30 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Semai Awan dengan Garam secara Simultan

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) ‘Pawang Hujan’ Andalan BPPT

Hujan buatan lazimnya digunakan untuk mengatasi kekeringan atau kebakaran hutan selama musim kemarau. Namun, metode tersebut kini justru diterapkan untuk mencegah banjir Jakarta. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menggunakan metode yang dinamai teknologi modifikasi cuaca (TMC) itu.

Bayu Putra, Jakarta

DERU mesin pesawat C-130 Hercules milik TNI-AU di Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Sabtu (26/1) menandai dimulainya upaya rekayasa cuaca secara besar-besaran di Jakarta dan sekitarnya. Pesawat Hercules tipe short body itu kemudian ditarik ke arah gudang penyimpanan di salah satu sudut Lanud Halim Perdanakusuma.

REKAYASA: Aktivitas  pesawat C-130 Hercules milik TNI-AU saat ingin merekayasa cuaca.//Bayu Putra/jawa pos/jpnn
REKAYASA: Aktivitas di pesawat C-130 Hercules milik TNI-AU saat ingin merekayasa cuaca.//Bayu Putra/jawa pos/jpnn

Beberapa saat kemudian, sebuah forklift datang membawa 250 kantong berisi bubuk halus berwarna putih dengan berat 20 kilogram per kantong. Kantong-kantong itu lalu dimasukkan lewat bagian belakang pesawat. Karena banyaknya jumlah kantong, forklift harus bolak-balik hingga tiga kali dari gudang yang berjarak sekitar seratus meter dari tempat parkir Hercules.

Bubuk tersebut merupakan kunci utama dalam upaya rekayasa cuaca. Bubuk putih nan halus itu adalah natrium klorida (NaCl) atau yang lebih dikenal dengan sebutan garam. Bubuk garam tersebut sangat halus seperti tepung. Setelah seluruh garam yang berat totalnya lima ton itu terangkut, Hercules bersiap mengudara dengan membawa 21 penumpang, termasuk kru pesawat.

Sopir bus bandara yang membawa rombongan wartawan segera menjauh dari pesawat. “Nanti kena panasnya mesin pesawat, bisa berbahaya,” ujarnya.
Dia kemudian mengambil posisi di kiri pesawat. Setelah itu, wartawan diizinkan untuk mengambil gambar dari dalam bus yang kacanya terbuka.

Pukul 13.37 WIB, Hercules sukses mengudara di ketinggian 10.000 kaki. Penerbangan siang itu memang menunggu konfirmasi dari tim pemantau yang tersebar di sejumlah titik. Mereka menunggu awan berkumpul, setelah itu pesawat mengudara. Sebab, target utama dari kegiatan itu memang awan.
“TMC merupakan teknologi untuk mengintervensi cuaca. Bentuknya berupa redistribusi curah hujan,” ujar Kepala BPPT Marzan A Iskandar.

Redistribusi itu dilakukan dengan memberikan perlakuan kepada awan agar hujan tidak sampai masuk ibukota. Selain itu, perkembangan awan yang telanjur tumbuh di langit Jakarta terganggu sehingga segera menjadi hujan dalam intensitas ringan.

Awalnya, TMC merupakan sebuah proyek hujan buatan yang kegiatannya dilakukan PT Pertamina pada 1979. Kemudian, proyek tersebut berkembang menjadi PT Hujan Buatan pada medio 1980-an. Teknologi yang ada dalam TMC mulai dikembangkan pada 1985 oleh Deputi Pengkajian Kekayaan Alam BPPT Soebagyo.

Dua tahun dia meneliti teknologi yang dibawa dari Thailand itu agar bisa diterapkan di Indonesia. Sayangnya, pada 1989, Soebagyo meninggal saat sedang melakukan tugasnya di BPPT. Namun, cetak biru TMC yang dia bawa telah ditelurkan. TMC yang kala itu oleh publik disebut hujan buatan tersebut sukses mengurangi kekeringan di sejumlah daerah saat musim kemarau.

Menjelang akhir dekade 1990-an, tim BPPT mulai mengkaji kemungkinan penerapan TMC untuk mengatur curah hujan kala musim penghujan. Penelitian pun dilakukan di Semarang. Cara kerja TMC cukup sederhana. Yakni, menyemai awan dengan menggunakan garam yang disebar dari pesawat terbang.
Butiran-butiran garam superhalus berukuran 20-30 mikron disemai ke dua jenis awan. Yakni, awan yang masih tipis dan awan yang mulai menggumpal. Saat garam disemai ke awan yang baru tumbuh, bahan itu akan menyerap uap air dan membentuk butir-butir halus yang berlaku sebagai pesaing bagi butir-butir awan yang ada. Hal itu disebut mekanisme komposisi.

Sedangkan, pada awan yang telanjur tebal, garam berfungsi menyerap uap air agar segera turun menjadi hujan sebelum ketebalannya bertambah. Hal itu dilakukan saat awan mulai tampak hendak masuk ke wilayah Jakarta.

Hasilnya, hujan di luar Jakarta, namun dalam curah yang tidak potensial banjir. “Dosisnya 100-200 kilogram NaCL untuk satu gumpalan awan,” terang Kepala UPT Hujan Buatan BPPT Florentinus Heru Widodo.

Jadi, lima ton garam itu bisa untuk menyemai sedikitnya 25 gumpal awan. Dosis tersebut berlaku umum, baik awan yang sudah tebal maupun yang belum lama terbentuk.

Sayangnya, teknologi tersebut masih cukup mahal. Sekitar 50 persen biaya dialokasikan untuk keperluan operasi pesawat yang hendak menyemai garam.
Kelemahannya, penyemaian awan tidak bisa dilakukan malam hari. BPPT belum memiliki teknologi yang mumpuni untuk itu. Jadi, penyemaian awan hanya dilakukan pagi hingga sore.

Meski begitu, hal tersebut tidak menyurutkan langkah BPPT untuk menerapkan teknologi itu pada banjir Jakarta 2002. Pada 2002, TMC mulai diterapkan untuk mengatasi cuaca ekstrem di ibu kota. “Tapi, penerapannya hanya berlangsung lima hari. Setelah itu, berhenti,” tutur Heru.

Rupanya, saat itu tekanan media massa kepada BPPT sangat besar. Proyek TMC dianggap memindahkan bencana dari Jakarta ke daerah lain. Padahal, kenyataannya tidak begitu. TMC yang hanya diterapkan lima hari itu justru sukses membuat Jakarta yang sehari-hari mendung di musim penghujan menjadi terlihat langitnya. Selain itu, debit air sungai yang mengalir ke Jakarta turun.

Kemudian, pada SEA Games 2011, TMC dipercaya Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin untuk mengamankan kegiatan SEA Games dari kemungkinan cuaca buruk. Hasilnya, kerja tim TMC selama satu bulan sejak sebelum pelaksanaan SEA Games hingga setelahnya sukses besar.

Kesuksesan itulah yang membuat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo tertarik. Pascabanjir 17 Januari lalu, BNPB meminta BPPT menerapkan TMC untuk Jakarta. Beberapa hari kemudian, Jokowi juga mengajukan permintaan yang sama.
Tidak tanggung-tanggung, mereka meminta agar TMC diterapkan dua bulan, hingga pertengahan Maret. “Kami sudah siapkan dana Rp13 miliar untuk operasional,” terang Kepala BNPB Syamsul Ma’arif.

Dengan bantuan satu unit pesawat Hercules plus empat Cassa, penyemaian awan kemarin terbilang sukses. Sejumlah besar gumpalan awan yang tadinya menyelimuti kawasan Lanud Halim Perdanakusuma perlahan menghilang sekitar pukul 16.00 WIB.

Saat bersamaan, tidak ada laporan terjadi hujan dalam intensitas besar di Jakarta dan sekitarnya. “Teknologi ini bisa mengurangi curah hujan minimal 30 persen,” kata Marzan Iskandar.

Hal itu dimungkinkan karena penyemaian awan dilakukan secara simultan di 25 titik. Sebagai perbandingan, hujan di Palembang pada pembukaan SEA Games 2011 berkurang hingga 80 persen. Padahal, saat itu TMC hanya menyemai awan di lima titik.

Pihaknya yakin, TMC karya anak bangsa itu akan bisa banyak berperan pada masa mendatang. Boleh dikata, TMC adalah pawang hujan yang menggunakan teknologi. “Kita bisa mengatur kapan hujan dan berapa curah hujan yang bakal diturunkan di suatu lokasi,” lanjutnya.
Heru meyakini hal yang sama dengan Marzan. Dia mengatakan, di sejumlah negara maju, TMC digunakan saat perhelatan acara kenegaraan. Tujuannya, cuaca buruk tidak sampai mengganggu acara. (*)

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) ‘Pawang Hujan’ Andalan BPPT

Hujan buatan lazimnya digunakan untuk mengatasi kekeringan atau kebakaran hutan selama musim kemarau. Namun, metode tersebut kini justru diterapkan untuk mencegah banjir Jakarta. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menggunakan metode yang dinamai teknologi modifikasi cuaca (TMC) itu.

Bayu Putra, Jakarta

DERU mesin pesawat C-130 Hercules milik TNI-AU di Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Sabtu (26/1) menandai dimulainya upaya rekayasa cuaca secara besar-besaran di Jakarta dan sekitarnya. Pesawat Hercules tipe short body itu kemudian ditarik ke arah gudang penyimpanan di salah satu sudut Lanud Halim Perdanakusuma.

REKAYASA: Aktivitas  pesawat C-130 Hercules milik TNI-AU saat ingin merekayasa cuaca.//Bayu Putra/jawa pos/jpnn
REKAYASA: Aktivitas di pesawat C-130 Hercules milik TNI-AU saat ingin merekayasa cuaca.//Bayu Putra/jawa pos/jpnn

Beberapa saat kemudian, sebuah forklift datang membawa 250 kantong berisi bubuk halus berwarna putih dengan berat 20 kilogram per kantong. Kantong-kantong itu lalu dimasukkan lewat bagian belakang pesawat. Karena banyaknya jumlah kantong, forklift harus bolak-balik hingga tiga kali dari gudang yang berjarak sekitar seratus meter dari tempat parkir Hercules.

Bubuk tersebut merupakan kunci utama dalam upaya rekayasa cuaca. Bubuk putih nan halus itu adalah natrium klorida (NaCl) atau yang lebih dikenal dengan sebutan garam. Bubuk garam tersebut sangat halus seperti tepung. Setelah seluruh garam yang berat totalnya lima ton itu terangkut, Hercules bersiap mengudara dengan membawa 21 penumpang, termasuk kru pesawat.

Sopir bus bandara yang membawa rombongan wartawan segera menjauh dari pesawat. “Nanti kena panasnya mesin pesawat, bisa berbahaya,” ujarnya.
Dia kemudian mengambil posisi di kiri pesawat. Setelah itu, wartawan diizinkan untuk mengambil gambar dari dalam bus yang kacanya terbuka.

Pukul 13.37 WIB, Hercules sukses mengudara di ketinggian 10.000 kaki. Penerbangan siang itu memang menunggu konfirmasi dari tim pemantau yang tersebar di sejumlah titik. Mereka menunggu awan berkumpul, setelah itu pesawat mengudara. Sebab, target utama dari kegiatan itu memang awan.
“TMC merupakan teknologi untuk mengintervensi cuaca. Bentuknya berupa redistribusi curah hujan,” ujar Kepala BPPT Marzan A Iskandar.

Redistribusi itu dilakukan dengan memberikan perlakuan kepada awan agar hujan tidak sampai masuk ibukota. Selain itu, perkembangan awan yang telanjur tumbuh di langit Jakarta terganggu sehingga segera menjadi hujan dalam intensitas ringan.

Awalnya, TMC merupakan sebuah proyek hujan buatan yang kegiatannya dilakukan PT Pertamina pada 1979. Kemudian, proyek tersebut berkembang menjadi PT Hujan Buatan pada medio 1980-an. Teknologi yang ada dalam TMC mulai dikembangkan pada 1985 oleh Deputi Pengkajian Kekayaan Alam BPPT Soebagyo.

Dua tahun dia meneliti teknologi yang dibawa dari Thailand itu agar bisa diterapkan di Indonesia. Sayangnya, pada 1989, Soebagyo meninggal saat sedang melakukan tugasnya di BPPT. Namun, cetak biru TMC yang dia bawa telah ditelurkan. TMC yang kala itu oleh publik disebut hujan buatan tersebut sukses mengurangi kekeringan di sejumlah daerah saat musim kemarau.

Menjelang akhir dekade 1990-an, tim BPPT mulai mengkaji kemungkinan penerapan TMC untuk mengatur curah hujan kala musim penghujan. Penelitian pun dilakukan di Semarang. Cara kerja TMC cukup sederhana. Yakni, menyemai awan dengan menggunakan garam yang disebar dari pesawat terbang.
Butiran-butiran garam superhalus berukuran 20-30 mikron disemai ke dua jenis awan. Yakni, awan yang masih tipis dan awan yang mulai menggumpal. Saat garam disemai ke awan yang baru tumbuh, bahan itu akan menyerap uap air dan membentuk butir-butir halus yang berlaku sebagai pesaing bagi butir-butir awan yang ada. Hal itu disebut mekanisme komposisi.

Sedangkan, pada awan yang telanjur tebal, garam berfungsi menyerap uap air agar segera turun menjadi hujan sebelum ketebalannya bertambah. Hal itu dilakukan saat awan mulai tampak hendak masuk ke wilayah Jakarta.

Hasilnya, hujan di luar Jakarta, namun dalam curah yang tidak potensial banjir. “Dosisnya 100-200 kilogram NaCL untuk satu gumpalan awan,” terang Kepala UPT Hujan Buatan BPPT Florentinus Heru Widodo.

Jadi, lima ton garam itu bisa untuk menyemai sedikitnya 25 gumpal awan. Dosis tersebut berlaku umum, baik awan yang sudah tebal maupun yang belum lama terbentuk.

Sayangnya, teknologi tersebut masih cukup mahal. Sekitar 50 persen biaya dialokasikan untuk keperluan operasi pesawat yang hendak menyemai garam.
Kelemahannya, penyemaian awan tidak bisa dilakukan malam hari. BPPT belum memiliki teknologi yang mumpuni untuk itu. Jadi, penyemaian awan hanya dilakukan pagi hingga sore.

Meski begitu, hal tersebut tidak menyurutkan langkah BPPT untuk menerapkan teknologi itu pada banjir Jakarta 2002. Pada 2002, TMC mulai diterapkan untuk mengatasi cuaca ekstrem di ibu kota. “Tapi, penerapannya hanya berlangsung lima hari. Setelah itu, berhenti,” tutur Heru.

Rupanya, saat itu tekanan media massa kepada BPPT sangat besar. Proyek TMC dianggap memindahkan bencana dari Jakarta ke daerah lain. Padahal, kenyataannya tidak begitu. TMC yang hanya diterapkan lima hari itu justru sukses membuat Jakarta yang sehari-hari mendung di musim penghujan menjadi terlihat langitnya. Selain itu, debit air sungai yang mengalir ke Jakarta turun.

Kemudian, pada SEA Games 2011, TMC dipercaya Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin untuk mengamankan kegiatan SEA Games dari kemungkinan cuaca buruk. Hasilnya, kerja tim TMC selama satu bulan sejak sebelum pelaksanaan SEA Games hingga setelahnya sukses besar.

Kesuksesan itulah yang membuat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo tertarik. Pascabanjir 17 Januari lalu, BNPB meminta BPPT menerapkan TMC untuk Jakarta. Beberapa hari kemudian, Jokowi juga mengajukan permintaan yang sama.
Tidak tanggung-tanggung, mereka meminta agar TMC diterapkan dua bulan, hingga pertengahan Maret. “Kami sudah siapkan dana Rp13 miliar untuk operasional,” terang Kepala BNPB Syamsul Ma’arif.

Dengan bantuan satu unit pesawat Hercules plus empat Cassa, penyemaian awan kemarin terbilang sukses. Sejumlah besar gumpalan awan yang tadinya menyelimuti kawasan Lanud Halim Perdanakusuma perlahan menghilang sekitar pukul 16.00 WIB.

Saat bersamaan, tidak ada laporan terjadi hujan dalam intensitas besar di Jakarta dan sekitarnya. “Teknologi ini bisa mengurangi curah hujan minimal 30 persen,” kata Marzan Iskandar.

Hal itu dimungkinkan karena penyemaian awan dilakukan secara simultan di 25 titik. Sebagai perbandingan, hujan di Palembang pada pembukaan SEA Games 2011 berkurang hingga 80 persen. Padahal, saat itu TMC hanya menyemai awan di lima titik.

Pihaknya yakin, TMC karya anak bangsa itu akan bisa banyak berperan pada masa mendatang. Boleh dikata, TMC adalah pawang hujan yang menggunakan teknologi. “Kita bisa mengatur kapan hujan dan berapa curah hujan yang bakal diturunkan di suatu lokasi,” lanjutnya.
Heru meyakini hal yang sama dengan Marzan. Dia mengatakan, di sejumlah negara maju, TMC digunakan saat perhelatan acara kenegaraan. Tujuannya, cuaca buruk tidak sampai mengganggu acara. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/