MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pasrah dan berdoa. Setidaknya hanya itulah yang saat ini bisa dilakukan keluarga besar Angga, satu dari tiga anak Medan yang jadi tersangka kasus dugaan penganiayaan yang menewaskan junior mereka, Dimas Dikita Handoko (19) di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.
“Yang jelas saat ini kami hanya bisa pasrah dan berdoa, semoga Angga tidak terlibat dalam kasus itu, hingga ia dapat menggapai cita-citanya,” harap Ida, ibu kandung Angga saat ditemui di rumahnya, kawasan Bagan Deli, Kec. Medan Belawan, Senin (28/4) sore.
Meski sudah mendengar kasus tersebut baik dari media massa maupun elektronik, tapi Ida yang terlihat tegang itu masih belum yakin akan keterlibatan putranya. Apalagi, hingga kemarin wanita yang bekerja sebagai guru itu belum mendengar soal keterlibatan Angga, baik dari polisi maupun saudara mereka di Jakarta tempat anaknya tinggal.
“Sampai saat ini kami belum mendengar info pasti. Apalagi di teve kami dengar pelaku bernama Rangga. Padahal, anak kami namanya Angga,” kata Ida sembari menarik nafas panjang.
Dijelaskan ibu tiga anak itu, sejak kasus itu mencuat ke permukaan, mereka sudah berusaha menghubungi saudara mereka di Jakarta yang selama ini mengurus sekolah Angga. Tapi mereka tak juga dapat info akurat. “Saya sudah coba telepon ke Jakarta, tapi belum ada kabar. Yang jelas saat ini saya hanya bisa pasrah dan berdoa, semoga anak saya tidak terlibat,” lirih Ida. Masih kata ibu tiga anak itu, selama jadi taruna di STIP, putranya hanya dua kali pulang ke Medan. Bahkan, sejauh ini ia tak pernah melihat Angga bertingkah aneh.
“Angga sudah duduk di semester 4 atau tingkat 2. Selama ini saya tak pernah melihat dia berprilaku kasar atau aneh. Bahkan dari sekolah dulu ia tak pernah buat macam-macam atau bermasalah. Kalau memang dia terlibat, saya adalah orang pertama yang tak menyangka. Yang jelas sampai hari ini kami belum dapat kabar, makanya saya masih menunggu,” tambahnya sembari terdiam sejenak. Meski kawatir, tapi saat ini pihak keluarga berharap adanya kepastian tentang keterlibatan anaknya.
“Kami harap pastikan dulu, kami ini saja belum dapat kabar, memang seminggu lalu anak saya ada nelpon, tapi itu tentang kesehatan dia baik saja. Kami tak mau bicara yang belum jelas, apalagi di televisi dibilang Rangga, sedangkan anak kami Angga,” tandas Ida yang menolak berkomentar lebih banyak lagi.
Hal senada juga diakui beberapa tetangga Ida. Mereka juga tak menyangka kalau pelaku menewaskan mahasiswa asal Jl. Cibadak, Gang 9, Kec. Medan Belawan itu adalah Angga. Karena setau mereka, Angga adalah anak baik dan tak pernah berprilaku aneh. “Kami lihat masa SMA dulu dia baik dan tak pernah macam – macam atau gabung dengan orang – orang yang sering bikin ribut. Bahkan, kegiatannya hanya main internet. Kalau dia pelakunya, kami juga tak percaya,” ungkap warga.
Sementara itu, memasuki hari ketiga pasca kejadian, keluarga Dimas masih diselimuti duka mendalam, khususnya kedua orangtua korban, Budi Handoko (50) dan Nurgita Harnayanti alias Dora (49). Kepergian sulung dari 3 bersaudara itu hanya meninggalkan kenangan pahit bagi keluarganya. Masih dengan deraian air mata, Dora mengaku sangat kehilangan anaknya. “Kini semua tinggal kenangan. Saya dan suami rencana mau ke Jakarta untuk melihat sekolah Dimas, melihat kosnya dan pakaiannya untuk mengenang kepergiannya,” ungkap Dora sedih.
Dengan berangkat ke Jakarta, harapan Dora dapat bernostalgia melihat semua kenangan yang telah ditinggalkan Dimas semasa pendidikan. “Sekarang saya tak bisa bilang apa – apa lagi, dia telah tiada. Kami hanya bisa berdoa untuknya dan mengharapkan kasus ini dapat segera dituntaskan pihak kepolisian,” kata Dora.
Begitu juga tante almarhum, Rina juga merasa sangat kehilangan keponakan yang selama ini sangat disayanginya. “Selama ini Dimas manja kali sama saya, begitu juga saya sangat sayang dengan dia. Kini dia tidak ada lagi, kami hanya bisa mengirimkan doa pada Dimas dan semoga pelakunya mendapat ganjaran dengan apa yang telah mereka perbuat,” lirih Rina dengan mata berkaca-kaca.
KUMPULKAN 14 MAHASISWA ASAL MEDAN
Raut kesedihan masih membekas di wajah Marvin Jonatan, mahasiswa tingkat I Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Jakarta, yang turut jadi korban penganiayaan tujuh seniornya di rumah kost milik Ibu Ros Boru Siagian, di Jakarta Utara, Jumat (25/4) malam lalu. Kesedihan yang terpancar seakan mampu mengalahkan rasa sakit yang diderita.
Hingga tanpa sadar Marvin terbata-bata menjawab pertanyaan Kasat Reskrim Polres Jakarta Utara, AKBP Daddy Hartadi, yang melakukan pra-rekonstruksi menggali kronologis terjadinya penganiayaan yang menewaskan Dimas Dikita Handoko.
“Mereka duduk di meja ini pak. Angga (tersangka) duduk di tengah. Di sampingnya ada beberapa mahasiswa tingkat II lainnya. Sidik (salah korban rekan seangkatan Marvin), sudah lebih dulu ada di situ, baru kemudian saya dipanggil,” ujarnya menunjuk sebuah meja makan berkapasitas sepuluh tempat duduk, yang terletak di ruang makan yang setiap harinya menampung seribu taruna, gedung pertama sebelah kiri begitu melewati gedung administrasi STIP, sebelum memasuki barak atau asrama mahasiswa.
Marvin yang terlihat masih mengenakan seragam pasien rumah sakit berwarna abu-abu, kemudian menjelaskan, pada saat itu ia bersama Sidik Permana, dibreifing para seniornya yang dipimpin Angga, Senin (21/4) lalu. Namun tidak cukup sampai di situ, Marvin disuruh mengumpulkan 14 mahasiswa tingkat I asal Sumatera Utara dan harus datang ke rumah kost yang terletak di Jl. Kebon Baru Blok R Gang II Nomor 29, RT 17 RW 12, Kel. Semper Barat, Cilincing, pada Jumat selepas kegiatan kampus.
Merasa cukup dengan penjelasan tersebut, Kasat Reskrim Polres Jakarta Utara kemudian memersilahkan Marvin meninggalkan ruangan guna memeroleh perawatan lebih lanjut. Dua petugas STIP langsung membawanya, tanpa memberi kesempatan wartawan mengajukan pertanyaan kepada Marvin.
“Kita lakukan pra rekonstruksi dengan salah satu korban yang mana pada Senin (21/4) pukul 19.30 WIB, korban bersama dua rekan satu angkatannya dipanggil taruna tingkat II ke meja makan. Di situ diberi arahan dan perintah mereka bertiga sebagai perwakilan tim Medan, menghadap ke tempat kost (tempat kejadian perkara) pada Jumat (25/4) selepas pesiar,” ujar AKBP Daddy Hartadi.
Dalam perintah tersebut, Angga Cs kata Daddy, memerintahkan agar 14 orang mahasiswa tingkat I asal Medan datang. Namun ternyata pada hari kejadian, hanya 7 orang yang dapat hadir. Salah satunya almarhum Dimas.
“Hasil penyelidikan sementara berdasarkan keterangan pelaku dan korban, salah satu penyebab pembinaan yang berlebihan, karena tidak lengkapnya taruna yang harusnya 14 orang. Pembinaan sering dilakukan. Baik itu bersifat arahan, nasehat dan petunjuk kehidupan ketarunaan di STIP. Namun karena dianggap beberapa kesalahan (mahasiswa tingkat I), terjadi hal yang tidak diinginkan,” katanya.
Alasan lain, penganiayaan juga dilakukan karena para taruna tingkat I tidak respek, tidak hormat, tidak loyal. Bahkan banyak yang tidak mengenali senior dan tidak kompak. “Pemeriksaan masih terus kita dalami. Termasuk kemungkinan pemeriksaan terhadap mahasiswa Tingkat IV, masih akan kita lakukan secara marathon. Hasil otopsi memerlihatkan penyebab kematian pecahnya pembuluh darah yang ada pada batang otak, tengkorak belakang. Berdasarkan pemeriksaan saksi dan tersangka, almarhum Dimas berada tepat di belakang tembok. Sehingga ketika dipukul otomatis terkena benturan tembok berkali-kali. Itu menggunakan tangan kosong,” katanya.
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Pembinaan Mental, Moral dan Kesamaptaan STIP Jakarta, Budi Purnomo, membantah terdapat pengelompokan mahasiswa berdasarkan daerah asal. Bahkan untuk menguatkan pendapatnya, Budi dengan tegas menyatakan mahasiswa yang ketahuan membawa sifat-sifat kedaerahan, akan dikenakan sanksi.
“Di sini (STIP) tertib. Apabila taruna membawa sifat kedaerahan, akan dikenakan sanksi. Kami kurang tahu bagaimana mereka mengartikan kedaerahan di dalam kampus,” ujarnya. Selain sanksi, di dalam barak (asrama) kata Budi, para taruna juga menempati tempat tidur secara acak sesuai tingkatan dan di pisah antar tingkatan. Bahkan masing-masing barak diberi pagar pembatas dan diawasi instruktur.
“Untuk tingkat satu itu jumlah tarunanya mencapai 550 orang. Untuk yang berasal dari Sumut saya tidak tahu jumlahnya, karena belum tentu juga dia lahir dan besar di sana. Bisa juga besar di Jakarta. Total mahasiswa di sini ada sekitar 1.500 orang lebih,” katanya.
Meski membantah, Budi mengakui di dalam kampus STIP terdapat pelibatan senior dalam pembinaan para junior. Khususnya pada malam hari usai makan malam. Langkah pembinaan menurutnya untuk meningkatkan kemampuan dan pengusaan ilmu. “Di sini mungkin terjadi interaksi dalam pemberian pengetahuan dari senior ke junior. Tentu kita tidak mungkin terlalu mengawasi itu. Ternyata itu dimanfaatkan oknum untuk hal-hal seperti itu (pembinaan kebablasan). Waktu belajar malam itu dari usai sholat Maghrib sampai Pukul 20.30 WIB dari Senin sampai Kamis. Itu diawasi pihak kampus. Kan tidak mungkin junior dipanggil (senior), tiba-tiba kita dekati. Itu pasti mereka akan pura-pura buka buku. Kita juga mengalami keterbatasan untuk mengawasi,” katanya.
Saat disinggung 2008 lalu korban mahasiswa yang tewas dianiaya senior juga berdarah Sumatera Utara, Budi meminta media tidak menggenaralisir apa yang terjadi. “Kalau 2008 kita harus bedakan. Dulu di dalam, sekarang di luar. Jadi pengawaasan di dalam sudah begitu kuat, jadi mempersempit wilayah. Saya kurang tahu bagaimana suatu daerah menafsirkan karakternya. Jadi kita tidak bisa mengeneralisir. Tapi kebetulan berasal dari satu daerah yang sama,” katanya.
Data yang diperoleh dari salah seorang instruktur yang tidak ingin namanya disebutkan, total instruktur yang ada hanya 25 orang. Masing-masing 17 orang diperbantukan dari Brimob dan Pol Air, 5 orang TNI Angkatan Laut dan sisanya pensiunan TNI. Selain dari para dosen, juga terdapat 15 instruktur. Mereka bekerja dengan pembagian tugas kerja 24 jam dan libur sehari, secara bergantian.
“Mungkin sudah waktunya mahasiswa yang nge-kos di luar kampus pada Sabtu-Minggu, itu diawasi juga. Kita tentu siap melakukan pengawasan. Asalkan ada tunjangan. Tapi memang kalau dibanding jumlah mahasiswa dengan instruktur, sangat tidak sebanding. Tapi kalau di dalam kampus itu sudah tidak ada kekerasan,” kata pria yang telah enam tahun berdinas sebagai instruktur di STIP.(ril/gir/deo)