30 C
Medan
Monday, October 28, 2024
spot_img

Jika Sistem Pemilu 2024 Proporsional Tertutup, 300 Ribu Bacaleg Kehilangan Hak

SUMUTPOS.CO – Sebanyak delapan dari sembilan fraksi di DPR RI dengan tegas menolak penerapan sistem pemilu proporsional tertutup. Kedelapan fraksi itu yakni Partai Gerindra, Golkar, PKB, PPP, PAN, Partai Demokrat, NasDem, dan PKS menggelar konferensi pers penolakan di kompleks parlemen, Selasa (30/5). Hanya Fraksi PDIP yang absen dalam konferensi pers tersebut

KONFRENSI pers tersebut digelar delapan fraksi di DPR RI merespons pengakuan Denny Indrayana yang mendapat bocoran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem pemilu. Menurut Denny, MK dalam waktu dekat akan mengabulkan gugatan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.

Ketua Fraksi Partai Golkar Kahar Muzakir menyebut, sistem proporsional terbuka sudah diterapkan sejak lama. Terlebih, kini proses pemilu juga sudah berjalan. “Sistem terbuka itu sudah berlalu sejak lama. Kemudian kalau itu mau diubah itu sekarang proses pemilu sudah berjalan. Kita sudah menyampaikan DCS kepada KPU,” kata Kahar didampingi Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia.

Kahar menyebut, setidaknya terdapat 300 ribu bacaleg yang sudah mendaftar ke KPU. Ia menyebut, seluruh caleg akan kehilangan haknya apabila proporsional tertutup digelar. “Kita minta sistemnya tetap terbuka, kalau mereka memaksakan mungkin orang-orang itu (caleg) akan minta ganti rugi (ke MK),” sebutnya.

Kahar bahkan memprediksi, para caleg akan mendemo MK, meski tanpa diperintahkan oleh parpol. “Kalau mereka berbondong-bondong ke MK agak ribet juga. Jadi orang-orang itu akan protes dan kita tidak suruh, tapi karena mereka kehilangan hak konstitusionalnya untuk dipilih,” sambungnya.

Ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Partaonan Daulay mengingatkan agar MK konsisten. Pasalnya, pada 2008 lalu, MK memutuskan agar pemungutan suara Pemilu dilakukan dengan sistem proporsional terbuka.

Masyarakat, kata Saleh, sudah tiga kali mengikut pemilu dengan sistem proporsional terbuka yakni 2009, 2014 dan 2019. Ia lantas mempertanyakan jika sistem itu diubah, apakah berarti pemilu tiga kali terakhir tidak sah. “Sudah 3 kali pemilu terbuka, sah, lalu andaikata tertutup maka gimana status kami? Apa ini tidak sah?” Kata Saleh.

Ketua Fraksi Partai NasDem, Robert Rouw meminta Presiden Joko Widodo turun tangan. Dia menyinggung klaim Jokowi bahwa cawe-cawe dibolehkan demi kepentingan negara. Robert mengatakan, rakyat menginginkan pemungutan suara dilakukan dengan mencoblos caleg. Bukan logo partai politik. “Presiden kami minta beliau sendiri sampaikan beliau harus ikut cawe-cawe untuk menjaga kelanjutan pembangunan dan stabilitas negara dalam rangka pemilu 2024,” kata Robert.

Sementara, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menyebut, MK tak berhak mengubah sistem pemilu jika tak melanggar UUD 1945.

Menurut Doli, bukan ranah MK untuk menentukan sistem yang cocok atau tidak cocok. Sebab menurut dia, perubahan atau perbaikan sistem pemilu hanya bisa dilakukan lewat revisi undang-undang. “Ranah hakim konstitusi hanya memutuskan, apakah ini bertentangan dengan undang-undang atau tidak. Bukan mana yang cocok atau mana yang harus dijalankan,” tegas Doli.

Menurutnya bila MK sampai memutuskan satu sistem pemilu inkonstitusional, maka DPR akan tertutup ruang untuk membahasnya. Sehingga, tegas Doli, perbaikan atau penyempurnaan sistem pemilu Indonesia sulit dilakukan. Oleh karena itu, politikus Golkar itu menyebut pembatalan satu sistem pemilu melanggar hak kebebasan berpikir. Padahal, perbaikan mestinya bisa dilalukan bersama lewat revisi undang-undang. “Untuk menyempurnakan sistem Pemilu paling baik adalah dengan revisi undang-undang. Kalau nanti revisi Undang-undang dibatasi maka ada satu sistem pemilu yang tidak bisa kita bahas lagi karena tidak konstitusional,” kata dia.

Doli menyebut meskipun gugatan di MK memang hanya terkait satu pasal di UU Pemilu, menurutnya akan pula bakal berdampak terhadap 20 pasal lain seperti kampanye hingga rekapitulasi suara. “Apakah itu akan diubah oleh hakim konstitusi. Sementara itu tidak di-judicial review. Kalau tidak diubah apakah akan diubah dengan revisi UU lagi, atau dengan Perppu,” katanya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Habiburokhman mengingatkan soal kewenangan legislasi yang dimiliki lembaganya jika MK mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. Habib menyatakan, mayoritas fraksi DPR tak ingin saling unjuk kekuasaan. Namun, dia mengingatkan DPR juga memiliki kewenangan legislasi jika MK kukuh memilih sistem proporsional tertutup. “Kita tidak akan saling memamerkan kekuasaan, tapi juga kita akan mengingatkan bahwa kami legislatif juga punya kewenangan apabila memang MK berkeras,” kata Habib.

“Kami juga akan menggunakan kewenangan kami ya, begitu juga dalam konteks budgeting kami juga ada kewenangan,” imbuh Habib.

Ketua Fraksi Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas menilai, sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini sebagai sistem terbaik. Ibas mendorong agar putusan MK mestinya bersifat open legal policy sehingga diserahkan kepada DPR untuk pengaturan lebih rinci.

Menurut dia, MK tak bisa memutuskan norma baru apalagi yang bisa memancing kegaduhan di tengah masyarakat. “Kami mendukung sistem proporsional terbuka. Kita tidak ingin mendapat calon anggota DPR seperti membeli kucing dalam karung,” ucap Ibas.

Terpisah, Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) tegas menolak putusan MK, apabila sistem pemilihan legislatif (Pileg) berubah dari proporsional terbuka menjadi tertutup. Jerry menilai, Jokowi punya andil memastikan sistem demokrasi Indonesia berjalan sesuai amanat UUD 1945. “Presiden harusnya bersuara menolak sistem proporsional tertutup,” ujar Jerry, Selasa (30/5).

Dia mengurai, Pasal 22E ayat (1) mengamanatkan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. “(Jika) sistem (Pileg) tertutup ini akan mengacaukan tahapan Pemilu,” sambungnya menegaskan.

Doktor komunikasi politik lulusan America Global University ini menyebutkan, contoh tahapan Pemilu yang terganggu adalah verifikasi bakal calon anggota legislatif (bacaleg). Menurut dia, parpol bakal mengubah nama-nama bacaleg apabila sistem proporsional berlaku, sehingga tahapan verifikasi diulang. “Sistem (Pileg) tertutup ini akan mengacaukan tahapan Pemilu,” tuturnya.

Maka dari itu, Jerry menilai Jokowi tidak konsisten membangun demokrasi Indonesia, karena lebih mementingkan negosiasi capres-cawapres dengan parpol, ketimbang bersikap menolak sistem Pileg tertutup. “Beliau (Jokowi) lebih memilih cawe-cawe soal capres-cawapres 2024 dengan parpol-parpol. Maka saya sarankan parpol di parlemen bisa melawan,” tandasnya.

Sebelumnya, Denny Indrayana mengaku mendapat bocoran Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengembalikan penerapan sistem proporsional tertutup di pemilu. Bocoran itu, kata Denny ia dapatkan dari sumber yang kredibel di MK. Ia pun mengaku nantinya enam hakim konstitusi akan mengabulkan, sementara tiga lainnya akan menyampaikan dissenting opinion.

Langkah itu merespons pengakuan Denny Indrayana yang mendapat bocoran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem pemilu. Menurut Denny, MK dalam waktu dekat akan mengabulkan gugatan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.

Mantan Wamenkumham Denny Indrayana kemudian mengaku mendapat bocoran apa putusan yang akan dibacakan MK. Dia mengatakan MK bakal mengabulkan gugatan alias mengubah pemungutan suara jadi sistem proporsional tertutup (coblos partai). (jpc/bbs/adz)

SUMUTPOS.CO – Sebanyak delapan dari sembilan fraksi di DPR RI dengan tegas menolak penerapan sistem pemilu proporsional tertutup. Kedelapan fraksi itu yakni Partai Gerindra, Golkar, PKB, PPP, PAN, Partai Demokrat, NasDem, dan PKS menggelar konferensi pers penolakan di kompleks parlemen, Selasa (30/5). Hanya Fraksi PDIP yang absen dalam konferensi pers tersebut

KONFRENSI pers tersebut digelar delapan fraksi di DPR RI merespons pengakuan Denny Indrayana yang mendapat bocoran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem pemilu. Menurut Denny, MK dalam waktu dekat akan mengabulkan gugatan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.

Ketua Fraksi Partai Golkar Kahar Muzakir menyebut, sistem proporsional terbuka sudah diterapkan sejak lama. Terlebih, kini proses pemilu juga sudah berjalan. “Sistem terbuka itu sudah berlalu sejak lama. Kemudian kalau itu mau diubah itu sekarang proses pemilu sudah berjalan. Kita sudah menyampaikan DCS kepada KPU,” kata Kahar didampingi Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia.

Kahar menyebut, setidaknya terdapat 300 ribu bacaleg yang sudah mendaftar ke KPU. Ia menyebut, seluruh caleg akan kehilangan haknya apabila proporsional tertutup digelar. “Kita minta sistemnya tetap terbuka, kalau mereka memaksakan mungkin orang-orang itu (caleg) akan minta ganti rugi (ke MK),” sebutnya.

Kahar bahkan memprediksi, para caleg akan mendemo MK, meski tanpa diperintahkan oleh parpol. “Kalau mereka berbondong-bondong ke MK agak ribet juga. Jadi orang-orang itu akan protes dan kita tidak suruh, tapi karena mereka kehilangan hak konstitusionalnya untuk dipilih,” sambungnya.

Ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Partaonan Daulay mengingatkan agar MK konsisten. Pasalnya, pada 2008 lalu, MK memutuskan agar pemungutan suara Pemilu dilakukan dengan sistem proporsional terbuka.

Masyarakat, kata Saleh, sudah tiga kali mengikut pemilu dengan sistem proporsional terbuka yakni 2009, 2014 dan 2019. Ia lantas mempertanyakan jika sistem itu diubah, apakah berarti pemilu tiga kali terakhir tidak sah. “Sudah 3 kali pemilu terbuka, sah, lalu andaikata tertutup maka gimana status kami? Apa ini tidak sah?” Kata Saleh.

Ketua Fraksi Partai NasDem, Robert Rouw meminta Presiden Joko Widodo turun tangan. Dia menyinggung klaim Jokowi bahwa cawe-cawe dibolehkan demi kepentingan negara. Robert mengatakan, rakyat menginginkan pemungutan suara dilakukan dengan mencoblos caleg. Bukan logo partai politik. “Presiden kami minta beliau sendiri sampaikan beliau harus ikut cawe-cawe untuk menjaga kelanjutan pembangunan dan stabilitas negara dalam rangka pemilu 2024,” kata Robert.

Sementara, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menyebut, MK tak berhak mengubah sistem pemilu jika tak melanggar UUD 1945.

Menurut Doli, bukan ranah MK untuk menentukan sistem yang cocok atau tidak cocok. Sebab menurut dia, perubahan atau perbaikan sistem pemilu hanya bisa dilakukan lewat revisi undang-undang. “Ranah hakim konstitusi hanya memutuskan, apakah ini bertentangan dengan undang-undang atau tidak. Bukan mana yang cocok atau mana yang harus dijalankan,” tegas Doli.

Menurutnya bila MK sampai memutuskan satu sistem pemilu inkonstitusional, maka DPR akan tertutup ruang untuk membahasnya. Sehingga, tegas Doli, perbaikan atau penyempurnaan sistem pemilu Indonesia sulit dilakukan. Oleh karena itu, politikus Golkar itu menyebut pembatalan satu sistem pemilu melanggar hak kebebasan berpikir. Padahal, perbaikan mestinya bisa dilalukan bersama lewat revisi undang-undang. “Untuk menyempurnakan sistem Pemilu paling baik adalah dengan revisi undang-undang. Kalau nanti revisi Undang-undang dibatasi maka ada satu sistem pemilu yang tidak bisa kita bahas lagi karena tidak konstitusional,” kata dia.

Doli menyebut meskipun gugatan di MK memang hanya terkait satu pasal di UU Pemilu, menurutnya akan pula bakal berdampak terhadap 20 pasal lain seperti kampanye hingga rekapitulasi suara. “Apakah itu akan diubah oleh hakim konstitusi. Sementara itu tidak di-judicial review. Kalau tidak diubah apakah akan diubah dengan revisi UU lagi, atau dengan Perppu,” katanya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Habiburokhman mengingatkan soal kewenangan legislasi yang dimiliki lembaganya jika MK mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. Habib menyatakan, mayoritas fraksi DPR tak ingin saling unjuk kekuasaan. Namun, dia mengingatkan DPR juga memiliki kewenangan legislasi jika MK kukuh memilih sistem proporsional tertutup. “Kita tidak akan saling memamerkan kekuasaan, tapi juga kita akan mengingatkan bahwa kami legislatif juga punya kewenangan apabila memang MK berkeras,” kata Habib.

“Kami juga akan menggunakan kewenangan kami ya, begitu juga dalam konteks budgeting kami juga ada kewenangan,” imbuh Habib.

Ketua Fraksi Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas menilai, sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini sebagai sistem terbaik. Ibas mendorong agar putusan MK mestinya bersifat open legal policy sehingga diserahkan kepada DPR untuk pengaturan lebih rinci.

Menurut dia, MK tak bisa memutuskan norma baru apalagi yang bisa memancing kegaduhan di tengah masyarakat. “Kami mendukung sistem proporsional terbuka. Kita tidak ingin mendapat calon anggota DPR seperti membeli kucing dalam karung,” ucap Ibas.

Terpisah, Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) tegas menolak putusan MK, apabila sistem pemilihan legislatif (Pileg) berubah dari proporsional terbuka menjadi tertutup. Jerry menilai, Jokowi punya andil memastikan sistem demokrasi Indonesia berjalan sesuai amanat UUD 1945. “Presiden harusnya bersuara menolak sistem proporsional tertutup,” ujar Jerry, Selasa (30/5).

Dia mengurai, Pasal 22E ayat (1) mengamanatkan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. “(Jika) sistem (Pileg) tertutup ini akan mengacaukan tahapan Pemilu,” sambungnya menegaskan.

Doktor komunikasi politik lulusan America Global University ini menyebutkan, contoh tahapan Pemilu yang terganggu adalah verifikasi bakal calon anggota legislatif (bacaleg). Menurut dia, parpol bakal mengubah nama-nama bacaleg apabila sistem proporsional berlaku, sehingga tahapan verifikasi diulang. “Sistem (Pileg) tertutup ini akan mengacaukan tahapan Pemilu,” tuturnya.

Maka dari itu, Jerry menilai Jokowi tidak konsisten membangun demokrasi Indonesia, karena lebih mementingkan negosiasi capres-cawapres dengan parpol, ketimbang bersikap menolak sistem Pileg tertutup. “Beliau (Jokowi) lebih memilih cawe-cawe soal capres-cawapres 2024 dengan parpol-parpol. Maka saya sarankan parpol di parlemen bisa melawan,” tandasnya.

Sebelumnya, Denny Indrayana mengaku mendapat bocoran Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengembalikan penerapan sistem proporsional tertutup di pemilu. Bocoran itu, kata Denny ia dapatkan dari sumber yang kredibel di MK. Ia pun mengaku nantinya enam hakim konstitusi akan mengabulkan, sementara tiga lainnya akan menyampaikan dissenting opinion.

Langkah itu merespons pengakuan Denny Indrayana yang mendapat bocoran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem pemilu. Menurut Denny, MK dalam waktu dekat akan mengabulkan gugatan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.

Mantan Wamenkumham Denny Indrayana kemudian mengaku mendapat bocoran apa putusan yang akan dibacakan MK. Dia mengatakan MK bakal mengabulkan gugatan alias mengubah pemungutan suara jadi sistem proporsional tertutup (coblos partai). (jpc/bbs/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru