26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Radio dan TV Malaysia Kuasai Siaran Perbatasan

 Radio dan TV Malaysia Kuasai Siaran Perbatasan

Radio dan TV Malaysia Kuasai Siaran Perbatasan

TARAKAN–Dalam rapat koordinasi pengembangan penyiaran di wilayah perbatasan di Tarakan, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalimantan Timur, Zainal Abidin memaparkan, wilayah perbatasan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara) meliputi tiga kabupaten, yakni Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Kutai Barat.

“Kawasan perbatasan sangat identik dengan kawasan terisolir dengan jumlah penduduk miskin mencapai 342.833 jiwa, dimana tingkat ekonomi masyarakatnya berada di bawah garis kemiskinan dan aktivitas perekonomian bergantung kepada negara tetangga, Malaysia,” ujar Zainal yang menjadi pembicara utama, kemarin.

Dikatakan, persoalan kawasan perbatasan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, belum berakhir dari Orde Lama, Orde Baru, Reformasi hingga sekarang, yakni berawal dari masalah 3-T (ketertinggalan, keterbelakangan, dan keterisolasian. Masalah 3-T yang timbul, sulit dipecahkan tersebut antara lain, kemiskinan masyarakat perbatasan dikarenakan rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur pendukung, rendahnya produktivitas masyarakat dan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam. Selain itu, terdapat kesenjangan kesehjateraan dengan negara tetangga, Malaysia.

“Sarana dasar ekonomi dan sosial seperti listrik, air bersih dan lainnya sangat terbatas. Akibatnya masyarakat perbatasan berusaha untuk memenuhi hal tersebut dengan bergantung kepada negara tetangga. Ditambah lagi, belum adanya kepastian hukum bagi pelaku pembangunan, karena semua kewenangan wilayah masih banyak dikeluarkan instansi pemerintah pusat,” jelasnya.

Disamping itu, belum adanya lembaga yang mengkoordinasikan pengelolaan perbatasan di tingkat nasional dan daerah. Dalam hal ini, keberadaan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) belum melakukan perubahan bermakna. Belum lagi, persoalan minimnya sarana dan prasarana keamanan dan pertahanan, dan lainnya.

“Dibandingkan wilayah lainnya seperti Kota Tarakan, Balikpapan dan Samarinda, daerah Kutai Barat, Malinau dan Nunukan masih relatif tertinggal infrastrukturnya. Salah satu masalah yang muncul adalah kapasitas energi listrik yang terbatas sehingga lembaga penyiaran di daerah perbatasan hanya mampu bersiaran selama 4 hingga 6 jam per hari. Hal ini juga menyebabkan masyarakat di wilayah terpencil di Nunukan merasakan menonton televisi dan mendengarkan radio sebagai produk mahal,” urai Zainal.

Berdasarkan data yang dihimpun KPID Kalimantan Timur dan informasi Balai Monitoring Samarinda yang dilakukan di Nunukan””10 kilometer dari perbatasan Malaysia, jumlah penyiaran radio yang diterima di Kabupaten Nunukan sebanyak 13 lembaga penyiaran, yang 8 lembaga penyiaran radio diantaranya berasal dari Malaysia yakni Radio Classic FM (kanal 93,9), Radio Muzik FM (kanal 94,7), Radio Sabah FM (kanal 95,7), Radio Traxx FM (kanal 97,1), Radio AI FM (kanal 98,1), Radio Maestra (kanal 99,3), Radio Tawau (kanal 100,1) dan satu lagi belum teridentifikasi (kanal 100,7).

“Dari sisi kualitas, rata-rata radio Malaysia jauh lebih berkualitas dari sisi penerimaan siaran. Hal ini disadari bahwa kekuatan power radio yang dimiliki negara Malaysia jauh lebih besar dari power radio Indonesia,” ujarnya seraya menyebutkan, informasi lain yang diperoleh, Pemerintah Malaysia jauh lebih mudah dalam regulasinya menerbitkan izin bersiaran radio dibandingkan Indonesia yang lebih rumit dan butuh waktu lama.

“Di wilayah perbatasan, televisi yang dapat diterima bersiaran hanya televisi dari Malaysia, sedangkan televisi dari Indonesia masih belum dapat diterima. Tercatat ada tiga siaran televisi yang diterima di perbatasan Kalimantan Timur/Kalimantan Utara khususnya di Nunukan, yakni TV 1 Malaysia (kanal 6 dengan kualitas penerimaan baik sekali), TV 2 Malaysia (kanal 9 dengan kualitas penerimaan baik), dan TV 3 Malaysia (kanal 12 dengan kualitas penerimaan baik),” imbuh Zainal sebelum mengatakan, kelemahan lain daripada Indonesia adalah, minimnya dukungan pemerintah terhadap lembaga penyiaran. Lantaran isu penyiaran perbatasan dianggap masih belum dianggap strategis dibandingkan media lainnya seperti media cetak yang lebih menjadi pusat perhatian.

Nah, dari lima radio di wilayah perbatasan Nunukan yang bersentuhan langsung dengan Malaysia, hanya dua yang izinnya relatif masih baru. Sementara lainnya, belum memperpanjang izin yang ada. Pun demikian, kata Zainal, pihaknya tetap memperkenankan mereka untuk tetap bersiaran dengan syarat wajib memproses perizinan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.

Diakuinya pula, ada sejumlah permasalahan yang dihadapi lembaga penyiaran swasta di perbatasan. Diantaranya, keterbatasan modal, kurangnya sumberdaya manusia penyiaran, keterisolasian menyebabkan lembaga penyiaran swasta kesulitan mengurus izin, investasi lembaga penyiaran swasta tidak memiliki prospek bisnis atau usaha dan sumberdaya energi listrik masih terbatas akibatnya lembaga penyiaran hanya mampu bersiaran dengan jam siaran yang minim.

“Yang patut diketahui juga, KPID Kalimantan Timur ini mengalami keterbatasan. Seperti isu penyiaran dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kalimantan Timur belum menjadi isu strategis pembangunan di Kalimantan Timur, biaya akomodasi dan transportasi ke wilayah perbatasan relatif mahal, sementara anggaran KPID sangat minim serta tak ada anggaran khusus untuk kunjungan kerja dan lainnya,” terang Zainal.

Atas persoalan itu, KPID Kalimantan Timur pun mengusulkan kebijakan penanganan penyiaran di daerah perbatasan. Diantaranya, memberikan kemudahan teknis perizinan dan infrastruktur penyiaran, pemerintah baik daerah maupun pusat perlu mendukung secara aktif lembaga penyiaran swasta di wilayah perbatasan, lalu perlu juga adanya regulasi di tingkat nasional dan daerah mengenai siaran TV kabel khususnya keharusan menyiapkan kanal televisi lokal yang didistribusikan oleh lembaga penyiaran berlangganan TV kabel, dan lainnya.

Sementara itu, Penjabat Gubernur Kalimantan Utara, Irianto Lambrie mengatakan, penyiaran sangat penting artinya bagi sebuah Daerah Otonomi Baru, khususnya Provinsi Kalimantan Utara. Lewat penyiaran, dikabarkanlah bahwa pemekaran daerah otonomi baru bukanlah malapetaka atau memicu sinisme lantaran pemekaran bisa memunculkan konflik elit politik dan horizontal.

“Kalimantan Utara tak seperti itu, karena dipersiapkan dan diperjuangkan cukup lama. Yang pasti, pemekaran wilayah itu tujuannya ada dua, yakni terus meningkatkan kualitas dan pemerataan kesehjateraan masyarakat dan pengembangan demokratisasi di era reformasi,” paparnya.

Penyiaran juga penting bagi Kalimantan Utara, lantaran menurut Irianto, pola penyebaran penduduk yang tak banyak namun sporadis didalam wilayah yang luas dengan medan yang berat, merupakan tantangan utama pengembangan wilayah di Kalimantan Utara. Disinilah penyiaran dengan berbagai fungsinya dapat menyampaikan apa-apa yang terjadi di satu tempat ke tempat lain.(ndy)

 Radio dan TV Malaysia Kuasai Siaran Perbatasan

Radio dan TV Malaysia Kuasai Siaran Perbatasan

TARAKAN–Dalam rapat koordinasi pengembangan penyiaran di wilayah perbatasan di Tarakan, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalimantan Timur, Zainal Abidin memaparkan, wilayah perbatasan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara) meliputi tiga kabupaten, yakni Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Kutai Barat.

“Kawasan perbatasan sangat identik dengan kawasan terisolir dengan jumlah penduduk miskin mencapai 342.833 jiwa, dimana tingkat ekonomi masyarakatnya berada di bawah garis kemiskinan dan aktivitas perekonomian bergantung kepada negara tetangga, Malaysia,” ujar Zainal yang menjadi pembicara utama, kemarin.

Dikatakan, persoalan kawasan perbatasan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, belum berakhir dari Orde Lama, Orde Baru, Reformasi hingga sekarang, yakni berawal dari masalah 3-T (ketertinggalan, keterbelakangan, dan keterisolasian. Masalah 3-T yang timbul, sulit dipecahkan tersebut antara lain, kemiskinan masyarakat perbatasan dikarenakan rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur pendukung, rendahnya produktivitas masyarakat dan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam. Selain itu, terdapat kesenjangan kesehjateraan dengan negara tetangga, Malaysia.

“Sarana dasar ekonomi dan sosial seperti listrik, air bersih dan lainnya sangat terbatas. Akibatnya masyarakat perbatasan berusaha untuk memenuhi hal tersebut dengan bergantung kepada negara tetangga. Ditambah lagi, belum adanya kepastian hukum bagi pelaku pembangunan, karena semua kewenangan wilayah masih banyak dikeluarkan instansi pemerintah pusat,” jelasnya.

Disamping itu, belum adanya lembaga yang mengkoordinasikan pengelolaan perbatasan di tingkat nasional dan daerah. Dalam hal ini, keberadaan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) belum melakukan perubahan bermakna. Belum lagi, persoalan minimnya sarana dan prasarana keamanan dan pertahanan, dan lainnya.

“Dibandingkan wilayah lainnya seperti Kota Tarakan, Balikpapan dan Samarinda, daerah Kutai Barat, Malinau dan Nunukan masih relatif tertinggal infrastrukturnya. Salah satu masalah yang muncul adalah kapasitas energi listrik yang terbatas sehingga lembaga penyiaran di daerah perbatasan hanya mampu bersiaran selama 4 hingga 6 jam per hari. Hal ini juga menyebabkan masyarakat di wilayah terpencil di Nunukan merasakan menonton televisi dan mendengarkan radio sebagai produk mahal,” urai Zainal.

Berdasarkan data yang dihimpun KPID Kalimantan Timur dan informasi Balai Monitoring Samarinda yang dilakukan di Nunukan””10 kilometer dari perbatasan Malaysia, jumlah penyiaran radio yang diterima di Kabupaten Nunukan sebanyak 13 lembaga penyiaran, yang 8 lembaga penyiaran radio diantaranya berasal dari Malaysia yakni Radio Classic FM (kanal 93,9), Radio Muzik FM (kanal 94,7), Radio Sabah FM (kanal 95,7), Radio Traxx FM (kanal 97,1), Radio AI FM (kanal 98,1), Radio Maestra (kanal 99,3), Radio Tawau (kanal 100,1) dan satu lagi belum teridentifikasi (kanal 100,7).

“Dari sisi kualitas, rata-rata radio Malaysia jauh lebih berkualitas dari sisi penerimaan siaran. Hal ini disadari bahwa kekuatan power radio yang dimiliki negara Malaysia jauh lebih besar dari power radio Indonesia,” ujarnya seraya menyebutkan, informasi lain yang diperoleh, Pemerintah Malaysia jauh lebih mudah dalam regulasinya menerbitkan izin bersiaran radio dibandingkan Indonesia yang lebih rumit dan butuh waktu lama.

“Di wilayah perbatasan, televisi yang dapat diterima bersiaran hanya televisi dari Malaysia, sedangkan televisi dari Indonesia masih belum dapat diterima. Tercatat ada tiga siaran televisi yang diterima di perbatasan Kalimantan Timur/Kalimantan Utara khususnya di Nunukan, yakni TV 1 Malaysia (kanal 6 dengan kualitas penerimaan baik sekali), TV 2 Malaysia (kanal 9 dengan kualitas penerimaan baik), dan TV 3 Malaysia (kanal 12 dengan kualitas penerimaan baik),” imbuh Zainal sebelum mengatakan, kelemahan lain daripada Indonesia adalah, minimnya dukungan pemerintah terhadap lembaga penyiaran. Lantaran isu penyiaran perbatasan dianggap masih belum dianggap strategis dibandingkan media lainnya seperti media cetak yang lebih menjadi pusat perhatian.

Nah, dari lima radio di wilayah perbatasan Nunukan yang bersentuhan langsung dengan Malaysia, hanya dua yang izinnya relatif masih baru. Sementara lainnya, belum memperpanjang izin yang ada. Pun demikian, kata Zainal, pihaknya tetap memperkenankan mereka untuk tetap bersiaran dengan syarat wajib memproses perizinan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.

Diakuinya pula, ada sejumlah permasalahan yang dihadapi lembaga penyiaran swasta di perbatasan. Diantaranya, keterbatasan modal, kurangnya sumberdaya manusia penyiaran, keterisolasian menyebabkan lembaga penyiaran swasta kesulitan mengurus izin, investasi lembaga penyiaran swasta tidak memiliki prospek bisnis atau usaha dan sumberdaya energi listrik masih terbatas akibatnya lembaga penyiaran hanya mampu bersiaran dengan jam siaran yang minim.

“Yang patut diketahui juga, KPID Kalimantan Timur ini mengalami keterbatasan. Seperti isu penyiaran dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kalimantan Timur belum menjadi isu strategis pembangunan di Kalimantan Timur, biaya akomodasi dan transportasi ke wilayah perbatasan relatif mahal, sementara anggaran KPID sangat minim serta tak ada anggaran khusus untuk kunjungan kerja dan lainnya,” terang Zainal.

Atas persoalan itu, KPID Kalimantan Timur pun mengusulkan kebijakan penanganan penyiaran di daerah perbatasan. Diantaranya, memberikan kemudahan teknis perizinan dan infrastruktur penyiaran, pemerintah baik daerah maupun pusat perlu mendukung secara aktif lembaga penyiaran swasta di wilayah perbatasan, lalu perlu juga adanya regulasi di tingkat nasional dan daerah mengenai siaran TV kabel khususnya keharusan menyiapkan kanal televisi lokal yang didistribusikan oleh lembaga penyiaran berlangganan TV kabel, dan lainnya.

Sementara itu, Penjabat Gubernur Kalimantan Utara, Irianto Lambrie mengatakan, penyiaran sangat penting artinya bagi sebuah Daerah Otonomi Baru, khususnya Provinsi Kalimantan Utara. Lewat penyiaran, dikabarkanlah bahwa pemekaran daerah otonomi baru bukanlah malapetaka atau memicu sinisme lantaran pemekaran bisa memunculkan konflik elit politik dan horizontal.

“Kalimantan Utara tak seperti itu, karena dipersiapkan dan diperjuangkan cukup lama. Yang pasti, pemekaran wilayah itu tujuannya ada dua, yakni terus meningkatkan kualitas dan pemerataan kesehjateraan masyarakat dan pengembangan demokratisasi di era reformasi,” paparnya.

Penyiaran juga penting bagi Kalimantan Utara, lantaran menurut Irianto, pola penyebaran penduduk yang tak banyak namun sporadis didalam wilayah yang luas dengan medan yang berat, merupakan tantangan utama pengembangan wilayah di Kalimantan Utara. Disinilah penyiaran dengan berbagai fungsinya dapat menyampaikan apa-apa yang terjadi di satu tempat ke tempat lain.(ndy)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/