25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Korupsi Proyek APBD Bakal Lebih Menjamur

Mustafa Ramli/Jawa Pos/jpnn TURUN: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuruni anak tangga usai membacakan Pidato Kenegaraan RAPBN 2015, Jumat (15/8) lalu di Gedung Parlemen di Jakarta. Sikap SBY terhadap pengesahan RUU Pilkda terus menuai polemik. merupakan pidato terakhir masa pemerintahan SBY dan akan dilanjutkan pada presiden terpilih hasil Pemilu 2014....F/
Mustafa Ramli/Jawa Pos/jpnn
TURUN: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuruni anak tangga usai membacakan Pidato Kenegaraan RAPBN 2015, Jumat (15/8) lalu di Gedung Parlemen di Jakarta. Sikap SBY terhadap pengesahan RUU Pilkda terus menuai polemik.

SUMUTPOS.CO- Pengesahan RUU Pilkada di parlemen beberapa waktu lalu memang telah mengundang protes luas sejumlah kalangan. Mulai muncul dorongan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan UU tersebut dengan mengeluarkan dekrit presiden. Sikap SBY tak tegas pun dipercaya meninggalkan bom waktu untuk Indonesia.

JAKARTA- “Demi kepentingan masyarakat Indonesia dan sebagai bentuk keberpihakan kepada masyarakat maka Presiden bisa saja menggunakan wewenangnya untuk menyelamatkan demokrasi ini,” kata Ketua Koordinator Bidang Politik Rumah Koalisi Indonesia Hebat (RKIH) Toto Suryawan Sukarno Putra, di Jakarta, kemarin.

Menurut dia, presiden memiliki alasan yang kuat mengeluarkan dekrit. Pasalnya, UU Pilkada yang sudah disahkan tersebut sangat berpengaruh dengan kehidupan berdemokasi di Indonesia. Selain itu, tambah dia, sebagian warga Indonesia juga telah jelas-jelas tidak setuju ketika pilkada dilaksanakan melalui DPRD.

“Presiden harus menyelamatkan kekacauan demokrasi saat ini dan ke depan nanti, karena sudah tercium adanya sandiwara politik yang dilakukan oleh segelintir orang untuk kepentingan kelompok maupun organisasi,” imbuhnya.

Dia menambahkan, masyarakat saat ini sudah cerdas. Publik, tambah dia, tidak lagi bisa dibohongi dan tahu pihak-pihak mana saja yang menjadi biang keladi dibalik keinginan mengembalikan pilkada ke DPRD. “Sambil menunggu inisiatif presiden mengeluarkan dekrit, kami juga akan melakukan Judicial Review,” tegasnya.

Di pihak lain, politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo mengingatkan agar pihak-pihak yang tidak setuju pilkada dilaksanakan tak langsung, terus membawa-bawa nama rakyat. Apalagi, lanjut dia, menjual nama rakyat hanya karena keinginannya kandas.

“Jangan seolah-olah semua rakyat itu berada dibelakangnya. Memangnya semua rakyat mendukung pilkada langsung? Dan, apakah yg mendukung Pilkada lewat DPRD itu bukan rakyat?”  Ada-ada saja,” sindir Bambang Soesatyo.

Wakil bendahara umum DPP Golkar itu juga mengritik sikap SBY yang seakan-akan melahirkan ketidakpastian lewat sejumlah pernyataannya. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, lanjut dia, SBY sebaiknya berhenti bermain kata-kata. “Presiden SBY jangan meninggalkan bom waktu, dia harus memperjelas dan mempertegas sikapnya atas RUU Pilkada yang telah disahkan oleh rapat paripurna DPR beberapa hari lalu,” tegasnya.

Menurut dia, ada yang aneh kalau SBY menolak RUU Pilkada itu. Dia menyatakan, presiden sendiri yang menandatangani ampres atas RUU Pilkada tersebut tiga tahun lalu. Saat itu, draf pemerintah adalah pilkada lewat DPRD. “Kenapa pula saat partainya, yaitu Partai Demokrat membela pemerintah yang mengusulkan pilkada melalui DPRD itu dengan mati-matian, (SBY) malah meradang dan mengumbar perasaan,” kritiknya.

Dia menambahkan, pernyataan SBY di Amerika Serikat yang menyatakan berat menandatangani UU Pilkada karena memiliki opsi pilkada langsung dengan perbaikan, hanyalah retorika. “Itu hanya permainan kata-kata, semua juga paham bahwa tidak ada pengaruhnya dia tanda tangan atau tidak. Dalam UU jelas, jika presiden tidak tanda tangan, otomatis dalam waktu satu bulan UU tersebut berlaku,” beber anggota Komisi III DPR itu.

Bawaslu Masih Punya Andil
Sementara itu, mekanisme pemilihan lewat DPRD tidak menghalangi upaya Badan Pengawas Pemilu melakukan pengawasan. Ketua Bawaslu Muhammad menyatakan jika pihaknya akan tetap melakukan proses pengawasan, meski prosesnya terbatas.

“Sepanjang proses, tahapan itu melibatkan publik, misalnya pencalonan, Bawaslu akan hadir di situ,” ujar Muhammad di Jakarta, kemarin.

Menurut Muhammad, ada pasal-pasal persinggungan yang memberikan kewenangan pada Bawaslu dan pengawas pemilu untuk melakukan pengawasan. Pengawasan itu tentu tidak sekomprehensif ketika pemilu langsung terjadi. “Jadi prinsipnya Bawaslu siap menjalankan UU, walaupun peran pengawasan ada beberapa koreksi di situ,” ujarnya.

Muhammad mencontohkan, kehadiran Bawaslu bisa saja saat dilakukan uji publik. Calon yang berkompetisi, mulai dari track recordnya, akan diawasi oleh Bawaslu. “Jadi Undang Undang Penyelenggara Pemilu tidak serta merta tumpul dengan adanya Undang Undang Pilkada ini,” ujarnya.

Konsekuensi pilkada DPRD, kata Muhammad, juga akan berpengaruh di internal Bawaslu. Pengawasan lapangan yang terbatas, tentu akan berkonsekuensi di sejumlah pengurangan pos anggaran Bawaslu. “Akan ada efisiensi, rasionalisasi, karena kemenkeu juga sudah memberikan sinyal itu,” tandasnya.

Muhammad menambahkan, dalam aturan UU Pilkada, memang tidak disebutkan peran Bawaslu dalam pengawasan pilkada DPRD. Namun, Bawaslu berinisiatif akan masuk dalam pengawasan itu. Posisi itu juga sudah disampaikan Bawaslu kepada Komisi II DPR.

“Jadi tidak lantas (pilkada DPRD) mengatakan Badan Pengawas Pemilu itu hilang. Nggak, walaupun perannya memang beda,” ujarnya.

Namun, Muhammad menambahkan, dengan mekanisme itu, peran Bawaslu memang membutuhkan aturan tambahan. Dalam hal ini, Bawaslu menunggu aturan pelaksana yang nantinya akan diatur oleh pemerintah. “Kita lihat nanti PPnya seperti apa diatur,” tegasnya.

Posisi penyelenggara pemilu dalam pilkada DPRD memang dilematis. Peran Komisi Pemilihan Umum maupun Bawaslu nyaris terabaikan dalam pilkada DPRD. KPU kemungkinan hanya berperan aktif dalam seleksi calon. Selebihnya, dalam proses penetapan, pemilihan, hingga terpilihnya calon menjadi ranah DPRD.

Korupsi Menjamur
Di sisi lain, pilkada lewat DPRD diprediksi bakal membuat korupsi proyek yang bersumber pada APBD tumbuh subur. Pasalnya kepala daerah terpilih akan memiliki ‘utang budi’ pada partai politik legislatif yang memilihnya.

Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso menyebutkan dari fakta persidangan selama ini terungkap adanya modus kongkalikong antara pihak eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif terkait proyek-proyek yang dibiayai APBD.

“Sehingga tak mengherankan jika banyak juga anggota DPRD yang akhirnya tersangkut korupsi dan berlanjut pada pencucian uang,” ujar Agus dalam perbincangan dengan Jawa Pos (grup Sumut Pos).

Oleh karena itu jika pemilihan kepala daerah lewat DPRD, maka proses rektrutmen kepala daerah harus ketat. Penilaian integritas calon kepala daerah harus nomer satu. “Mengingat yang mereka pilih ini pimpinan daerah. Kalau kepala daerah itu korup, maka birokrasi yang dipimpinnya juga akan rusak,” ujar Agus.

Selain itu Agus menilai proses demokrasi juga akan tercoreng, khususnya delegitimasi terhadap kepala daerah itu sendiri. Kewenangan yang seringkali dijadikan modus korupsi oleh kepala daerah antara lain markup pengadaan barang atau jasa, mark down penerimaan daerah, dan suap berbagai perizinan.

Bidang-bidang yang sangat rentan terjadinya korupsi ialah kehutanan, perkebunan, dan minerba. Penyalagunaan kewenangan itu bisa berjalan mulus jika terjadi kongkalikong dengan legislatif. Saat ini PPATK telah menyerahkan sekitar 20 laporan hasil analisis atau LHA.

Laporan itu berisi analisa transaksi mencurigakan yang melibatkan legislator incumbent yang terindikasi korupsi dan melakukan pencucian uang. Laporan tersebut telah diserahkan PPATK ke KPK. Dari LHA itulah KPK biasanya melakukan pendalaman dan membuka penyelidikan.   (gun/dyn/bay/jpnn/rbb)

Mustafa Ramli/Jawa Pos/jpnn TURUN: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuruni anak tangga usai membacakan Pidato Kenegaraan RAPBN 2015, Jumat (15/8) lalu di Gedung Parlemen di Jakarta. Sikap SBY terhadap pengesahan RUU Pilkda terus menuai polemik. merupakan pidato terakhir masa pemerintahan SBY dan akan dilanjutkan pada presiden terpilih hasil Pemilu 2014....F/
Mustafa Ramli/Jawa Pos/jpnn
TURUN: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuruni anak tangga usai membacakan Pidato Kenegaraan RAPBN 2015, Jumat (15/8) lalu di Gedung Parlemen di Jakarta. Sikap SBY terhadap pengesahan RUU Pilkda terus menuai polemik.

SUMUTPOS.CO- Pengesahan RUU Pilkada di parlemen beberapa waktu lalu memang telah mengundang protes luas sejumlah kalangan. Mulai muncul dorongan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan UU tersebut dengan mengeluarkan dekrit presiden. Sikap SBY tak tegas pun dipercaya meninggalkan bom waktu untuk Indonesia.

JAKARTA- “Demi kepentingan masyarakat Indonesia dan sebagai bentuk keberpihakan kepada masyarakat maka Presiden bisa saja menggunakan wewenangnya untuk menyelamatkan demokrasi ini,” kata Ketua Koordinator Bidang Politik Rumah Koalisi Indonesia Hebat (RKIH) Toto Suryawan Sukarno Putra, di Jakarta, kemarin.

Menurut dia, presiden memiliki alasan yang kuat mengeluarkan dekrit. Pasalnya, UU Pilkada yang sudah disahkan tersebut sangat berpengaruh dengan kehidupan berdemokasi di Indonesia. Selain itu, tambah dia, sebagian warga Indonesia juga telah jelas-jelas tidak setuju ketika pilkada dilaksanakan melalui DPRD.

“Presiden harus menyelamatkan kekacauan demokrasi saat ini dan ke depan nanti, karena sudah tercium adanya sandiwara politik yang dilakukan oleh segelintir orang untuk kepentingan kelompok maupun organisasi,” imbuhnya.

Dia menambahkan, masyarakat saat ini sudah cerdas. Publik, tambah dia, tidak lagi bisa dibohongi dan tahu pihak-pihak mana saja yang menjadi biang keladi dibalik keinginan mengembalikan pilkada ke DPRD. “Sambil menunggu inisiatif presiden mengeluarkan dekrit, kami juga akan melakukan Judicial Review,” tegasnya.

Di pihak lain, politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo mengingatkan agar pihak-pihak yang tidak setuju pilkada dilaksanakan tak langsung, terus membawa-bawa nama rakyat. Apalagi, lanjut dia, menjual nama rakyat hanya karena keinginannya kandas.

“Jangan seolah-olah semua rakyat itu berada dibelakangnya. Memangnya semua rakyat mendukung pilkada langsung? Dan, apakah yg mendukung Pilkada lewat DPRD itu bukan rakyat?”  Ada-ada saja,” sindir Bambang Soesatyo.

Wakil bendahara umum DPP Golkar itu juga mengritik sikap SBY yang seakan-akan melahirkan ketidakpastian lewat sejumlah pernyataannya. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, lanjut dia, SBY sebaiknya berhenti bermain kata-kata. “Presiden SBY jangan meninggalkan bom waktu, dia harus memperjelas dan mempertegas sikapnya atas RUU Pilkada yang telah disahkan oleh rapat paripurna DPR beberapa hari lalu,” tegasnya.

Menurut dia, ada yang aneh kalau SBY menolak RUU Pilkada itu. Dia menyatakan, presiden sendiri yang menandatangani ampres atas RUU Pilkada tersebut tiga tahun lalu. Saat itu, draf pemerintah adalah pilkada lewat DPRD. “Kenapa pula saat partainya, yaitu Partai Demokrat membela pemerintah yang mengusulkan pilkada melalui DPRD itu dengan mati-matian, (SBY) malah meradang dan mengumbar perasaan,” kritiknya.

Dia menambahkan, pernyataan SBY di Amerika Serikat yang menyatakan berat menandatangani UU Pilkada karena memiliki opsi pilkada langsung dengan perbaikan, hanyalah retorika. “Itu hanya permainan kata-kata, semua juga paham bahwa tidak ada pengaruhnya dia tanda tangan atau tidak. Dalam UU jelas, jika presiden tidak tanda tangan, otomatis dalam waktu satu bulan UU tersebut berlaku,” beber anggota Komisi III DPR itu.

Bawaslu Masih Punya Andil
Sementara itu, mekanisme pemilihan lewat DPRD tidak menghalangi upaya Badan Pengawas Pemilu melakukan pengawasan. Ketua Bawaslu Muhammad menyatakan jika pihaknya akan tetap melakukan proses pengawasan, meski prosesnya terbatas.

“Sepanjang proses, tahapan itu melibatkan publik, misalnya pencalonan, Bawaslu akan hadir di situ,” ujar Muhammad di Jakarta, kemarin.

Menurut Muhammad, ada pasal-pasal persinggungan yang memberikan kewenangan pada Bawaslu dan pengawas pemilu untuk melakukan pengawasan. Pengawasan itu tentu tidak sekomprehensif ketika pemilu langsung terjadi. “Jadi prinsipnya Bawaslu siap menjalankan UU, walaupun peran pengawasan ada beberapa koreksi di situ,” ujarnya.

Muhammad mencontohkan, kehadiran Bawaslu bisa saja saat dilakukan uji publik. Calon yang berkompetisi, mulai dari track recordnya, akan diawasi oleh Bawaslu. “Jadi Undang Undang Penyelenggara Pemilu tidak serta merta tumpul dengan adanya Undang Undang Pilkada ini,” ujarnya.

Konsekuensi pilkada DPRD, kata Muhammad, juga akan berpengaruh di internal Bawaslu. Pengawasan lapangan yang terbatas, tentu akan berkonsekuensi di sejumlah pengurangan pos anggaran Bawaslu. “Akan ada efisiensi, rasionalisasi, karena kemenkeu juga sudah memberikan sinyal itu,” tandasnya.

Muhammad menambahkan, dalam aturan UU Pilkada, memang tidak disebutkan peran Bawaslu dalam pengawasan pilkada DPRD. Namun, Bawaslu berinisiatif akan masuk dalam pengawasan itu. Posisi itu juga sudah disampaikan Bawaslu kepada Komisi II DPR.

“Jadi tidak lantas (pilkada DPRD) mengatakan Badan Pengawas Pemilu itu hilang. Nggak, walaupun perannya memang beda,” ujarnya.

Namun, Muhammad menambahkan, dengan mekanisme itu, peran Bawaslu memang membutuhkan aturan tambahan. Dalam hal ini, Bawaslu menunggu aturan pelaksana yang nantinya akan diatur oleh pemerintah. “Kita lihat nanti PPnya seperti apa diatur,” tegasnya.

Posisi penyelenggara pemilu dalam pilkada DPRD memang dilematis. Peran Komisi Pemilihan Umum maupun Bawaslu nyaris terabaikan dalam pilkada DPRD. KPU kemungkinan hanya berperan aktif dalam seleksi calon. Selebihnya, dalam proses penetapan, pemilihan, hingga terpilihnya calon menjadi ranah DPRD.

Korupsi Menjamur
Di sisi lain, pilkada lewat DPRD diprediksi bakal membuat korupsi proyek yang bersumber pada APBD tumbuh subur. Pasalnya kepala daerah terpilih akan memiliki ‘utang budi’ pada partai politik legislatif yang memilihnya.

Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso menyebutkan dari fakta persidangan selama ini terungkap adanya modus kongkalikong antara pihak eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif terkait proyek-proyek yang dibiayai APBD.

“Sehingga tak mengherankan jika banyak juga anggota DPRD yang akhirnya tersangkut korupsi dan berlanjut pada pencucian uang,” ujar Agus dalam perbincangan dengan Jawa Pos (grup Sumut Pos).

Oleh karena itu jika pemilihan kepala daerah lewat DPRD, maka proses rektrutmen kepala daerah harus ketat. Penilaian integritas calon kepala daerah harus nomer satu. “Mengingat yang mereka pilih ini pimpinan daerah. Kalau kepala daerah itu korup, maka birokrasi yang dipimpinnya juga akan rusak,” ujar Agus.

Selain itu Agus menilai proses demokrasi juga akan tercoreng, khususnya delegitimasi terhadap kepala daerah itu sendiri. Kewenangan yang seringkali dijadikan modus korupsi oleh kepala daerah antara lain markup pengadaan barang atau jasa, mark down penerimaan daerah, dan suap berbagai perizinan.

Bidang-bidang yang sangat rentan terjadinya korupsi ialah kehutanan, perkebunan, dan minerba. Penyalagunaan kewenangan itu bisa berjalan mulus jika terjadi kongkalikong dengan legislatif. Saat ini PPATK telah menyerahkan sekitar 20 laporan hasil analisis atau LHA.

Laporan itu berisi analisa transaksi mencurigakan yang melibatkan legislator incumbent yang terindikasi korupsi dan melakukan pencucian uang. Laporan tersebut telah diserahkan PPATK ke KPK. Dari LHA itulah KPK biasanya melakukan pendalaman dan membuka penyelidikan.   (gun/dyn/bay/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/