Menjadi orang tua tunggal dengan lima anak merupakan tantangan besar bagi Soekismiati. Namun, berkat keuletan janda Agoes Soedjono itu, tiga di antara lima anaknya berhasil meraih gelar doktor di Universitas Indonesia (UI).
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
Uniknya, prestasi akademis tersebut diraih dalam waktu hampir bersamaan. Meskipun sama-sama tinggal di Jakarta, Donny Tjahja Rimbawan, 49; Firman Kurniawan, 44; dan Guntur Freddy Prisanto, 39, sulit bertemu bareng. Karena itu, pertemuan yang dihadiri tiga bersaudara dari Jember tersebut pada Kamis sore (25/7) sungguh merupakan kesempatan langka.
Acara buka bersama sekaligus syukuran atas pencapaian Firman dan Guntur menyusul kakaknya, Donny, meraih doktor itu dilangsungkan di sebuah rumah makan di kawasan Jakarta Selatan. Guntur meraih gelar tertinggi di bidang akademis tersebut pada 20 Juli lalu. Sementara itu, Firman dinyatakan lulus pada Januari silam. Menurut rencana, keduanya dikukuhkan sebagai doktor di bidang masing-masing setelah Lebaran.
Firman datang dengan menumpang kereta komuter dari kampus tempatnya mengajar, Pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi UI. Disusul Donny yang tinggal di kawasan Jakarta Pusat datang dengan menggunakan taksi. Guntur baru bergabung setelah magrib karena terjebak kemacetan di jalan.
Tiga putra pasangan almarhum Agoes Soedjono dan Soekismiati itu tampak kompak dengan balutan baju takwa putih-putih. Sayangnya, sang bunda yang biasa disapa Mien Soedjono belum tiba di Jakarta saat pertemuan tersebut. Perempuan sepuh (73 tahun) itu masih di Jember menunggu putranya yang lain yang dalam perjalanan pulang dari umrah. Selain tiga anak laki-laki itu, Mien memiliki dua anak perempuan. Yakni, Cevie Juliati, 51, dan Erna Trutinawati, 47.
Menurut Donny, dirinya dan saudara-saudaranya berhasil meraih gelar doktor berkat kesabaran serta keuletan ibu mereka. Sepeninggal ayah, Agoes Soedjono, pada 1977, sang ibu berjuang sendiri membesarkan dan mendidik anak-anaknya hingga sukses.
“Tapi, menginjak SMA, saya ikut paman di Mojokerto (Jawa Timur). Istilahnya, saya ngenger,” ungkap bapak empat anak itu.
Donny menyatakan, keputusannya menumpang di rumah saudara itu murni disebabkan kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Dia sadar beban ibunya yang berstatus single parent saat lima anaknya harus bersekolah lumayan berat. Sebelum meninggal, sang ayah hanya pegawai swasta biasa dan tidak mendapat uang pensiun. Sedangkan sang ibu menjadi ibu rumah tangga.
Lantaran desakan ekonomi itulah, Mien Soedjono membuka usaha kecil-kecilan membuat keripik kentang di rumah. Belum cukup itu saja, dia kemudian melamar menjadi pegawai di kantor notaris. “Bukan notarisnya lho. Jadi pegawai di kantor notaris,” tegas Donny.
Selulus SMA di Mojokerto, Donny melanjutkan kuliah di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang. Sejak kuliah itulah dia benar-benar mandiri. Dia tidak ingin menambah beban ibunya yang harus membesarkan empat anaknya yang lain.
“Ibu juga tidak mau memberi uang kalau saya tetap kuliah di Malang. Ibu baru mau memberi kalau saya kuliah di Jember. Ibu memang menghendaki saya pulang,” paparnya.
Tetapi, Donny tetap kuliah di Malang. Untuk menyambung hidup, dia bekerja sebagai wartawan harian ekonomi Suara Indonesia. Dia mengaku, dunia tulis-menulis sebenarnya bukan hobinya. Tetapi, dia benar-benar membutuhkan pekerjaan itu karena butuh uang untuk hidup. Berkat ketekunannya belajar dan bekerja, Donny mampu menyelesaikan kuliah pada 1988.
Setelah lulus, penghobi baca buku itu sempat bekerja di Kementerian Keuangan di Jakarta. Namun, dengan alasan tertentu, dia kemudian mundur dan memilih bekerja di lembaga swasta.
Pada 1988, Donny berkesempatan melanjutkan kuliah di Magister Akuntansi UI hingga 2001. Belum cukup, dia kuliah lagi di Magister Ilmu Politik UI (2002″2005). Setelah lulus jenjang studi S-2 itu, alumnus SMA Taruna Nusa Harapan, Mojokerto, tersebut melanjutkan studi doktoral di bidang yang sama (Ilmu Politik UI) dan lulus pada 15 Januari 2013. Disertasinya berjudul Hubungan Negara dan Pengusaha di Era Reformasi; Studi Kasus Bisnis Grup Bakrie (2004″2012).
“Jadi, saya anak kedua yang pertama meraih gelar doktor,” jelasnya.
Donny mengungkapkan, wejangan-wejangan ayahnya semasa hidup memberikan dorongan kuat hingga dirinya bisa menuntaskan pendidikan tinggi. Dalam kenangannya, sang ayah benar-benar tegas dalam urusan pendidikan anak-anak.
“Ibu juga keras untuk urusan pendidikan anak-anak,” paparnya.
Donny mencontohkan, ibunya lebih senang membelikan buku pelajaran bagi anaknya dibanding membelikan sepatu atau baju.
“Wong baju dan sepatumu masih bisa dipakai kok. Begitu alasan ibu,” kenang dia.
Tapi, begitu anaknya minta dibelikan buku, sang ibu langsung merespons. Bahkan, ibu rela menggadaikan perhiasan atau sampai berutang.
Kenangan akan nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan sang ayah juga dirasakan Firman. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UI kelahiran Jember, 31 Januari 1969, itu menyatakan, ayahnya sangat menjunjung tinggi kejujuran dalam urusan pendidikan.
“Saya tahu prinsip ayah itu dari kakak-kakak. Sebab, saat beliau meninggal, saya masih kecil,” ujarnya.
Meski begitu, Firman berupaya keras meneladaninya. Mulai kuliah S-1 di Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan IPB (1988″1993) hingga Magister Manajemen Komunikasi UI (lulus cum laude, 2000″2002), Firman melaluinya dengan lurus-lurus saja.
“Untuk pendidikan, harus bersih. Begitu wejangan almarhum ayah,” tegasnya.
Berkat prestasinya menjadi lulusan terbaik, Firman langsung mendapat tawaran mengajar di UI. Dia tidak mau kehilangan kesempatan langka itu. Tawaran tersebut langsung disambar. Sambil mengajar, Firman melanjutkan studi doktoral di bidang Ilmu Filsafat UI.
Dia dinyatakan lulus setelah menjalani sidang promosi doktor pada 18 Juni dengan judul disertasi Manusia dalam Masyarakat Berjejaring.Ketika perbincangan berlangsung gayeng, beduk salat Magrib terdengar.
“Mari berbuka dulu,” pinta Firman. Takjil berupa kolak cendol yang sudah disiapkan langsung disantap. “Guntur belum juga datang, kurang ramai,” kata dosen terfavorit versi mahasiswa UI itu.
Beberapa saat kemudian Guntur datang. Tiga bersaudara tersebut tampak klop dengan balutan baju putih. “Kami tidak janjian mengenakan baju putih lho,” kata Guntur memulai percakapan.
Sebagai anak bungsu, kisah Guntur tidak terlalu berliku seperti kakak-kakaknya. Hingga menamatkan sarjana ekonomi di UI, Guntur dibiayai ibunya. Tetapi, selepas itu, dia bekerja sebagai konsultan untuk membiayai kuliah lanjutannya.
Pria kelahiran Jember, 11 Mei 1974, tersebut memiliki kisah kuliah yang unik setelah lulus S-1. Guntur tercatat berkali-kali keluar-masuk program magister di UI. Mulai jurusan ekonomi hingga magister filsafat.
“Saya rasa filsafat paling menantang,” paparnya. Dan, dia menyelesaikan program itu pada 2004.
Setelah tamat S-2, Guntur melanjutkan studi doktor di bidang filsafat UI. Program tersebut dia rampungkan setelah berhasil melewati sidang promosi pada 20 Juli lalu. Judul disertasinya Market Justice, Kritik atas Determinasi Pasar Neoklasik. Rencananya pengukuhan doktor Guntur bersamaan dengan sang kakak, Firman, pada Agustus atau setelah Lebaran.
Terhadap ketegaran sang ibu dalam mendidik anak-anaknya, tiga bersaudara itu memiliki pandangan berbeda-beda. Guntur, misalnya, mengaku kehabisan kata-kata untuk menggambarkan rasa kagumnya kepada sang ibu.
“Tulis saja saya kehabisan kata-kata. Karena kalau saya ucapkan, terlalu sederhana sosok ibu,” tutur penghobi nonton film itu.
Menurut Firman, ibunya adalah sosok yang luar biasa. Dia lebih banyak bekerja daripada berkata-kata. “Beliau adalah teladan bagi anak-anaknya,” ujar dosen yang hobi masak tersebut.
Sementara itu, Donny mengutarakan, sang bunda adalah orang yang rela berkorban demi keluarga. Dia mengatakan, ketika ayah meninggal, ibunya masih muda. “Kami merelakan dan mendorong ibu untuk menikah lagi. Tetapi, beliau tidak bersedia. Beliau lebih memilih membesarkan anak-anaknya. Itu pengorbanan yang sangat besar,” papar Donny dengan mata berbinar.
Dia menambahkan, sang ibu tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk sekolah tinggi-tinggi. Tetapi, berbekal prinsip hidup yang ditanamkan sejak anak-anaknya masih kecil, hasilnya luar biasa.
“Hidup tanpa dibekali ilmu hanya akan menjadi seperti sampah di pinggir jalan. Ilmu yang utama, urusan harta itu ada yang mengatur,” tandas dia. (*/c5/c10/ari/jpnn)