JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Teka-teki pengganti Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa terjawab, kemarin (28/11) sore. Laksamana TNI Yudo Margono yang saat ini bertugas sebagai Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), menjadi pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menduduki posisi teratas di institusi militer tanah air.
Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan hal itu saat mengumumkan isi surat presiden (Surpres) bersama Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno. Surpres berisi nama calon pengganti Jenderal Andika itu diserahkan Pratikno kepada Puan di komplek parlemen, Senayan secara langsung. “Kami telah menerima surat presiden terkait pergantian Panglima TNI,” terang Puan saat konferensi pers kemarin.
Dia menyatakan, Jenderal Andika akan memasuki usia pensiun sebagai Panglima TNI pada 21 Desember mendatang. Andika kemudian bakal memasuki masa purna tugas dari TNI mulai 1 Januari 2023. Untuk itulah, Presiden Jokowi mengutus Pratikno menyerahkan surpres yang berisikan nama calon Panglima TNI. “Jadi, surat dari presiden baru saja kami terima,” ungkap Puan.
Dia mengatakan, dalam surpres itu, Laksamana TNI Yudo Margono yang ditunjuk Presiden Jokowi sebagai calon Panglima TNI. Selanjutnya, Yudo akan segera mengikuti mekanisme di DPR. Dewan akan melakukan fit and proper test kepada calon Panglima TNI.
Ketua DPP PDIP itu menyatakan, pihaknya akan menunjuk Komisi I untuk melaksanakan proses pengujian kepatutan dan kelayakan kepada Yudo sebagai calon Panglima TNI. “DPR RI masih mempunyai cukup waktu untuk melakukan mekanisme yang berlaku,” bebernya.
Terkait alasan penunjukkan Yudo, Puan menegaskan, Presiden Jokowi yang mengetahui alasannya karena penunjukkan Panglima TNI menjadi kewenangan presiden. Yang jelas dia menilai, penunjukkan itu sudah dilakukan secara matang.
Menurutnya, alasan secara umum adalah terkait profesionalitas dan nasionalisme. Puan menyatakan, Yudo jelas memenuhi syarat sebagai panglima TNI. “Yang pasti, kami akan memproses nama yang diajukan presiden,” tuturnya.
Di tempat yang sama, Pratikno mengatakan, presiden menyampaikan terimakasih kepada pimpinan DPR yang telah menerima surpres pergantian Panglima TNI dan akan segera memproses pergantian tersebut. Pihaknya berharap, surat dari DPR terkait pergantian Panglima TNI bisa segera diterima Presiden Jokowi. “Tentu saja sebelum memasuki masa reses DPR,” jelas mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Terkait pertimbangan Jokowi memilih Yudo, Pratikno mengatakan, calon panglima TNI selalu berasal dari kepala staf atau mantan kepala staf yang masih aktif sebagai anggota TNI. Maka, lanjut dia, yang memenuhi syarat menjadi Panglima TNI ada tiga. Mereka adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), KSAL, dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU),. “Dalam hal ini, Pak Presiden memilih calon itu dari KSAL. Itu aja,” ujarnya.
Rotasi antar matra juga menjadi salah satu pertimbangan dalam memilih Yudo. Sebab, yang sekarang menjadi panglima TNI adalah Jenderal Andika Perkasa dari TNI AD. Sedangkan sebelumnya, Andika sendiri menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto dari TNI AU.
Yudo merupakan perwira tinggi bintang empat di TNI AL yang sudah makan asam garam dalam menjalankan berbagai penugasan. Dia kerap terlibat dalam misi-misi penting ketika bertugas. Mulai operasi SAR korban jatuhnya pesawat Lion Air di Perairan Karawang (2018), operasi pengamanan Laut Natuna Utara (2020), misi kemanusiaan pemulangan WNI dari Wuhan, Tiongkok (2020), penanggulangan Covid-19 (2020 – sekarang), sampai operasi SAR korban jatuhnya pesawat Sriwijaya Air (2021). Dia juga turun langsung ketika KRI Nanggala-402 tenggelam di Perairan Bali.
Sebagai mantan panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I, Yudo memiliki keinginan untuk memaksimalkan komando utama operasi tersebut. Dia ingin tiga kogabwilhan yang sudah dibentuk berperan lebih aktif dalam berbagai penugasan. Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas menyatakan bahwa keinginan itu sejalan dengan kebutuhan untuk merespons situasi global di kawasan. Salah satunya di Laut China Selatan yang berbatasan langsung dengan Laut Natuna Utara. “Yudo tentu saja sedikit banyak memahami tantangan yang dihadapi,” imbuhnya.
Menurut Anton, butuh penguatan interoperabilitas dan penggunaan kekuatan gabungan TNI untuk merespons situasi di sana. “Menjadi penting untuk meningkatkan kesiapan angkatan bersenjata menghadapi eskalasi ancaman, dinamika sengketa, atau pendadakan strategis maritim,” bebernya.
Pemerhati isu-isu militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi pun berpandangan serupa. Menurut dia, keinginan Yudo memperkuat peran kogabwilhan memang realistis. “Untuk mencapai target interoperabilitas matra ya memang harus dengan mengoptimalkan kogabwilhan,” kata dia kemarin.
Fahmi sepakat, panglima Kogabwilhan yang bekerja di bawah kendali panglima TNI harus diberi keleluasaan untuk menggunakan kekuatan tiga matra TNI di wilayah tugas masing-masing. Baik Kogabwilhan I, Kogabwilhan II, maupun Kogabwilhan III. Selain itu, kepastian tersedianya anggaran untuk masing-masing kogabwilhan juga penting agar optimalisasi komando tersebut berjalan dengan baik dan cepat. “Diantaranya (anggaran untuk) pemantapan struktur organisasi, pemenuhan kebutuhan SDM, sarana prasarana, dan mekanisme operasi termasuk problem-problem yang menyangkut komando, kendali, dan koordinasi,” bebernya.
Lantas bagaimana dengan sosok pengganti Yudo? Fahmi melihat ada beberapa perwira tinggi bintang tiga di Angkatan Laut yang bisa jadi pilihan. Diantaranya Pangkogabwilhan I Laksamana Madya TNI M Ali, Pangkoarmada RI Laksamana Madya TNI Heru Kuswanto, dan Wakasal Laksamana Madya TNI Ahmadi Heri Purwono. Dari nama-nama tersebut, Ali adalah perwira tinggi bintang tiga TNI AL yang paling muda. “Peluang kuat dari sisi masa aktif (penugasan di TNI) ya mereka bertiga,” imbuhnya.
Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengingatkan Panglima TNI yang baru untuk memperbaiki sederet masalah yang belum tuntas di tubuh TNI. Salah satu catatan Kontras, persoalan itu salah satunya berkaitan dengan kultur kekerasan. Sejak berakhirnya rezim Orde Baru (Orba), budaya tersebut belum berhasil diminimalisir.
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti menyebut kentalnya kultur kekerasan di tubuh TNI salah satunya disebabkan oleh ketimpangan relasi kuasa antara anggota di lapangan dengan entitas lain, khususnya sipil. Situasi itu diperparah dengan tindakan anggota TNI yang tidak profesional.
“Anggota yang punya kewenangan memegang senjata api yang tak jarang menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi,” ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin. Sebagai contoh, tindakan tidak profesional anggota TNI tergambar dari peristiwa pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil di Timika pada Agustus lalu.
Fatia melanjutkan, PR TNI yang lain adalah mengenai perbaikan sistem penegakan hukum formil yang tak kunjung ditunaikan. Padahal, proses peradilan militer saat ini terbukti bermasalah dan memiliki urgensi untuk diperbaiki. “Dalam agenda reformasi sektor keamanan harus diupayakan tersedianya mekanisme peradilan yang akuntabel dan transparan,” jelasnya.
Catatan Kontras, dalam kurun waktu Oktober 2021 hingga September 2022 telah terselenggara 65 peradilan militer dengan terdakwa 152 orang. Perbuatan pelanggaran yang paling banyak disidangkan adalah penganiayaan. “Namun sayangnya hukuman yang dijatuhkan (kepada terdakwa, Red) sangat ringan, mayoritas hanya penjara hitungan bulan,” terangnya.
Persoalan lain yang menjadi sorotan adalah mengenai membengkaknya jumlah perwira tinggi (pati) dan perwira menengah (pamen) TNI yang non-job. Sejauh ini, sekitar 500-an kolonel dan 70-an pati yang non-job. Tingginya angka perwira non-job itu tentu membebani anggaran TNI. “Juga mempengaruhi efisiensi kerja institusi,” imbuhnya.
Selain itu, Kontras juga menyebut pendekatan militeristik di Papua yang masih berlanjut sampai saat ini. Fatia mendesak, Panglima TNI yang baru untuk mencari cara lain guna memutus rantai konflik kemanusiaan di Papua yang masih terjadi hingga saat ini. “Jenderal Andika Perkasa pernah mengumumkan dibentuknya pendekatan pengamanan Teritorial-Sosial pada akhir 2021, tapi eskalasi kekerasan di Papua tak berhasil diredam,” tuturnya.
Pada kesempatan lain, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebutkan pemilihan panglima TNI merupakan kegiatan berulang. Sehingga penilaian untuk menyeleksi panglima sudah ada. “Desicionnya ada di presiden karena di Undang-Undang itu (ganti-ganti matra) tidak wajib. Tidak harus,” ungkapnya kemarin.
Ketika ditanya dengan durasi pergantian yang cepat, apakah mempengaruhi kinerja panglima? Moeldoko membeberkan di lingkungan TNI memiliki landasan dasar dalam bekerja. Terutama terkait dengan rencana strategis. “Tahun ini bagaimana, lima tahun ke depan bagaimana, itu jendral yang ditunjuk tinggal melanjutkan rencana strategis itu,” ucapnya.
Panglima TNI dari matra laut digadang jadi calon kuat. Pasalnya sudah delapan tahun, panglima tak berasal dari kepala staf angkatan laut (KSAL). Mantan Panglima itu menjelaskan dalam pemilihan panglima harus mempertimbangkan aspek psikologi dalam sebuah matra harus terjaga, “Pride matra itu bagian yang harus dikalkulasi. Tapi bukan berarti wajib harus urutan,” bebernya. (lum/syn/tyo/lyn/jpg)