Memutuskan diri menjadi seorang dokter, berarti memutuskan diri untuk siap mengabdi. Harus siap ditugaskan di daerah pedalaman, sabar menghadapi pasien yang memiliki bermacam karakter bahkan siap mendapatkan perlawanan dari beberapa masyarakat.
Hal inilah yang diharapkan pada peringatan Hari Dokter Nasional beberapa hari lalu. “Dokter itu pengabdian aja, kalau bisa kita bantu kan dapat pahala sekaligus dapat duit juga. Tidak usah berpikir ke lainn
fokus sama pengabdian aja cari pahala,” ujar Dr Delfitri Munir Sp THT, KL (K) saat ditemui Sumut Pos, Sabtu (26/10).
Pria kelahiran 26 januari 1954 ini tanpa segan menceritakan pengalamanya. Semua dimulai saat ia ditugaskan ke Lhoksukon, Aceh Utara. Berbagai penolakan bahkan ancaman ia rasakan selama 2 tahun. “Awal tugas saya jadi dokter itu ke Lhoksukon, saya masih baru tamat kuliah dan masih status dokter umum. Saat itu ada crash program dari Dapartemen Kesehatan mengenai pemberantasan kasus tetanus saya dikirim kesana dan sangat luar biasa pengalaman disana,” ujarnya.
Sekitar tahun 86, Delfitri ke Lhoksukon, kondisi Indonesia khususnya Aceh saat itu memang tidak terlalu aman. Berbagai tanggapan buruk dari masyarakat muncul saat timnya datang dengan nama pemerintah pusat apalagi potogramnya diperuntukkan kepada wanita, ibu dan remaja putri yang belum menikah. Keluar anggapan, kalau pihak Delfitri hanya ingin membuat para perempuan Aceh mandul, sehingga Aceh dapat dikuasai oleh Jawa.
“Pengetahuan masyarat tentang kesehatan saat itu sangat memprihatinkan. Saat kami kesana berbagai penolakan datang, apalagi saat itukan zaman imigrasi masuk mereka kira program kita buat mandulkan para wanita. Saat disosialisasikan, malah ramai-ramai bilang kenapa hanya perempuan kenapa laki-laki tidak. Tapi benar juga kata mereka, yah masalahnya memang program ini diperuntukkan bagi wanita karena saat itu kasusu ibu meninggal karena infeksi, tetanus tinggi di Indonesia,” katanya.
Penolakan tersebut tidak hanya sekedar kata-kata, Dokter THT di RS Columbia dan RSUP H Adam Malik ini pun pernah diancam akan dibacok. “Tim saya yang ke lapangan eh mereka ditolak keras, akhirnya saya yang turun dan tiba-tiba suaminya keluar bawa golok, katanya kalau berani masuk mengganggu istrinya saya mau di bacok. Bahaya sekali,” katanya.
Melihat penolakan itu, Delfitri pun berinisiatif mencari cara lain dan akhirnya ia berjodoh dengan siswa STM yang bisa membuat radio dengan radius 10 KM. “Nah, saat itu saya mikir, apa caranya biar bisa diterima sama masyarakat. Kebetulan saya ketemu sama anak STM, mereka lagi praktik buat radio gitu, saya minta sama dia buatin radio yang radius 10 KM aja. Akhirnya di Puskesmas, ruangan kecil saya itu jadi studio mini. Nama radionya, Liana Broadcast nama anak kedua saya,” ujarnya tertawa sembari mengatakan anaknya ada 4 orang dan semuanya mengambil fakultas kedokteran.
Saat itu, Delfitri pun pelan-pelan memberikan informasi kesehatan melalui radio dan membuka sesi tanya jawab. “Saya sosialisasikan juga ke Kepala Desa, kalau ada yang mau nanya mereka tinggal ke rumah kepala desa saja karena hanya disana ada telpon. Nah, responnya lumayan, malah saya dapat info kalau warga banyak yang beli radio mini dibawa ke ladang gitu,” ujarnya.
Saat diterangkan melalu radio, perlahan masyarakat mulai mengerti. Bahkan ada beberapa orang mendatangi kantornya untuk minta maaf. “Tiba-tiba ada yang datang minta maaf. Dalam radio itu, masyarakat dapat menanyakan tentang kesehatan apa saja,” ujarnya.
Dua tahun dilalui, tidak hanya penolakan, saat maraknya masalah GAM di Aceh, Delfitri bahkan diminta tolong oleh GAM untuk membantu bagian kesehatan. “Wah, saya saat itu dilema. Takut dimarah sama pemerintah, takut juga sama yang disana, akhirnya yah saya bekerjakan memang buat yang membutuhkan pertolongan kesehatan. Jadi saya kerjakan saja, syukur saja gak lama,” katanya.
Akhirnya pada Desember 1988, guru besar di FK USU, bidang ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher ini pun akhirnya pindah ke USU dan melanjutkan pendidikan S2nya di USU, spesialis THT. “Saya S1 di Universitas Andalas Padang, S2 di USU ambil spesialis THT dan S3nya juga di USU, hingga akhirnya menjadi staf pengajar di USU,” katanya.
Suami Elfizear Jean ini melanjutkan ceritanya. Ia tidak pernah bercita-cita menjadi dokter, apalagi menjadi dokter THT karena cita-citanya dari kecil adalah sebagai seorang arsitek. “Dulu saya mau ke Jawa kulia ambil jurusan Arsitek, tapi orangtua gak ngasih izin. Mau gak mau saya ke Andalas, saya lihat mana nilai yang tinggi ternyata kedokteran dan farmasi, saya ambil aja kedokteran dan diterima. Saya itu suka melukis, saya mau jadi arsitek. Tapi alhamdulilah saat dijalani menarik juga,” katanya.
Memiliki THT juga tidak direncanakan. “Kenapa saya ambil spesialis THT, karena pada saat di Aceh ada anak kecil yang mancing ikan terus dia mau ngelepas kailnya pakai gigi gak tahu kenapa ikan itu tertelan dan nyangkut di kerongkongan anak itu. Wah gak ada yang bisa nolong saat itu, saya jugakan bukan dokter spesialis THT saat itu, masih dokter umum. Setelah itu saya hancurkan ikannya, akhirnya bisa. Saya mikir, susah juga kalau didaerah gak ada yang pintar untuk masalah THT ini, makanya itu alasan saya ambil spesialis THT,” katanya.
Saat ini, ia hanya fokus dengan pekerjaanya. Bahkan untuk menerapkan pengabdiannya, ia membuat program penanggulangan hgangguan pendengaran pada bayi di Sumut. “Sayakan kebetulan ketua komite daerah penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian Sumut, saya buat program itu ke bidan-bidan di daerah agar bayi yang lahir bisu dapat dengan cepat diketahui dan dapat langsung diobati. Saya buat progam ini juga tujuannya untuk mengabdi. Dengan biaya yang sangat murah tentunya,” katanya sembari mengatakan tahun 2005 ia berkasil menjadi konsultan.
Untuk itu, pada peringatan Hari Dokter Nasional kemarin, ia hanya berharap kepada para dokter agar bekerja dengan tujuan mengabdi. “Yah mengabdi saja, sembari cari pahala yang utama dan dapat uangkan. Gak usah ikut-ikut dalam dunia politik,” katanya. (*)