25.1 C
Medan
Tuesday, June 18, 2024

Hasil Survei CSIS Publik Tak Lagi Pedulikan Parpol

JAKARTA- Tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik cenderung terus menurun berdasar hasil riset beberapa lembaga survei. Wakil Ketua MPR Hajriyanto Thohari menyebutkan, makin apatisnya publik itu tidak lepas dari maraknya praktik korupsi.
“Di antara berbagai faktor yang menyebabkan apatis adalah fenomena KKN yang notabene menjadi jargon untuk menumbangkan pemerintahan Orde Baru,” kata Hajriyanto di kompleks parlemen, kemarin (27/5).

Menurut dia, setelah 15 tahun perjalanan reformasi, praktik-praktik KKN tersebut kini justru kembali lagi, namun hanya berubah istilah. Misalnya, kolusi yang kini berganti dengan kongkalikong dan nepotisme yang diganti dengan politik dinasti. “Saya melihat bahwa korupsi, kongkalikong, dan politik dinasti inilah yang membikin publik makin apatis,” tegas ketua DPP Partai Golkar tersebut.
Sebenarnya, kata dia, posisi parpol yang sentral dan strategis membuat ekspektasi publik tinggi.

“Nah, begitu tingginya, ketika ekspektasi tidak terpenuhi, tentu partai akan terbanting ke bawah seperti yang sekarang sedang terjadi,” ujar Hajriyanto.

Bahkan, di beberapa kalangan, apatisme itu sudah menuju pada tingkat sinisme. Menurut Hajriyanto, KKN itu masih ada karena mental feodalisme.

“Akar-akar feodalisme inilah yang harus kita bongkar. Diperlukan kerja-kerja kultural yang sangat panjang,” tegasnya.
Pengamat politik CSIS (Center for Strategic and International Studies) J. Kristiadi mengungkapkan bahwa tingkat apatisme publik sudah mengkhawatirkan. Indikasinya, pada penyelenggaraan beberapa pilkada, tingkat partisipasi publik rendah. Misalnya, dalam pilkada Jabar, Sumatera, dan Kota Palembang.

“Yang menang, jumlahnya kalah dengan yang tidak memilih. Ini mencemaskan,” ungkapnya.
Selain persoalan mental feodalisme, menurut Kristiadi, tatanan demokrasi pasca-Orde Baru juga berpengaruh. Yakni, kekuasaan di tangan rakyat dan untuk menjalankannya diperlukan partai politik. Namun, partai-partai yang tiba-tiba muncul menghadapi persoalan besar.

“Kerumitan yang paling dasar adalah ketika teman-teman di partai masuk ke kekuasaan dan menemukan otoritas. Mereka tidak tahan untuk tidak tergoda menggunakan kekuasaan itu secara menyimpang dari amanah rakyat,” urainya.
Pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin menambahkan, partai seharusnya bisa memisahkan diri dari pemerintahan ketika tokoh yang dijagokan bisa menjadi presiden.

Partai harus berposisi menjadi pengawas, tidak justru mendukung seluruh kebijakan pemerintah.
“Kalau sudah terpilih (menjadi presiden), dia menjadi milik semua. Partai tidak usah rebutan bagi-bagi kue. Logikanya jangan dipisahkan dalam koalisi atau oposisi, parpol harus mandiri,” tegas Irman. (fal/c5/fat/jpnn)

JAKARTA- Tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik cenderung terus menurun berdasar hasil riset beberapa lembaga survei. Wakil Ketua MPR Hajriyanto Thohari menyebutkan, makin apatisnya publik itu tidak lepas dari maraknya praktik korupsi.
“Di antara berbagai faktor yang menyebabkan apatis adalah fenomena KKN yang notabene menjadi jargon untuk menumbangkan pemerintahan Orde Baru,” kata Hajriyanto di kompleks parlemen, kemarin (27/5).

Menurut dia, setelah 15 tahun perjalanan reformasi, praktik-praktik KKN tersebut kini justru kembali lagi, namun hanya berubah istilah. Misalnya, kolusi yang kini berganti dengan kongkalikong dan nepotisme yang diganti dengan politik dinasti. “Saya melihat bahwa korupsi, kongkalikong, dan politik dinasti inilah yang membikin publik makin apatis,” tegas ketua DPP Partai Golkar tersebut.
Sebenarnya, kata dia, posisi parpol yang sentral dan strategis membuat ekspektasi publik tinggi.

“Nah, begitu tingginya, ketika ekspektasi tidak terpenuhi, tentu partai akan terbanting ke bawah seperti yang sekarang sedang terjadi,” ujar Hajriyanto.

Bahkan, di beberapa kalangan, apatisme itu sudah menuju pada tingkat sinisme. Menurut Hajriyanto, KKN itu masih ada karena mental feodalisme.

“Akar-akar feodalisme inilah yang harus kita bongkar. Diperlukan kerja-kerja kultural yang sangat panjang,” tegasnya.
Pengamat politik CSIS (Center for Strategic and International Studies) J. Kristiadi mengungkapkan bahwa tingkat apatisme publik sudah mengkhawatirkan. Indikasinya, pada penyelenggaraan beberapa pilkada, tingkat partisipasi publik rendah. Misalnya, dalam pilkada Jabar, Sumatera, dan Kota Palembang.

“Yang menang, jumlahnya kalah dengan yang tidak memilih. Ini mencemaskan,” ungkapnya.
Selain persoalan mental feodalisme, menurut Kristiadi, tatanan demokrasi pasca-Orde Baru juga berpengaruh. Yakni, kekuasaan di tangan rakyat dan untuk menjalankannya diperlukan partai politik. Namun, partai-partai yang tiba-tiba muncul menghadapi persoalan besar.

“Kerumitan yang paling dasar adalah ketika teman-teman di partai masuk ke kekuasaan dan menemukan otoritas. Mereka tidak tahan untuk tidak tergoda menggunakan kekuasaan itu secara menyimpang dari amanah rakyat,” urainya.
Pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin menambahkan, partai seharusnya bisa memisahkan diri dari pemerintahan ketika tokoh yang dijagokan bisa menjadi presiden.

Partai harus berposisi menjadi pengawas, tidak justru mendukung seluruh kebijakan pemerintah.
“Kalau sudah terpilih (menjadi presiden), dia menjadi milik semua. Partai tidak usah rebutan bagi-bagi kue. Logikanya jangan dipisahkan dalam koalisi atau oposisi, parpol harus mandiri,” tegas Irman. (fal/c5/fat/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/