26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

7 Penganiaya Dimas Dipecat

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sebanyak tujuh pelaku penganiayaan taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran yang mengakibatkan salah satu korbannya meninggal dunia, Dimas Dikita Handoko (18), resmi dipecat.

Suasana duka pemakaman Dimas Dikita Handoko (20) salah seorang siswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jalan Taman Makam Pahlawan Medan Belawan, Sabtu (26/4) malam.
Suasana duka pemakaman Dimas Dikita Handoko (20) salah seorang siswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jalan Taman Makam Pahlawan Medan Belawan, Sabtu (26/4) malam.

Kepala STIP Rudiana Mukhlis memastikan hal itu. Para pelaku itu yakni Angga, Fachry, dan Adnan yang menghajar Dimas hingga tewas. Empat pelaku lain, yakni Satria, Widi, Dewa, dan Arief, yang menghajar Marvin Jonatan, Sidik Permana, Deni Hutabarat, Fahrurozi Siregar, Arief Permana, dan Imanza Marpaung.

Dalam konpres yang juga diikuti Kepala BPSDM Kemenhub Santoso Edi Wibowo dan Jubir Kemenhub JA Barata itu, tidak banyak hal baru yang disampaikan Rudiana. Dia hanya menceritakan, memang para pelaku tergolong mahasiswa bandel dan pernah dijatuhi sanksi. Namun, menurutnya, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pelaku sebelumnya masih tergolong ringan. “Misalnya terlambat bangun pagi. Itu pelanggaran ringan,” ujar Rudiana , Senin (28/4).

Penganiyaan yang dilakukan mahasiswa STIP hingga menewaskan Dimas sangat jauh dari cita-cita dunia pendidikan. Bahkan, mantan penjahat kelas kakap, Anton Medan, menyebutkan tingkah mahasiswa yang dilakukan terhadap juniornya, apalagi satu daerah asal, sudah persis dengan gaya preman.

Anton Medan, menilai, aksi kekerasan yang dilakukan tujuh mahasiswa STIP Marunda, Jakarta Utara, asal Medan itu bukan semata-mata dipicu arogansi senior kepada juniornya. Ada unsur premanisme dalam peristiwa tersebut.

Menurut pemilik nama asli Tan Hok Liang yang kini menjadi penceramah kondang itu, ada sejumlah faktor lain yang disinyalir ikut mendorong Angga dkk bertindak brutal kepada Dimas Dikita Handoko dan enam rekan seangkatannya.

Anton, yang sudah lama berkiprah di kawasan Jakarta Utara hingga kini itu, mengatakan, suasana Marunda yang ‘panas’ ikut membentuk mental preman di kalangan warga yang ada di sana, termasuk para mahasiswa yang kos di sekitar kampus.

“Marunda itu daerah panas. Para perantau dari daerah-daerah panas kumpul di situ. Makassar, Batak, Banten, di situ banyak sekali. Aksi kekerasan cukup sering terjadi di situ. Daerahnya padat, panas. Cuaca juga panas, daerah pantai, pelabuhan,” ujar Anton Medan kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin (28/4).

Anton Medan hingga kini masih sering blusukan di daerah Marunda dan sekitarnya. Di daerah berhawa ‘panas’ itu, pria kelahiran Tebingtinggi, 10 Oktober 1957, itu punya 1.400-an anak binaan, yang sebagian mantan preman dan pengguna narkoba. Sebagian dari mereka dibina di pondok pesantren.

Lantas, apa perlu kampus STIP dipindah lantaran aksi kekerasan bukan kali ini saja? Pria yang sepanjang hidupnya 14 kali keluar masuk penjara itu mengatakan, tidak mungkin kampus dipindah karena sekolah pelayaran memang harus dekat laut.

Yang perlu dilakukan, lanjutnya, perlu diefektifkan peran tokoh agama di sana. “Termasuk di titik-titik yang banyak anak-anak kosnya. Misal seminggu sekali ada pencerahan dari tokoh agama, biar adem,” sarannya.

Dia juga menduga, kemungkinan ada faktor balas dendam Angga dkk terhadap Dimas cs. “Bisa jadi, saat semasa masih SMA di Medan, antarsekolah mereka pernah terjadi tawuran pelajar. Nah, di STIP itu dijadikan ajang balas dendam,” ujarnya.

Kemungkinan terakhir, memang Angga dkk sudah punya mental menjadi preman. Begitu dia menjadi Ketua Mahasiswa STIP asal Medan, maka dia memamerkan kekuasaannya. “Dia unjuk gigi sebagai penguasa ala preman. Mereka itu bukan mahasiswa, bukan intelektual, tapi preman,” tegas Anton.

Berawal dari Ruang Makan

Di sisi lain, kemarin Jajaran Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Utara menggelar pra rekonstruksi terkait kasus tewasnya Dimas Dikita Handoko. Reka ulang yang digelar di Kampus STIP, Senin (28/4), sempat menjadi perhatian para mahasiswa di sana. Namun, mereka kemudian meninggalkan lokasi saat reka ulang berlangsung.

Pra reka ulang itu diawali di ruang makan bersama pada Jumat (26/4) malam. Di sinilah diduga perencanaan oknum senior terhadap korban dimulai. “Mereka duduk di meja ini Pak. Angga (tersangka) duduk di tengah. Di sampingnya ada beberapa mahasiswa tingkat II lainnya. Sidik (salah korban rekan seangkatan Marvin), sudah lebih dulu ada di situ, baru kemudian saya dipanggil,” ujar Marvin terbata-bata sambil menunjuk sebuah meja makan berkapasitas sepuluh tempat duduk.

Ruang makan itu setiap harinya menampung seribu taruna, gedung pertama sebelah kiri begitu melewati gedung administrasi STIP, sebelum memasuki barak atau asrama mahasiswa. Marvin yang terlihat masih mengenakan seragam pasien rumah sakit berwarna abu-abu, kemudian menjelaskan, pada saat itu ia bersama Sidik Permana, dibriefing para seniornya yang dipimpin Angga, Senin (21/4) lalu. Marvin disuruh mengumpulkan 14 mahasiswa tingkat I asal Sumatera Utara dan harus datang ke rumah kos milik Ibu Ros Boru Siagian, di Jalan Kebon Baru Blok R Gang II Nomor 29, RT 17 RW 12 Kelurahan Semper Barat, Cilincing, pada Jumat selepas kegiatan kampus.

Merasa cukup dengan penjelasan tersebut, Kasat Reskrim Polres Jakarta Utara, AKBP Daddy Hartadi, kemudian mempersilahkan Marvin meninggalkan ruangan guna memeroleh perawatan lebih lanjut. Dua petugas STIP langsung membawanya, tanpa memberi kesempatan wartawan mengajukan pertanyaan kepada Marvin.

“Kita lakukan pra rekonstruksi dengan salah satu korban saudara M, yang mana pada Senin (21/4) pukul 19.30 WIB, korban bersama dua rekan satu angkatannya dipanggil taruna tingkat II ke meja makan. Di situ diberi arahan dan perintah mereka bertiga sebagai perwakilan tim Medan, menghadap ke tempat kos (tempat kejadian perkara) pada Jumat (25/4) selepas pesiar,” ujar AKBP Daddy Hartadi.

Dalam perintah tersebut, Angga Cs kata Daddy, memerintahkan agar 14 orang mahasiswa tingkat I asal Medan datang. Namun ternyata pada hari kejadian, hanya 7 orang yang dapat hadir. Salah satunya almarhum Dimas.

“Hasil penyelidikan sementara berdasarkan keterangan pelaku dan korban, salah satu penyebab pembinaan yang berlebihan, karena tidak lengkapnya taruna yang harusnya 14 orang. Pembinaan sering dilakukan. Baik itu bersifat arahan, nasehat dan petunjuk kehidupan ketarunaan di STIP. Namun karena dianggap beberapa kesalahan (mahasiswa tingkat I), terjadi hal yang tidak diinginkan,” katanya.

Alasan lain, penganiayaan juga dilakukan karena para taruna tingkat I tidak respek, tidak hormat, tidak loyal. Bahkan banyak yang tidak mengenali senior dan tidak kompak.

“Pemeriksaan masih terus kita dalami. Termasuk kemungkinan pemeriksaan terhadap mahasiswa Tingkat IV, masih akan kita lakukan secara marathon. Hasil otopsi memerlihatkan penyebab kematian pecahnya pembuluh darah yang ada pada batang otak, tengkorak belakang. Berdasarkan pemeriksaan saksi dan tersangka, almarhum Dimas berada tepat di belakang tembok. Sehingga ketika dipukul otomatis terkena benturan tembok berkali-kali. Itu menggunakan tangan kosong,” katanya.

Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Pembinaan Mental, Moral dan Kesamaptaan STIP Jakarta, Budi Purnomo, membantah terdapat pengelompokan mahasiswa berdasarkan daerah asal. Bahkan untuk menguatkan pendapatnya, Budi dengan tegas menyatakan mahasiswa yang ketahuan membawa sifat-sifat kedaerahan, akan dikenakan sanksi.

“Di sini (STIP) tertib. Apabila taruna membawa sifat kedaerahan, akan dikenakan sanksi. Kami kurang tahu bagaimana mereka mengartikan kedaerahan di dalam kampus,” ujarnya.

Selain sanksi, di dalam barak (asrama) kata Budi, para taruna juga menempati tempat tidur secara acak sesuai tingkatan dan di pisah antar tingkatan. Bahkan masing-masing barak diberi pagar pembatas dan diawasi instruktur.

“Untuk tingkat satu itu jumlah tarunanya mencapai 550 orang. Untuk yang berasal dari Sumut saya tidak tahu jumlahnya, karena belum tentu juga dia lahir dan besar di sana. Bisa juga besar di Jakarta. Total mahasiswa di sini ada sekitar 1.500 orang lebih,” katanya.

Meski membantah, Budi mengakui di dalam kampus STIP terdapat pelibatan senior dalam pembinaan para junior. Khususnya pada malam hari usai makan malam. Langkah pembinaan menurutnya untuk meningkatkan kemampuan dan pengusaan ilmu.

“Di sini mungkin terjadi interaksi dalam pemberian pengetahuan dari senior ke junior. Tentu kita tidak mungkin terlalu mengawasi itu. Ternyata itu dimanfaatkan oknum untuk hal-hal seperti itu (pembinaan kebablasan). Waktu belajar malam itu dari usai salat Maghrib sampai Pukul 20.30 WIB dari Senin sampai Kamis. Itu diawasi pihak kampus. Kan tidak mungkin junior dipanggil (senior), tiba-tiba kita dekati. Itu pasti mereka akan pura-pura buka buku. Kita juga mengalami keterbatasan untuk mengawasi,” katanya.

Saat disinggung 2008 lalu korban mahasiswa yang tewas dianiaya senior juga berdarah Sumatera Utara, Budi meminta media tidak menggenaralisir apa yang terjadi.

“Kalau 2008 kita harus bedakan. Dulu di dalam, sekarang di luar. Jadi pengawaasan di dalam sudah begitu kuat, jadi mempersempit wilayah. Saya kurang tahu bagaimana suatu daerah menafsirkan karakternya. Jadi kita tidak bisa mengeneralisir. Tapi kebetulan berasal dari satu daerah yang sama,” katanya.

Data yang diperoleh dari salah seorang instruktur yang tidak ingin namanya disebutkan, total instruktur yang ada hanya 25 orang. Masing-masing 17 orang diperbantukan dari Brimob dan Pol Air, 5 orang TNI Angkatan Laut dan sisanya pensiunan TNI. Selain dari para dosen, juga terdapat 15 instruktur. Mereka bekerja dengan pembagian tugas kerja 24 jam dan libur sehari, secara bergantian.

“Mungkin sudah waktunya mahasiswa yang nge-kost di luar kampus pada Sabtu-Minggu, itu diawasi juga. Kita tentu siap melakukan pengawasan. Asalkan ada tunjangan. Tapi memang kalau dibanding jumlah mahasiswa dengan instruktur, sangat tidak sebanding. Tapi kalau di dalam kampus itu sudah tidak ada kekerasan,” kata pria yang telah enam tahun berdinas sebagai instruktur di STIP.(tom/rbb)

Di SMA, Angga Tak Macam-macam

Keluarga Angga, mahasiswa STIP yang menjadi aktor utama tewasnya Dimas Dikita Handoko kini hanya bisa pasrah dan berdoa. Meski begitu, masih ada harapan bagi mereka kalau Angga tidak terlibat.

“Kami sampai saat ini belum mendengar pasti karena kami dengar Rangga, yang jelas anak kami namanya Angga,” kata Ida, orangtua Angga, saat ditemui di Jalan Cibadak, Gang 9, Kecamatan Medan Belawan, kemarin.

Ida yang berprofesi guru ini mengaku sudah berusaha mencari kabar yang sebenarnya. Dia terus berusaha menelepon pakde (paman) dari anaknya yang selama mengurus keperluan Angga sekolah pelayaran.

“Saya sudah coba telepon ke Jakarta tapi belum ada kabar,” ungkap ibu dua anak ini.

Ida pun kini hanya bias berdoa dan berharap agar Angga yang dimaksud dalam pemberitaan bukanlah anaknya. “Semoga anak saya tidak terlibat dan dapat mencapaikan cita-citanya,” beber Ida.

Menurut Ida, selama anaknya berangkat pendidikan pelayaran, hanya 2 kali pulang dan tidak ada bertingkah aneh. Bahkan, anaknya yang sudah duduk di semester 4 atau tingkat 2 itu tak pernah berprilaku kasar. “Anak saya itu dari sekolah dulu tak pernah buat macam-macam atau bermasalah, kalau memang dia terlibat saya tak menyangka. Yang jelas sampai hari ini kami belum dapat kabar, makanya saya masih menunggu,” ungkap Ida.

Saat diwawancarai Posmetro Medan (Sumut Pos Grup)  Ida tampak tegang. Bahkan dia terkesan enggan memberikan pernyataan. “Kami pastikan dulu. Kami saja belum dapat kabar. Memang seminggu lalu anak saya ada telepon, tapi itu tentang kesehatan, dia baik saja. Kami tak mau bicara yang belum jelas, apalagi di televisi dibilang Rangga, sedangkan anak kami Angga,” kata Ida dengan tegang.

Terpisah, para tetangga juga tak menyangka kalau Angga menjadi penganiaya hingga menewaskan Dimas Dikita Handoko. “Kami lihat masa SMA dulu dia baik dan tak pernah macam-macam atau gabung dengan orang-orang yang sering ribut. Bahkan, kegiatannya hanya main internet. Kalau dia kami tak percaya,” ungkap para tetangga yang ditemui di lingkungan rumahnya. (ril/smg/rbb)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sebanyak tujuh pelaku penganiayaan taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran yang mengakibatkan salah satu korbannya meninggal dunia, Dimas Dikita Handoko (18), resmi dipecat.

Suasana duka pemakaman Dimas Dikita Handoko (20) salah seorang siswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jalan Taman Makam Pahlawan Medan Belawan, Sabtu (26/4) malam.
Suasana duka pemakaman Dimas Dikita Handoko (20) salah seorang siswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jalan Taman Makam Pahlawan Medan Belawan, Sabtu (26/4) malam.

Kepala STIP Rudiana Mukhlis memastikan hal itu. Para pelaku itu yakni Angga, Fachry, dan Adnan yang menghajar Dimas hingga tewas. Empat pelaku lain, yakni Satria, Widi, Dewa, dan Arief, yang menghajar Marvin Jonatan, Sidik Permana, Deni Hutabarat, Fahrurozi Siregar, Arief Permana, dan Imanza Marpaung.

Dalam konpres yang juga diikuti Kepala BPSDM Kemenhub Santoso Edi Wibowo dan Jubir Kemenhub JA Barata itu, tidak banyak hal baru yang disampaikan Rudiana. Dia hanya menceritakan, memang para pelaku tergolong mahasiswa bandel dan pernah dijatuhi sanksi. Namun, menurutnya, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pelaku sebelumnya masih tergolong ringan. “Misalnya terlambat bangun pagi. Itu pelanggaran ringan,” ujar Rudiana , Senin (28/4).

Penganiyaan yang dilakukan mahasiswa STIP hingga menewaskan Dimas sangat jauh dari cita-cita dunia pendidikan. Bahkan, mantan penjahat kelas kakap, Anton Medan, menyebutkan tingkah mahasiswa yang dilakukan terhadap juniornya, apalagi satu daerah asal, sudah persis dengan gaya preman.

Anton Medan, menilai, aksi kekerasan yang dilakukan tujuh mahasiswa STIP Marunda, Jakarta Utara, asal Medan itu bukan semata-mata dipicu arogansi senior kepada juniornya. Ada unsur premanisme dalam peristiwa tersebut.

Menurut pemilik nama asli Tan Hok Liang yang kini menjadi penceramah kondang itu, ada sejumlah faktor lain yang disinyalir ikut mendorong Angga dkk bertindak brutal kepada Dimas Dikita Handoko dan enam rekan seangkatannya.

Anton, yang sudah lama berkiprah di kawasan Jakarta Utara hingga kini itu, mengatakan, suasana Marunda yang ‘panas’ ikut membentuk mental preman di kalangan warga yang ada di sana, termasuk para mahasiswa yang kos di sekitar kampus.

“Marunda itu daerah panas. Para perantau dari daerah-daerah panas kumpul di situ. Makassar, Batak, Banten, di situ banyak sekali. Aksi kekerasan cukup sering terjadi di situ. Daerahnya padat, panas. Cuaca juga panas, daerah pantai, pelabuhan,” ujar Anton Medan kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin (28/4).

Anton Medan hingga kini masih sering blusukan di daerah Marunda dan sekitarnya. Di daerah berhawa ‘panas’ itu, pria kelahiran Tebingtinggi, 10 Oktober 1957, itu punya 1.400-an anak binaan, yang sebagian mantan preman dan pengguna narkoba. Sebagian dari mereka dibina di pondok pesantren.

Lantas, apa perlu kampus STIP dipindah lantaran aksi kekerasan bukan kali ini saja? Pria yang sepanjang hidupnya 14 kali keluar masuk penjara itu mengatakan, tidak mungkin kampus dipindah karena sekolah pelayaran memang harus dekat laut.

Yang perlu dilakukan, lanjutnya, perlu diefektifkan peran tokoh agama di sana. “Termasuk di titik-titik yang banyak anak-anak kosnya. Misal seminggu sekali ada pencerahan dari tokoh agama, biar adem,” sarannya.

Dia juga menduga, kemungkinan ada faktor balas dendam Angga dkk terhadap Dimas cs. “Bisa jadi, saat semasa masih SMA di Medan, antarsekolah mereka pernah terjadi tawuran pelajar. Nah, di STIP itu dijadikan ajang balas dendam,” ujarnya.

Kemungkinan terakhir, memang Angga dkk sudah punya mental menjadi preman. Begitu dia menjadi Ketua Mahasiswa STIP asal Medan, maka dia memamerkan kekuasaannya. “Dia unjuk gigi sebagai penguasa ala preman. Mereka itu bukan mahasiswa, bukan intelektual, tapi preman,” tegas Anton.

Berawal dari Ruang Makan

Di sisi lain, kemarin Jajaran Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Utara menggelar pra rekonstruksi terkait kasus tewasnya Dimas Dikita Handoko. Reka ulang yang digelar di Kampus STIP, Senin (28/4), sempat menjadi perhatian para mahasiswa di sana. Namun, mereka kemudian meninggalkan lokasi saat reka ulang berlangsung.

Pra reka ulang itu diawali di ruang makan bersama pada Jumat (26/4) malam. Di sinilah diduga perencanaan oknum senior terhadap korban dimulai. “Mereka duduk di meja ini Pak. Angga (tersangka) duduk di tengah. Di sampingnya ada beberapa mahasiswa tingkat II lainnya. Sidik (salah korban rekan seangkatan Marvin), sudah lebih dulu ada di situ, baru kemudian saya dipanggil,” ujar Marvin terbata-bata sambil menunjuk sebuah meja makan berkapasitas sepuluh tempat duduk.

Ruang makan itu setiap harinya menampung seribu taruna, gedung pertama sebelah kiri begitu melewati gedung administrasi STIP, sebelum memasuki barak atau asrama mahasiswa. Marvin yang terlihat masih mengenakan seragam pasien rumah sakit berwarna abu-abu, kemudian menjelaskan, pada saat itu ia bersama Sidik Permana, dibriefing para seniornya yang dipimpin Angga, Senin (21/4) lalu. Marvin disuruh mengumpulkan 14 mahasiswa tingkat I asal Sumatera Utara dan harus datang ke rumah kos milik Ibu Ros Boru Siagian, di Jalan Kebon Baru Blok R Gang II Nomor 29, RT 17 RW 12 Kelurahan Semper Barat, Cilincing, pada Jumat selepas kegiatan kampus.

Merasa cukup dengan penjelasan tersebut, Kasat Reskrim Polres Jakarta Utara, AKBP Daddy Hartadi, kemudian mempersilahkan Marvin meninggalkan ruangan guna memeroleh perawatan lebih lanjut. Dua petugas STIP langsung membawanya, tanpa memberi kesempatan wartawan mengajukan pertanyaan kepada Marvin.

“Kita lakukan pra rekonstruksi dengan salah satu korban saudara M, yang mana pada Senin (21/4) pukul 19.30 WIB, korban bersama dua rekan satu angkatannya dipanggil taruna tingkat II ke meja makan. Di situ diberi arahan dan perintah mereka bertiga sebagai perwakilan tim Medan, menghadap ke tempat kos (tempat kejadian perkara) pada Jumat (25/4) selepas pesiar,” ujar AKBP Daddy Hartadi.

Dalam perintah tersebut, Angga Cs kata Daddy, memerintahkan agar 14 orang mahasiswa tingkat I asal Medan datang. Namun ternyata pada hari kejadian, hanya 7 orang yang dapat hadir. Salah satunya almarhum Dimas.

“Hasil penyelidikan sementara berdasarkan keterangan pelaku dan korban, salah satu penyebab pembinaan yang berlebihan, karena tidak lengkapnya taruna yang harusnya 14 orang. Pembinaan sering dilakukan. Baik itu bersifat arahan, nasehat dan petunjuk kehidupan ketarunaan di STIP. Namun karena dianggap beberapa kesalahan (mahasiswa tingkat I), terjadi hal yang tidak diinginkan,” katanya.

Alasan lain, penganiayaan juga dilakukan karena para taruna tingkat I tidak respek, tidak hormat, tidak loyal. Bahkan banyak yang tidak mengenali senior dan tidak kompak.

“Pemeriksaan masih terus kita dalami. Termasuk kemungkinan pemeriksaan terhadap mahasiswa Tingkat IV, masih akan kita lakukan secara marathon. Hasil otopsi memerlihatkan penyebab kematian pecahnya pembuluh darah yang ada pada batang otak, tengkorak belakang. Berdasarkan pemeriksaan saksi dan tersangka, almarhum Dimas berada tepat di belakang tembok. Sehingga ketika dipukul otomatis terkena benturan tembok berkali-kali. Itu menggunakan tangan kosong,” katanya.

Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Pembinaan Mental, Moral dan Kesamaptaan STIP Jakarta, Budi Purnomo, membantah terdapat pengelompokan mahasiswa berdasarkan daerah asal. Bahkan untuk menguatkan pendapatnya, Budi dengan tegas menyatakan mahasiswa yang ketahuan membawa sifat-sifat kedaerahan, akan dikenakan sanksi.

“Di sini (STIP) tertib. Apabila taruna membawa sifat kedaerahan, akan dikenakan sanksi. Kami kurang tahu bagaimana mereka mengartikan kedaerahan di dalam kampus,” ujarnya.

Selain sanksi, di dalam barak (asrama) kata Budi, para taruna juga menempati tempat tidur secara acak sesuai tingkatan dan di pisah antar tingkatan. Bahkan masing-masing barak diberi pagar pembatas dan diawasi instruktur.

“Untuk tingkat satu itu jumlah tarunanya mencapai 550 orang. Untuk yang berasal dari Sumut saya tidak tahu jumlahnya, karena belum tentu juga dia lahir dan besar di sana. Bisa juga besar di Jakarta. Total mahasiswa di sini ada sekitar 1.500 orang lebih,” katanya.

Meski membantah, Budi mengakui di dalam kampus STIP terdapat pelibatan senior dalam pembinaan para junior. Khususnya pada malam hari usai makan malam. Langkah pembinaan menurutnya untuk meningkatkan kemampuan dan pengusaan ilmu.

“Di sini mungkin terjadi interaksi dalam pemberian pengetahuan dari senior ke junior. Tentu kita tidak mungkin terlalu mengawasi itu. Ternyata itu dimanfaatkan oknum untuk hal-hal seperti itu (pembinaan kebablasan). Waktu belajar malam itu dari usai salat Maghrib sampai Pukul 20.30 WIB dari Senin sampai Kamis. Itu diawasi pihak kampus. Kan tidak mungkin junior dipanggil (senior), tiba-tiba kita dekati. Itu pasti mereka akan pura-pura buka buku. Kita juga mengalami keterbatasan untuk mengawasi,” katanya.

Saat disinggung 2008 lalu korban mahasiswa yang tewas dianiaya senior juga berdarah Sumatera Utara, Budi meminta media tidak menggenaralisir apa yang terjadi.

“Kalau 2008 kita harus bedakan. Dulu di dalam, sekarang di luar. Jadi pengawaasan di dalam sudah begitu kuat, jadi mempersempit wilayah. Saya kurang tahu bagaimana suatu daerah menafsirkan karakternya. Jadi kita tidak bisa mengeneralisir. Tapi kebetulan berasal dari satu daerah yang sama,” katanya.

Data yang diperoleh dari salah seorang instruktur yang tidak ingin namanya disebutkan, total instruktur yang ada hanya 25 orang. Masing-masing 17 orang diperbantukan dari Brimob dan Pol Air, 5 orang TNI Angkatan Laut dan sisanya pensiunan TNI. Selain dari para dosen, juga terdapat 15 instruktur. Mereka bekerja dengan pembagian tugas kerja 24 jam dan libur sehari, secara bergantian.

“Mungkin sudah waktunya mahasiswa yang nge-kost di luar kampus pada Sabtu-Minggu, itu diawasi juga. Kita tentu siap melakukan pengawasan. Asalkan ada tunjangan. Tapi memang kalau dibanding jumlah mahasiswa dengan instruktur, sangat tidak sebanding. Tapi kalau di dalam kampus itu sudah tidak ada kekerasan,” kata pria yang telah enam tahun berdinas sebagai instruktur di STIP.(tom/rbb)

Di SMA, Angga Tak Macam-macam

Keluarga Angga, mahasiswa STIP yang menjadi aktor utama tewasnya Dimas Dikita Handoko kini hanya bisa pasrah dan berdoa. Meski begitu, masih ada harapan bagi mereka kalau Angga tidak terlibat.

“Kami sampai saat ini belum mendengar pasti karena kami dengar Rangga, yang jelas anak kami namanya Angga,” kata Ida, orangtua Angga, saat ditemui di Jalan Cibadak, Gang 9, Kecamatan Medan Belawan, kemarin.

Ida yang berprofesi guru ini mengaku sudah berusaha mencari kabar yang sebenarnya. Dia terus berusaha menelepon pakde (paman) dari anaknya yang selama mengurus keperluan Angga sekolah pelayaran.

“Saya sudah coba telepon ke Jakarta tapi belum ada kabar,” ungkap ibu dua anak ini.

Ida pun kini hanya bias berdoa dan berharap agar Angga yang dimaksud dalam pemberitaan bukanlah anaknya. “Semoga anak saya tidak terlibat dan dapat mencapaikan cita-citanya,” beber Ida.

Menurut Ida, selama anaknya berangkat pendidikan pelayaran, hanya 2 kali pulang dan tidak ada bertingkah aneh. Bahkan, anaknya yang sudah duduk di semester 4 atau tingkat 2 itu tak pernah berprilaku kasar. “Anak saya itu dari sekolah dulu tak pernah buat macam-macam atau bermasalah, kalau memang dia terlibat saya tak menyangka. Yang jelas sampai hari ini kami belum dapat kabar, makanya saya masih menunggu,” ungkap Ida.

Saat diwawancarai Posmetro Medan (Sumut Pos Grup)  Ida tampak tegang. Bahkan dia terkesan enggan memberikan pernyataan. “Kami pastikan dulu. Kami saja belum dapat kabar. Memang seminggu lalu anak saya ada telepon, tapi itu tentang kesehatan, dia baik saja. Kami tak mau bicara yang belum jelas, apalagi di televisi dibilang Rangga, sedangkan anak kami Angga,” kata Ida dengan tegang.

Terpisah, para tetangga juga tak menyangka kalau Angga menjadi penganiaya hingga menewaskan Dimas Dikita Handoko. “Kami lihat masa SMA dulu dia baik dan tak pernah macam-macam atau gabung dengan orang-orang yang sering ribut. Bahkan, kegiatannya hanya main internet. Kalau dia kami tak percaya,” ungkap para tetangga yang ditemui di lingkungan rumahnya. (ril/smg/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/