Gaji Guru tak Cukup, Sugeng Merangkap Jadi Tukang Becak
Nasib guru honorer di mana pun sama. Gaji jauh dari cukup dan guru terpaksa ngobjek untuk menutup kebutuhan hidup. Itu pula yang dijalani Sugeng, guru SMP Nusantara Bandar Lampung. Sudah 24 tahun dia mengajar. Namun, gaji yang diterima hanya Rp224 ribu. Untuk menambah penghasilan, dia rela menarik becak.
LIA APRIANDARI, Bandar Lampung
TINGGI mentari masih sepenggalah, menyinari bangunan SMP Nusantara di Jalan Jelantik No 16 Tanjungagung, Tanjungkarang Timur (TKT), Bandar Lampung. Saat itu seorang pria berpakaian batik berwarna cokelat kekuningan sedikit tergopoh-gopoh memasuki sebuah ruang kelas. Di tangannya, sebuah buku bergambar not balok tergenggam erat.
Tak lama kemudian, pria bernama Sugeng tersebut mengucapkan salam kepada siswa di sebuah kelas, yang sudah menunggu kehadirannya. Tanpa banyak bicara, pria yang tinggal di Jalan Bangau, Tanjungagung, TKT, itu menghampiri whiteboard.
Dengan cekatan, dia mulai menggoreskan spidol hitam di tangan kanannya untuk menggambar not balok. Sejenak kemudian, bapak tiga anak tersebut dengan suara halus mulai menerangkan cara membuat dan membaca lambang-lambang itu.
Ya, Sugeng adalah guru kesenian sekolah itu. Profesi tersebut dia geluti sejak 1987. “Awalnya, saya tidak pernah terpikir untuk menjadi seorang guru. Nasib yang menuntun saya menjalani profesi itu,” ujarnya kepada Radar Lampung (grup Sumut Pos) setelah mengajar.
Pria 44 tahun tersebut merupakan alumnus SMP Nusantara. Dia lulus dari sekolah itu pada 1983. Setelah lulus SMP, dia melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) 1 Pahoman. Pendidikan tersebut berhasil dia selesaikan pada 1986.
Setahun kemudian, pria berkulit sawo matang tersebut melamar sebagai staf tata usaha (TU) di SMP Nusantara.
Dari situlah, karirnya sebagai guru dimulai. Karena sekolah kekurangan guru, Sugeng yang memiliki bakat seni lantas diberi amanah untuk mengajar seni-budaya. Sebagai bentuk keseriusannya menekuni dunia pendidikan, dia lantas berupaya melanjutkan pendidikan. Pilihan akhirnya jatuh ke pendidikan guru sekolah menengah tingkat pertama (PGSMTP) di Pahoman. Di lembaga pendidikan setara D-1 tersebut, dia berhasil lulus dengan nilai cukup memuaskan.
“Waktu itu kebetulan di SMP Nusantara tidak ada guru kesenian. Karena saya dipandang punya bakat, saya lalu ditawari menjadi guru. Tawaran itu kemudian saya terima,” tuturnya sembari menatap barisan siswa yang berlatih upacara.
Sayang, meski telah mengabdikan diri selama 24 tahun, embel-embel guru honorer hingga kini tidak juga lepas. Saat ini dia hanya menerima honor Rp224 ribu per bulan. Pada zaman ini uang sejumlah itu tentu sangat jauh dari kata cukup.
Meski demikian, di tengah impitan ekonomi karena harus menghidupi keluarga, Sugeng mengambil keputusan yang cukup mengejutkan. Sejak 1993, dia memutuskan untuk menjadi pengayuh becak.
“Mau bagaimana lagi? Kerjaan ini yang paling bebas karena tidak ada tekanan atau tuntutan dari mana pun. Kapan saja saya punya waktu, saya bisa narik (becak),” ungkapnya.
Bagaimana cara membagi waktu? Jika mendapat jam mengajar siang, Sugeng mengayuh becak sore dan malam. Demikian sebaliknya. Dari usaha itu, dia bisa mengantongi penghasilan hingga Rp 30 ribu per hari atau sekitar Rp 900 ribu per bulan. Itu berarti sekitar tiga kali lipat penghasilannya sebagai guru. Meski kerap harus pulang hingga larut, dia tetap setia menjalani profesi tersebut.
Ketika guru lain bisa beristirahat, Sugeng masih harus menjalani profesi sampingan. Penampilannya pun berubah drastis. Jika saat mengajar mengenakan kemeja batik, ketika mengayuh becak baju itu dia ganti dengan pakaian ala kadarnya. Bahkan, dia sering mengenakan baju yang warnanya sudah pudar, celana selutut, sandal jepit, dan topi berwarna cokelat yang melindungi kepalanya dari sengatan matahari.
Itu pula yang terjadi saat Radar Lampung menyambanginya. Setelah mengecek kondisi becak kesayangan, dengan penuh percaya diri Sugeng mengayuhnya menuju Pasar Tugu TKT.
Terik mentari dan derasnya hujan sudah menjadi bagian hidupnya. Namun, itu semua tidak menjadi halangan berarti untuk terus mengayuh becak hitamnya. Tak jarang, ban becaknya kempis di tengah jalan. Jika sudah begitu, dia harus merelakan sebagian penghasilannya melayang ke tukang tambal ban.
Sugeng begitu telaten mengumpulkan uang dengan becaknya. Itu semua dia lakukan demi tiga buah hatinya yang membutuhkan biaya pendidikan. Yaitu Ratih Sepsilawan (17) yang kini duduk di bangku kelas XII SMA, Surya Galih (14) pelajar kelas VIII SMP, dan si bungsu Singgih Remili Darma (12) murid kelas VI SD.
Ya, Sugeng kini harus hidup dengan tiga anaknya tersebut. Sebab, sejak Maret 2011 sang istri memilih berpisah dengan alasan tidak mau hidup susah. Penderitaan Sugeng makin lengkap karena sejak beberapa tahun terakhir sebuah virus yang belum diketahui jenisnya menggerogoti saraf bagian belakang kepalanya. Akibatnya, sebagian wajah Sugeng pernah berubah bentuk. Meski kini kondisinya berangsur normal, bagian mata sebelah kirinya masih tampak merah.
Meski juga dikenal sebagai pengayuh becak, di mata siswa dan rekan kerjanya, Sugeng dipandang terhormat. Itu tidak lain disebabkan sikap disiplin yang senantiasa dia tunjukkan kepada para anak didiknya. Sekalipun dalam kondisi sakit, dia tetap bersemangat menularkan ilmu kepada para siswa.
Sugeng juga dikenal sebagai guru yang selalu datang tepat waktu. “Saya tidak ingin anak didik saya menunggu untuk diberi ilmu,” ucapnya, merendah.
Wakil Kepala SMP Nusantara Bidang Kesiswaan Kholinawati SPd juga mengakui hal itu. “Pak Sugeng merupakan seorang yang sangat tabah, sangat bertanggung jawab, dan disiplin. Walaupun dalam kondisi sakit, dia tetap mengajar. Datangnya pun tidak pernah telat. Pokoknya, sangat disiplin,” katanya.
Senada, Ratih, anak Sugeng, menyatakan bangga meski sang ayah menekuni pekerjaan yang kerap dipandang rendah oleh sebagian orang tersebut. “Saya justru bangga dengan bapak. Saya tidak malu punya bapak tukang becak,” katanya dengan yakin.
Di tengah kesibukannya, Sugeng masih menyimpan sebuah ambisi besar, yaitu melanjutkan pendidikan ke jenjang strata 1. “Biar saya bisa diangkat (jadi PNS). Sekarang kan harus sarjana untuk dapat sertifikasi guru. Semoga Allah mengabulkan harapan itu,” katanya sambil menunduk. (*)