemetasi, kami lihat keduanya bertekad mambangun infrastrukur, sebaiknya harus terukur dan realistis,” ujarnya Ketua Bidang Infrastruktur BPP HIPMI, Bahlil Lahadalia.
Hal yang sama diungkapkan Direktur Eksekutif Indef Ahmad Erani Yustika. Menurut dia, persoalan program di bidang ekonomi dari kedua capres tersebut masih belum jelas dan cenderung serupa. Platform ekonomi Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta masih berkutat di seputar program penguatan ekonomi rakyat, daya saing infrastruktur, dan pengelolaan sumber daya alam.
“Namun apa yang diprioritaskan, caranya bagaimana, belum ketahuan. Karena itu, perlu bagi pasangan capres dan cawapres untuk lebih mempertajam program-program kerjanya, terutama yang menyangkut perkembangan ekonomi,” ungkapnya.
Apa komentar Jokowi dan Prabowo soal susun menyusun kabinet ini? Jokowi menyindir munculnya wacana menteri utama yang ditawarkan capres Prabowo Subianto kepada Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie alias Ical. Jokowi juga mengkritik adanya tawar-menawar posisi menteri saat penjajakan koalisi partai-partai pengusung Prabowo-Hatta. Jokowi menilai gaya koalisi tersebut sudah kuno dan tidak relevan.
“Kita kalau kerja sama tanpa syarat, ini membedakan kita dengan yang sana. Kalau ketemu tidak usah menterinya berapa, itu sudah tradisi lama, pola lama, kita harus membangun nilai baru,” kata Jokowi di acara Rakernas Partai Nasdem di Ancol, Jakarta Utara, kemarin.
Jokowi pun membandingkan aturan koalisi tanpa syarat dengan penjajakan koalisi yang dilakukan oleh pasangan Prabowo-Hatta dengan partai-partai yang menjadi barisan pendukungnya. Ia pun menyebut, wacana tawaran partai utama dalam kabinet yang ditawarkan Prabowo kepada Ical sebagai hal yang tidak relevan dengan undang-undang yang berlaku.
“Kalau yang sana menterinya berapa? Menterinya kurang banyak, tambah lagi menteri utama. Ada yang mendekat diberi 11 kursi, datang lagi 8 kursi, datang lagi 7 kursi, dihitung ternyata 64 kursi. Padahal di undang-undang itu aturannya maksimal hanya 35 kursi,” ucap Jokowi.
Jokowi mengungkapkan, berbeda dengan rivalnya itu, dirinya tidak sama sekali membicarakan pembagian jatah kursi menteri atau syarat serta imbalan apa pun yang akan dijanjikan kepada partai-partai pengusung dirinya. Ia pun menginginkan agar bentuk koalisi yang ia bangun menjadi budaya politik baru di Indonesia yang jauh dari kesan politik transaksional. “Kita sama-sama tidak bicara masalah itu. Inilah nilai-nilai baru yang akan kita mulai, jadi tradisi politik baru di Indonesia,” ucap Jokowi.
Dikritik capres rival, Prabowo Subianto optimisi dapat membentuk kabinet pemerintahan yang baik. “Kami merasa dengan tokoh-tokoh nasional yang telah terbukti pengabdiannya kepada negara dan bangsa akan mampu memberi pemerintahan yang terbaik. Yang bisa kita berikan untuk rakyat yang kita cintai,” katanya di hotel Sahid Jaya, kemarin.
Menurut Prabowo, pemerintahan terbaik yang akan dibentuknya dilandaskan pada dukungan dan tokoh-tokoh yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih.
Karena itu, dia meminta restu dari masyarakat pemilih dan partai-partai yang tergabung dalam koalisi yaitu PAN, PPP, PKS, PBB dan Partai Golkar untuk memenangkan pilpres nanti.
“Untuk mewakili saudara-saudara maju di hadapan rakyat, untuk meminta mandat dari rakyat Indonesia, untuk memimpin pemerintahan RI lima tahun yang akan datang,” tegas Prabowo.
Di sisi lain, siapapun capres/cawapres terpilih diramal sulit lepas dari kendali tangan-tangan besar yang tak terlihat (invisible hand). Di belakang cawapres Hatta Rajasa ditengarai ada rombongan cukong di bawah pengusaha besar yang menunggu jatah proyek, salah satunya jembatan Selat Sunda. Begitu pula cawapres Jusuf Kalla yang diduga kuat disokong konglomerasi yang sangat pro pasar bebas, dan konsorsium mafia migas.
Begitu disampaikan aktivis 77/78, Syafril Sofyan, Selasa (27/5). Penyebabnya, kata dia, cawapres pendamping Prabowo dan Jokowi ‘memuja’ pasar bebas dan nepotisme terhadap kepentingan grup mereka.
Dikatakan Syafril, Jusuf Kalla yang merupakan pendamping Jokowi tidak memiliki komitmen terhadap ekonomi kerakyatan, dan tindakan menggenjot perekonomian yang dilakukannya cenderung berbau KKN.
Saat menjadi wapres SBY di periode pertama, Kalla terdepan membela neolib, diduga kuat menghapus utang grupnya di Mandiri serta monopoli grup bisnisnya terhadap proyek-proyek besar, termasuk kasus pengadaan helikopter tanpa tender. Kuat disebut-sebut selain ada grup bisnisnya, JK disokong barisan pengusaha di bawah seorang pemimpin organisasi pengusaha besar yang sangat ‘pasar bebas oriented’, serta mafia migas.
Sama halnya dengan kubu Jokowi, kata Syafril, kubu Prabowo Subianto juga sama. Memilih Hatta Rajasa sebagai cawapres mencerminkan model dan arah pembangunan Prabowo bakal neolib. Pemberitaan Hatta tidak bersih, terlibat dugaan korupsi pengadaan kereta hibah dari Jepang, sempat mencuat ke permukaan.
Dikabarkan juga, di belakang Hatta ada rombongan cukong di bawah pengusaha besar yang menunggu jatah proyek yang salah satunya jembatan Selat Sunda. Sama seperti Kalla, Hatta juga dikabarkan dikuasai mafia migas dan konglomerat hitam.
Syafril yang juga aktivis Rumah Perubahan 2.0 ini mengingatkan ada harapan Prabowo dan Jokowi bisa menjalankan pembangunan sesuai arah ideologi yang diusung. Harapan itu bisa terwujud jika dibuat sistem pembatasan pengaruh wapres dengan segala kepentingan politiknya, dengan membentuk tim kabinet yang kuat, profesional serta hak presiden menentukan pembantunya demi kepentingan rakyat. Kabinet yang dibentuk juga harus bebas dari pengaruh uang dan nepotisme serta pengaruh like and dislike.
“Diharapkan cara ini dapat mengatasi para ‘pencopet’ lihai, karena pada pemerintahan sebelumnya penentuan anggota kabinet dilakukan dengan bagi-bagi kursi antar partai politik, sebagian kecil untuk para profesional, dan sebagian lagi dilelang untuk kepentingan dana kampanye. Jika cara-cara lama masih dilakukan, sangat sulit mengharapkan Indonesia akan berubah siapapun presidennya. Macan Asia cuma akan jadi slogan, kesenjangan ekonomi rakyat tetap jauh tidak beringsut, 80 persen rakyat tetap tidak berkemampuan hidup sejahtera,” demikian Syafril. (bbs/jpnn/rbb/tom)
Kabinet Jokowi-JK
Menko Perekonomian: Chairul Tanjung
Menkopolkam: Hendro Priyono
Menkokesra: Puan Maharani
Mensesneg: Tjahjo Kumolo/Hasto Kristianto
Menkeu: Sri Adiningsih
Menteri BUMN: Lin Che Wei
Mendagri: Ryamizard Ryacudu
Menhankam: Andi Wijayanto
Menteri ESDM: Kurtubi
Ment. Perindustrian: Rahmat Gobel
Ment. Perdagangan: Rusdi Kirana/Sri Adiningsih
Menteri Hukum dan HAM: Todung Mulya Lubis
Menteri Sosial: Solahuddin Wahid
Menpora: Maruarar Sirait/Budiman Sudjatmiko
Menakertrans: Andi Gani Nuwawea/Maruarar Sirait
Menkominfo: Surya Paloh
Menteri Pendidikan: Anies Baswedan
Menteri Agama: Muhaimin Iskandar
Menteri Pertanian: M Prakosa
Menteri Pariwisata: AA Puspayoga
Menteri PDT: Helmy Yahya
Menristek: Fery Mursidan Baldan
Menteri Peranan Wanita: Rieke Dyah Pitaloka
Menteri kesehatan: Risma
Menteri Perhubungan: Basuki Tjahaja Purnama
Sekretaris Kabinet: Khofifah Indah P
Jaksa Agung: Abraham Samad
Kepala BIN: TB Hasanuddin
Kepala Bappenas: Anggito Abimanyu
Kabinet Prabowo-Hatta
Menteri Utama: Aburizal Bakrie
Menko Perekonomian: Sri Mulyani Indrawati
Menkokesra: Ahmad Mudzani
Menteri Perdagangan: Hasyim Djojohadikusumo
Menteri Perindustrian: Sandiaga Salahuddin Uno
Menteri Koperasi dan UKM: Fadli Zon
Menteri Riset dan Teknologi: Zulkieflimansyah
Menteri Perumahan Rakyat: Anis Matta
Menteri Komunikasi dan Informasi: Teguh Juwarno
Menteri Pemuda dan Olah Raga: Fahri Hamzah
Menteri Kesehatan: Viva Yoga Mauladi
Menteri Keuangan: Aviliani
Menteri Dalam Negeri: Tifatul Sembiring
Menteri Luar Negeri: Dino Patti Djalal
Menteri Pertanian: Ahmad Heryawan
Menteri Kehutanan: Zulkifli Hasan
Menteri Hukum dan HAM: Patrialis Akbar
Menteri Sosial: Ahmad Dimyati Natakusumah
Menteri Agama: Suryadharma Ali
Menteri Pendidikan: Dradjad Wibowo
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Tjatur Sapto Eddy
Dari berbagai sumber