JAKARTA-Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Abdul Gafar Patappe menyebutkan, data tenaga honorer dari daerah yang diusulkan ke pusat untuk diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), sebagian besar dimanipulasi. Mayoritas honorer yang diusulkan justru merupakan honorer baru, yang angka tahun pengangkatannya diundurkan di bawah 2005.
Sementara, honorer yang benar-benar bersih, kerja sudah lama jauh sebelum 2005, oleh daerah malah tidak diusulkan. Gafar memperkirakan, hanya sekitar 20 persen tenaga honorer yang murni memenuhi persyaratan, yang diajukan daerah ke pusat.
“Yang 80 persen honorer baru yang datanya dimanipulasi. Mereka itu diangkat jadi honorer oleh kepala daerah karena dulunya menjadi tim suksesnya saat Pilkada. Balas jasa. Juga dari keluarganya,” ujar Abdul Gafar Patappe kepada Sumut Pos di Jakarta, Kamis (27/10).
Dengan alasan itu, Gafar menyatakan setuju dengan pernyataan Wakil Menpan-RB Bidang Reformasi Birokrasi, Eko Prasojo, yang melakukan penundaan pengangkatan 67 ribu tenaga honorer kategori I, yang semula direncanakan Oktober 2011.
Gafar mengatakan, penundaan ini untuk memberikan waktu bagi pemerintah untuk memberikan waktu dilakukannya verifikasi mendalam terhadap data honorer yang disodorkan daerah. “Karena kalau tidak diverfikasi ulang, kasihan tenaga honorer yang lama, yang sudah lama mengabdi, yang benar-benar memenuhi persyaratan. Saya menerima banyak keluhan, honorer lama malah tidak diusulkan. Ini sudah kami sampaikan ke Menpan,” ujar Gafar.
Gafar berharap, para tenaga honorer jangan marah kepada pusat terkait penundaan pengangkatan jadi CPNS ini. “Daerah yang salah, yang mengajukan data-data manipulatif,” ujarnya. Dengan penundaan, lanjutnya, justru nantinya akan ada pengangkatan yang lebih adil, dimana yang benar-benar memenuhi syarat yang bisa diangkat jadi CPNS.
Dia juga menawarkan model verifikasi yang sederhana, tapi bisa mendapatkan akurasi. Tim dari pusat datang ke daerah. Lantas, para tenaga honorer yang namanya disetorkan ke pusat, dikumpulkan dalam satu ruangan. Di situ tim cukup bertanya, siapa yang sudah kerja sebelum 2005, agar angkat tangan. “Nah, jika ada honorer baru ikut angkat tangan, pasti honorer yang sudah lama kerja akan protes, karena antar mereka saling kenal,” kata Gafar.
Terkait alasan penundaan yang berkaitan dengan beban keuangan negara, Gafar mengatakan, pemerintah sendiri yang tahu bagaimana beban keuangan negara. Komisi II DPR, katanya, lebih menekankan agar data honorer valid.
Tanggapan berbeda dari Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Ganjar Pranowo. Dia mengaku kecewa dengan pernyataan Eko Prasojo. Alasannya, sudah ada kesepakatan DPR dengan pemerintah agar honorer diangkat jadi CPNS, yang tinggal menunggu pengesahan PP pengangkatannya saja.
“Masalah honorer itu rawan karena menyangkut nasib puluhan ribu orang. Perlu dicatat, pembahasan honorer di DPR kan sudah selesai. Tinggal tunggu RPP-nya disahkan,” kata Ganjar.
Soal manipulasi data honorer yang diusulkan ke pusat, analis politik asal Universitas Sumatera Utara (USU) Warjio SS MA kepada Sumut Pos, Kamis (27/10) menyatakan prilaku tersebut tidak etis.
“Ini sebenarnya bentuk perilaku yang tidak etis dan tidak semestinya. Harusnya, pengangkatan tenaga honorer itu sesuai dengan aturan yang ada,” ungkapnya.
Namun sayangnya, sejauh ini pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah, tidak memiliki aturan yang jelas dalam pengangkatan tenaga honorer. Sehingga, pada akhirnya menjadi beban bagi pemerintah itu sendiri karena honor juga bersumber dari anggaran pemerintah. “Ini harus diperhatikan, bagaimana solusinya,” terangnya.
Apakah tidak sebaiknya anak atau saudara atau relasi pejabat yang telah diangkat menjadi tenaga honor diberhentikan, karena masih banyak masyarakat yang pada dasarnya membutuhkan pekerjaan namun belum tertampung yang kemudian menjadi pengangguran.
Terkait hal itu, Warjio menyatakan, bila ditilik dari sisi aturan yang semestinya telah ada, maka pengangkatan tenaga honor tanpa melalui mekanisme yang ada, sebaiknya diberhentikan.
“Jika memang ada aturan yang jelas, dan pengangkatan tenaga honor tersebut tidak sesuai dengan aturan maka itu sah-sah saja dilakukan,” tegasnya.
Sedangkan itu, anggota Komisi A DPRD Sumut Raudin Purba menyatakan, sepanjang anak pejabat tersebut benar-benar bekerja dan mengabdi, tidak terlalu dipersoalkan. Namun, bila anak pejabat yang diangkat sebagai tenaga honorer tersebut tidak bekerja dan hanya terkesan memanfaatkan jabatan bapak atau relasinya, maka itu patut dipertanyakan.
Kemudian, sambung politisi Fraksi PKS DPRD Sumut tersebut, tidak masalah juga bila gaji dari tenaga honorer tersebut tidak bersumber dari APBD atau APBN dan sebagainya.
“Kalau tidak dari APBD, tidak masalah. Dan yang penting mengabdi dan benar-benar bekerja,” tegasnya.
Namun, Raudin juga tidak membantah, bila atas dasar relasi atau jabatan yang disandang pejabat tersebut, untuk memasukkan anak atau saudaranya menjadi tenaga honorer, juga akan memberi kesenjangan di masyarakat. Karena banyak masyarakat yang membutuhkan pekerjaan.(sam/ari)