28 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

Syamsul Suap Pemeriksa BPK dan Bawasda Provsu

Pengakuan Buyung di Pengadilan Tipikor

JAKARTA-Mantan pemegang kas Pemkab Langkat Buyung Ritonga, kemarin (28/3) dihadirkan sebagai saksi perkara dugaan korupsi APBD Langkat 2000-2007 dengan terdakwa Gubernur Sumut nonaktif Syamsul Arifin. Dalam keterangannya, Buyung lebih banyak menyudutkan posisi Syamsul. Pria kelahiran 1960 itu mengaku sering mengeluarkan uang kas yang menyalahi aturan atas perintah Syamsul.

Ketua majelis hakim pengadilan tipikor Tjokorda Rai Suamba menanyakan sejak kapan Syamsul memerintahkan pengeluaran kas yang tidak dianggarkan di APBD. Buyung menjawab, sejak tahun 2000. Pertama kali Syamsul minta Rp70 juta. Cek dikeluarkan hanya diteken dua orang, yaitu Syamsul dan Buyung sendiri.

Padahal, mestinya diteken lima pejabat, yakni bupati, wabup, sekda, bendahara, dan kabag keuangan
Hanya saja, tiga pejabat  yang lain itu tak sudi meneken cek pengeluaran uang yang menyalahi aturan. Meski wabup, sekda, dan kabag keuangan tak mau teken, kata Buyung, Syamsul tetap memerintahkan pengeluaran uang.
”Kata Pak bupati, ‘kalau nggak mau, ya sudah, kau buat saja’. Jadi, akhirnya saya saja yang paraf,” ujar Buyung, yang kini sudah menjadi tersangka di Kejatisu untuk kasus yang sama. Dia mengatakan, semua pengeluaran atas perintah Syamsul itu, dia catat di buku agenda pribadi.

Ditanya berapa persisnya total pengeluaran yang diperintahkan Syamsul sejak 2000-2007, Buyung mengaku lupa. “Saya lupa, karena terlalu banyak,” ujarnya. Syamsul sendiri tampak serius memandangi Buyung saat memberikan keterangan.

Ketua JPU Chaterina Girsang lantas membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Buyung saat dimintai keterangan penyidik KPK. Di situ disebutkan secara rinci pengeluaran atas perintah Syamsul. Setiap itemnya dibenarkan Buyung. “Benar Bu, benar Bu,” ujar Buyung berulang-ulang.

Lantaran banyak kebocoran, Buyung juga membeberkan modus manipulasi laporan keuangan, dengan melakukan cincai-cincai dengan aparat pemeriksa, baik Bawasda Provinsi maupun BPK. Setiap dilakukan pemeriksaan oleh Bawasda Provinsi dan BPK, selalu saja diredam dengan ‘uang damai’.

“Dibuat rekayasa, negosiasi antara kami dengan pengawas. Bupati, kabag keuangan, termasuk saya. Apabila pengawas mengakhiri audit, mereka minta rekening koran, lalu kami adakan pertemuan-pertemuan agar tidak minta rekening koran, tapi cukup dengan baki dari Bank Sumut Cabang Stabat,” ujar Buyung.

Ide siapa cincai-cincai itu? Buyung lagi-lagi menyebut nama Syamsul. “Saya lapor, pengawas masuk, ketekoran banyak, lantas  bupati memerintahkan, ‘buat baki saja’,” kata Buyung.

Lantaran pemeriksaan bisa ‘diatasi’, Syamsul terus-terusan meminta pengeluaran yang menyalahi aturan. Dampaknya, ketekoran kas bertambah terus. “Ketekoran masih besar karena pengeluaran-pengeluaran tetap dilaksanakan. Akhirnya ketahuan di akhir 2007, seperti hasil audit investigasi BPK,” kata Buyung.

Hakim menanyakan untuk apa uang yang diminta Syamsul itu, Buyung menjawab tidak tahu-menahu. “Saya tak pernah menanyakan ke Pak Syamsul. Saya langsung jalankan perintah saja,” ujarnya.

Hakim Tjokorda yang terkenal galak dengan enteng menimpali. “Kenapa turuti saja perintah terdakwa? Karena pimpinan? Takut digeser pula kan? Kalau tak jadi bendahara, persoalan juga kan?” cetus Tjokorda. Buyung tidak bereaksi.

Dalam sidang kemarin, JPU berkali-kali mengajukan pertanyaan mengenai mekanisme pengeluaran uang yang menyalahi aturan. Namun, Tjokorda tidak sreg dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. “Yang paling tahu ya terdakwa dan saksi (Syamsul dan Buyung, Red). Biarkan mereka  nanti ribut, biarkan mereka berdebat,” kata Tjokorda dengan nada tinggi.

Selang beberapa saat, Syamsul diberi kesempatan menanggapi keterangan Buyung. Hanya saja, Syamsul tidak berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan ke Buyung. “Keterangan saudara saksi ini saya bantah. Saya pikir sudah cukup,” ujar Syamsul singkat. Tjokorda berkomentar. “Oooo..ndak nanya?” kata Tjokorda.

Usai klarifikasi bukti-bukti di meja hakim, Syamsul diberi kesempatan bicara lagi. Syamsul tetap tak banyak komentar. “Banyak yang tidak benar. Misalnya masalah transfer-transfer, tidak semua uang dari kas atau pemerintah, tapi banyak juga yang uang saya,” kata Syamsul.

Sikap Syamsul yang tak banyak mengomentari Buyung itu bertolak-belakang dengan pernyataannya pada sidang 21 Maret 2011. Saat itu, Syamsul mengaku dirinya pernah diancam Buyung. “Buyung mengancam,” ujarnya.  Hanya saja, saat itu kalimatnya sulit dipahami.

Usai sidang 21 Maret itu, wartawan minta penegasan maksud ancaman itu. “Pernah ada ancaman Buyung ke saya melalui Surya. Dia akan  hancurkan saya,” kata Syamsul singkat. Rupanya, Syamsul kemarin tidak berani memanfaatkan waktu yang disediakan kepadanya untuk menanyakan soal ‘ancaman’ itu langsung ke Buyung.
Selain Buyung, tiga mantan orang dekat Syamsul juga dimintai keterangan sebagai saksi. Yakni dua mantan ajudan, Amril dan Danny Setiawan, serta Tukiman, yang bekerja di kediaman Syamsul.

Ketiganya menjelaskan mengenai modus eksekusi penyerahan uang, baik dari Syamsul ke pihak lain, maupun dari pihak lain ke Syamsul.

Dalam sidang kemarin, Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar Akbar Tandjung ikut duduk di deretan kursi pengunjung, ditemani wakil bupati Tapteng terpilih, Syukran Tandjung. Saat Syamsul minta izin ke toilet, dengan sigap Akbar ikut keluar ruangan.

Keduanya pun bertemu di toilet gedung pengadilan tipikor. Kepada wartawan, Akbar mengaku sengaja datang untuk memberikan dukungan moril. Alasannya, Syamsul merupakan gubernur dari Golkar. Alasan lain, sama-sama asal Sumut. Akbar mengaku mengingatkan Syamsul agar tetap kuat. “Saya bilang ke dia, supaya kau kuat, jaga kesehatan, banyak berdoa. Lantas dia jawab, ‘iya bang’, gitu aja,” ujar Akbar. (sam)

Pengakuan Buyung di Pengadilan Tipikor

JAKARTA-Mantan pemegang kas Pemkab Langkat Buyung Ritonga, kemarin (28/3) dihadirkan sebagai saksi perkara dugaan korupsi APBD Langkat 2000-2007 dengan terdakwa Gubernur Sumut nonaktif Syamsul Arifin. Dalam keterangannya, Buyung lebih banyak menyudutkan posisi Syamsul. Pria kelahiran 1960 itu mengaku sering mengeluarkan uang kas yang menyalahi aturan atas perintah Syamsul.

Ketua majelis hakim pengadilan tipikor Tjokorda Rai Suamba menanyakan sejak kapan Syamsul memerintahkan pengeluaran kas yang tidak dianggarkan di APBD. Buyung menjawab, sejak tahun 2000. Pertama kali Syamsul minta Rp70 juta. Cek dikeluarkan hanya diteken dua orang, yaitu Syamsul dan Buyung sendiri.

Padahal, mestinya diteken lima pejabat, yakni bupati, wabup, sekda, bendahara, dan kabag keuangan
Hanya saja, tiga pejabat  yang lain itu tak sudi meneken cek pengeluaran uang yang menyalahi aturan. Meski wabup, sekda, dan kabag keuangan tak mau teken, kata Buyung, Syamsul tetap memerintahkan pengeluaran uang.
”Kata Pak bupati, ‘kalau nggak mau, ya sudah, kau buat saja’. Jadi, akhirnya saya saja yang paraf,” ujar Buyung, yang kini sudah menjadi tersangka di Kejatisu untuk kasus yang sama. Dia mengatakan, semua pengeluaran atas perintah Syamsul itu, dia catat di buku agenda pribadi.

Ditanya berapa persisnya total pengeluaran yang diperintahkan Syamsul sejak 2000-2007, Buyung mengaku lupa. “Saya lupa, karena terlalu banyak,” ujarnya. Syamsul sendiri tampak serius memandangi Buyung saat memberikan keterangan.

Ketua JPU Chaterina Girsang lantas membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Buyung saat dimintai keterangan penyidik KPK. Di situ disebutkan secara rinci pengeluaran atas perintah Syamsul. Setiap itemnya dibenarkan Buyung. “Benar Bu, benar Bu,” ujar Buyung berulang-ulang.

Lantaran banyak kebocoran, Buyung juga membeberkan modus manipulasi laporan keuangan, dengan melakukan cincai-cincai dengan aparat pemeriksa, baik Bawasda Provinsi maupun BPK. Setiap dilakukan pemeriksaan oleh Bawasda Provinsi dan BPK, selalu saja diredam dengan ‘uang damai’.

“Dibuat rekayasa, negosiasi antara kami dengan pengawas. Bupati, kabag keuangan, termasuk saya. Apabila pengawas mengakhiri audit, mereka minta rekening koran, lalu kami adakan pertemuan-pertemuan agar tidak minta rekening koran, tapi cukup dengan baki dari Bank Sumut Cabang Stabat,” ujar Buyung.

Ide siapa cincai-cincai itu? Buyung lagi-lagi menyebut nama Syamsul. “Saya lapor, pengawas masuk, ketekoran banyak, lantas  bupati memerintahkan, ‘buat baki saja’,” kata Buyung.

Lantaran pemeriksaan bisa ‘diatasi’, Syamsul terus-terusan meminta pengeluaran yang menyalahi aturan. Dampaknya, ketekoran kas bertambah terus. “Ketekoran masih besar karena pengeluaran-pengeluaran tetap dilaksanakan. Akhirnya ketahuan di akhir 2007, seperti hasil audit investigasi BPK,” kata Buyung.

Hakim menanyakan untuk apa uang yang diminta Syamsul itu, Buyung menjawab tidak tahu-menahu. “Saya tak pernah menanyakan ke Pak Syamsul. Saya langsung jalankan perintah saja,” ujarnya.

Hakim Tjokorda yang terkenal galak dengan enteng menimpali. “Kenapa turuti saja perintah terdakwa? Karena pimpinan? Takut digeser pula kan? Kalau tak jadi bendahara, persoalan juga kan?” cetus Tjokorda. Buyung tidak bereaksi.

Dalam sidang kemarin, JPU berkali-kali mengajukan pertanyaan mengenai mekanisme pengeluaran uang yang menyalahi aturan. Namun, Tjokorda tidak sreg dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. “Yang paling tahu ya terdakwa dan saksi (Syamsul dan Buyung, Red). Biarkan mereka  nanti ribut, biarkan mereka berdebat,” kata Tjokorda dengan nada tinggi.

Selang beberapa saat, Syamsul diberi kesempatan menanggapi keterangan Buyung. Hanya saja, Syamsul tidak berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan ke Buyung. “Keterangan saudara saksi ini saya bantah. Saya pikir sudah cukup,” ujar Syamsul singkat. Tjokorda berkomentar. “Oooo..ndak nanya?” kata Tjokorda.

Usai klarifikasi bukti-bukti di meja hakim, Syamsul diberi kesempatan bicara lagi. Syamsul tetap tak banyak komentar. “Banyak yang tidak benar. Misalnya masalah transfer-transfer, tidak semua uang dari kas atau pemerintah, tapi banyak juga yang uang saya,” kata Syamsul.

Sikap Syamsul yang tak banyak mengomentari Buyung itu bertolak-belakang dengan pernyataannya pada sidang 21 Maret 2011. Saat itu, Syamsul mengaku dirinya pernah diancam Buyung. “Buyung mengancam,” ujarnya.  Hanya saja, saat itu kalimatnya sulit dipahami.

Usai sidang 21 Maret itu, wartawan minta penegasan maksud ancaman itu. “Pernah ada ancaman Buyung ke saya melalui Surya. Dia akan  hancurkan saya,” kata Syamsul singkat. Rupanya, Syamsul kemarin tidak berani memanfaatkan waktu yang disediakan kepadanya untuk menanyakan soal ‘ancaman’ itu langsung ke Buyung.
Selain Buyung, tiga mantan orang dekat Syamsul juga dimintai keterangan sebagai saksi. Yakni dua mantan ajudan, Amril dan Danny Setiawan, serta Tukiman, yang bekerja di kediaman Syamsul.

Ketiganya menjelaskan mengenai modus eksekusi penyerahan uang, baik dari Syamsul ke pihak lain, maupun dari pihak lain ke Syamsul.

Dalam sidang kemarin, Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar Akbar Tandjung ikut duduk di deretan kursi pengunjung, ditemani wakil bupati Tapteng terpilih, Syukran Tandjung. Saat Syamsul minta izin ke toilet, dengan sigap Akbar ikut keluar ruangan.

Keduanya pun bertemu di toilet gedung pengadilan tipikor. Kepada wartawan, Akbar mengaku sengaja datang untuk memberikan dukungan moril. Alasannya, Syamsul merupakan gubernur dari Golkar. Alasan lain, sama-sama asal Sumut. Akbar mengaku mengingatkan Syamsul agar tetap kuat. “Saya bilang ke dia, supaya kau kuat, jaga kesehatan, banyak berdoa. Lantas dia jawab, ‘iya bang’, gitu aja,” ujar Akbar. (sam)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/