26 C
Medan
Thursday, July 4, 2024

Letak Ibu Kota Baru Diumumkan Agustus

Yayat Supriatna, Pengamat Tata Kota

TOBASA, SUMUTPOS.CO – Pengumuman pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Pulau Kalimantan, akan disampaikan oleh Presiden Joko Widodo bulan Agustus 2019 mendatang. Saat ini, tim pemerintah masih terus melakukan pengkajian.

“Dari dulu sudah saya sampaikan pindah ke Kalimantan. Tapi Kalimantan mana, itu yang belum. Nanti kita sampaikan Agustus,” ungkap mantan Gubernur DKI itu, kepada wartawan saat melakukan Kunjungan Kerja di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Selasa (30/7).

Jokowi menjelaskan pengkajian dilakukan untuk memastikan dan melihat dampak segi kebencanaan hingga sosial politik. Semua itu, menjadi syarat utama sebuah daerah untuk layak menjadi ibu kota negara. “Kajiannya belum rampung. Kalau sudah rampung kajian mengenai kebencanaan, air, ekonomi, demografinya, masalah sosial politik, dan keamanannya,” tutur Presiden terpilih di Pemilu 2019 itu.

Sebelumnya, pemerintah menyebut ada empat wilayah yang sedang dikaji menjadi ibu kota baru di Kalimantan Tengah, yakni Palangkaraya, Gunung Mas, Pulau Pisang, dan Katingan. Kemudian di Kalimantan Timur seperti di Bukit Soeharto.

Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan setidaknya akan memakan anggaran mencapai Rp 466 triliun. Dananya bersumber dari APBN, BUMN, dan pihak swasta.

Jokowi menambahkan, pemindahan ibu kota harus dipikirkan secara matang. Jangan sampaimemberikan dampak negatif. “Kita tidak ingin tergesa-gesa. Tapi ingin secepatnya diputuskan,” tandas mantan Wali Kota Solo itu.

Bagaimana Nasib DKI Jakarta?

Dengan rencana pindahnya ibu kota, apa dampak yang akan dialami Kota Jakarta? Pengamat tata kota, Yayat Supriatna, mengatakan baik atau tidaknya perpindahan ibu kota bagi DKI Jakarta ditentukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

“Itu tergantung Pemprov DKI, apakah mereka mau membantu menata ulang kota atau tidak. Setelah (ibu kota) pindah, mau diapakan?” ujar Yayat, Selasa (30/7/2019).

Pemindahan ibu kota akan berdampak besar bagi Jakarta, khususnya terhadap tingkat kepadatan penduduk Jakarta. Adapun ibu kota baru ini rencananya hanya menampung maksimal 1,5 juta penduduk.

Yayat mengatakan artinya ada 1,5 juta penduduk yang biasa beraktivitas di Jakarta akan pindah ke ibu kota baru. “Sebanyak 1,5 juta penduduk pindah. Berarti kan mobil berkurang, orangnya berkurang, ada kemungkinan kita bisa menekan kepadatan lalu lintas, polusi udara, dan kepadatan permukiman” kata Yayat.

Perpindahan itu tentu juga memberikan kesempatan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan revisi tata ruang. Sebab, selama ini Jakarta memiliki pola dan struktur ruang yang terpusat. Keberadaan pemerintah pusat di tengah Kota Jakarta membuat kota ini dikepung oleh pusat bisnis sekaligus pusat permukiman. Hal inilah yang menimbulkan kepadatan dan kemacetan sebagai masalah besar bagi kota Jakarta.

Yayat menjelaskan, hal penting yang bisa terjadi dari perpindahan ibu kota adalah akan muncul pusat bisnis baru di luar Jakarta. Apalagi jika pemerintah provinsi mau mendukung dan mendorong para pelaku bisnis untuk keluar Jakarta. “Nanti muncul daerah kompetitor bisnis baru, seperti BSD misalnya. Pertumbuhan di sana kan cepat sekali. Dari sana mereka bisa saja lewat tol langsung ke bandara dan terbang ke Kalimantan. Selesai, enggak perlu ke Jakarta lagi,” kata Yayat.

Hal lain yang perlu disoroti adalah peran Pemprov DKI dalam meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Sebagai ibu kota, beberapa persoalan di Jakarta ikut ditangani oleh pemerintah pusat. Namun, setelah ibu kota pindah nanti, perhatian pemerintah pusat kepada Jakarta tidak akan sebesar dulu. Pemprov DKI Jakarta harus bisa menjamin pelayanan dan perhatian terhadap persoalan di DKI Jakarta menjadi prioritas meski tanpa peran pemerintah pusat.

“Sekarang ada Kali Ciliwung yang ditangani Kementerian PUPR, tapi nanti pas (ibu kota) pindah mungkin saja enggak jadi prioritas lagi. Kementerian akan memberikan konsentrasi ke penataan ulang sungai-sungai yang ada di Kalimantan,” ungkap Yayat.

Maka dari itu, dibutuhkan konsep revisi tata ruang kota, terutama konsep pembangunan berkelanjutan green city. Hal ini agar polusi Jakarta yang semakin buruk bisa berkurang. Fungsi-fungsi bangunan yang sudah ada di ring 1 juga jangan sampai diabaikan. Harus diubah menjadi perkantoran yang ramah lingkungan.

Dari segala kemungkinan tersebut, pada intinya beban kota dan kepadatan sudah jelas akan berkurang. Namun, kelanjutan dari pengembangan kota Jakarta ada di tangan Pemerintah Provinsi Jakarta. “Intinya di Pemprov DKI. Lebih bagus, lebih padat, lebih terstruktur, mau jadi apa Jakarta itu tergantung dari revisi tata ruang yang dilakukan” ungkap Yayat.

Hal lain yang perlu disoroti adalah peran Pemprov DKI dalam meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Sebagai ibu kota, beberapa persoalan di Jakarta ikut ditangani oleh pemerintah pusat.

Namun, setelah ibu kota pindah nanti, perhatian pemerintah pusat kepada Jakarta tidak akan sebesar dulu. Pemprov DKI Jakarta harus bisa menjamin pelayanan dan perhatian terhadap persoalan di DKI Jakarta menjadi prioritas meski tanpa peran pemerintah pusat.

“Sekarang ada Kali Ciliwung yang ditangani Kementerian PUPR, tapi nanti pas (ibu kota) pindah mungkin saja enggak jadi prioritas lagi. Kementerian akan memberikan konsentrasi ke penataan ulang sungai-sungai yang ada di Kalimantan,” ungkap Yayat. Baca juga: Ibu Kota Baru Indonesia, dari Proses hingga Pemilihan Kalimantan…

Maka dari itu, dibutuhkan konsep revisi tata ruang kota, terutama konsep pembangunan berkelanjutan green city. Hal ini agar polusi Jakarta yang semakin buruk bisa berkurang. Fungsi-fungsi bangunan yang sudah ada di ring 1 juga jangan sampai diabaikan. Harus diubah menjadi perkantoran yang ramah lingkungan. Dari segala kemungkinan tersebut, pada intinya beban kota dan kepadatan sudah jelas akan berkurang.

Namun, kelanjutan dari pengembangan kota Jakarta ada di tangan Pemerintah Provinsi Jakarta. “Intinya di Pemprov DKI. Lebih bagus, lebih padat, lebih terstruktur, mau jadi apa Jakarta itu tergantung dari revisi tata ruang yang dilakukan” ungkap Yayat. (gus/kps)

Yayat Supriatna, Pengamat Tata Kota

TOBASA, SUMUTPOS.CO – Pengumuman pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Pulau Kalimantan, akan disampaikan oleh Presiden Joko Widodo bulan Agustus 2019 mendatang. Saat ini, tim pemerintah masih terus melakukan pengkajian.

“Dari dulu sudah saya sampaikan pindah ke Kalimantan. Tapi Kalimantan mana, itu yang belum. Nanti kita sampaikan Agustus,” ungkap mantan Gubernur DKI itu, kepada wartawan saat melakukan Kunjungan Kerja di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Selasa (30/7).

Jokowi menjelaskan pengkajian dilakukan untuk memastikan dan melihat dampak segi kebencanaan hingga sosial politik. Semua itu, menjadi syarat utama sebuah daerah untuk layak menjadi ibu kota negara. “Kajiannya belum rampung. Kalau sudah rampung kajian mengenai kebencanaan, air, ekonomi, demografinya, masalah sosial politik, dan keamanannya,” tutur Presiden terpilih di Pemilu 2019 itu.

Sebelumnya, pemerintah menyebut ada empat wilayah yang sedang dikaji menjadi ibu kota baru di Kalimantan Tengah, yakni Palangkaraya, Gunung Mas, Pulau Pisang, dan Katingan. Kemudian di Kalimantan Timur seperti di Bukit Soeharto.

Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan setidaknya akan memakan anggaran mencapai Rp 466 triliun. Dananya bersumber dari APBN, BUMN, dan pihak swasta.

Jokowi menambahkan, pemindahan ibu kota harus dipikirkan secara matang. Jangan sampaimemberikan dampak negatif. “Kita tidak ingin tergesa-gesa. Tapi ingin secepatnya diputuskan,” tandas mantan Wali Kota Solo itu.

Bagaimana Nasib DKI Jakarta?

Dengan rencana pindahnya ibu kota, apa dampak yang akan dialami Kota Jakarta? Pengamat tata kota, Yayat Supriatna, mengatakan baik atau tidaknya perpindahan ibu kota bagi DKI Jakarta ditentukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

“Itu tergantung Pemprov DKI, apakah mereka mau membantu menata ulang kota atau tidak. Setelah (ibu kota) pindah, mau diapakan?” ujar Yayat, Selasa (30/7/2019).

Pemindahan ibu kota akan berdampak besar bagi Jakarta, khususnya terhadap tingkat kepadatan penduduk Jakarta. Adapun ibu kota baru ini rencananya hanya menampung maksimal 1,5 juta penduduk.

Yayat mengatakan artinya ada 1,5 juta penduduk yang biasa beraktivitas di Jakarta akan pindah ke ibu kota baru. “Sebanyak 1,5 juta penduduk pindah. Berarti kan mobil berkurang, orangnya berkurang, ada kemungkinan kita bisa menekan kepadatan lalu lintas, polusi udara, dan kepadatan permukiman” kata Yayat.

Perpindahan itu tentu juga memberikan kesempatan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan revisi tata ruang. Sebab, selama ini Jakarta memiliki pola dan struktur ruang yang terpusat. Keberadaan pemerintah pusat di tengah Kota Jakarta membuat kota ini dikepung oleh pusat bisnis sekaligus pusat permukiman. Hal inilah yang menimbulkan kepadatan dan kemacetan sebagai masalah besar bagi kota Jakarta.

Yayat menjelaskan, hal penting yang bisa terjadi dari perpindahan ibu kota adalah akan muncul pusat bisnis baru di luar Jakarta. Apalagi jika pemerintah provinsi mau mendukung dan mendorong para pelaku bisnis untuk keluar Jakarta. “Nanti muncul daerah kompetitor bisnis baru, seperti BSD misalnya. Pertumbuhan di sana kan cepat sekali. Dari sana mereka bisa saja lewat tol langsung ke bandara dan terbang ke Kalimantan. Selesai, enggak perlu ke Jakarta lagi,” kata Yayat.

Hal lain yang perlu disoroti adalah peran Pemprov DKI dalam meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Sebagai ibu kota, beberapa persoalan di Jakarta ikut ditangani oleh pemerintah pusat. Namun, setelah ibu kota pindah nanti, perhatian pemerintah pusat kepada Jakarta tidak akan sebesar dulu. Pemprov DKI Jakarta harus bisa menjamin pelayanan dan perhatian terhadap persoalan di DKI Jakarta menjadi prioritas meski tanpa peran pemerintah pusat.

“Sekarang ada Kali Ciliwung yang ditangani Kementerian PUPR, tapi nanti pas (ibu kota) pindah mungkin saja enggak jadi prioritas lagi. Kementerian akan memberikan konsentrasi ke penataan ulang sungai-sungai yang ada di Kalimantan,” ungkap Yayat.

Maka dari itu, dibutuhkan konsep revisi tata ruang kota, terutama konsep pembangunan berkelanjutan green city. Hal ini agar polusi Jakarta yang semakin buruk bisa berkurang. Fungsi-fungsi bangunan yang sudah ada di ring 1 juga jangan sampai diabaikan. Harus diubah menjadi perkantoran yang ramah lingkungan.

Dari segala kemungkinan tersebut, pada intinya beban kota dan kepadatan sudah jelas akan berkurang. Namun, kelanjutan dari pengembangan kota Jakarta ada di tangan Pemerintah Provinsi Jakarta. “Intinya di Pemprov DKI. Lebih bagus, lebih padat, lebih terstruktur, mau jadi apa Jakarta itu tergantung dari revisi tata ruang yang dilakukan” ungkap Yayat.

Hal lain yang perlu disoroti adalah peran Pemprov DKI dalam meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Sebagai ibu kota, beberapa persoalan di Jakarta ikut ditangani oleh pemerintah pusat.

Namun, setelah ibu kota pindah nanti, perhatian pemerintah pusat kepada Jakarta tidak akan sebesar dulu. Pemprov DKI Jakarta harus bisa menjamin pelayanan dan perhatian terhadap persoalan di DKI Jakarta menjadi prioritas meski tanpa peran pemerintah pusat.

“Sekarang ada Kali Ciliwung yang ditangani Kementerian PUPR, tapi nanti pas (ibu kota) pindah mungkin saja enggak jadi prioritas lagi. Kementerian akan memberikan konsentrasi ke penataan ulang sungai-sungai yang ada di Kalimantan,” ungkap Yayat. Baca juga: Ibu Kota Baru Indonesia, dari Proses hingga Pemilihan Kalimantan…

Maka dari itu, dibutuhkan konsep revisi tata ruang kota, terutama konsep pembangunan berkelanjutan green city. Hal ini agar polusi Jakarta yang semakin buruk bisa berkurang. Fungsi-fungsi bangunan yang sudah ada di ring 1 juga jangan sampai diabaikan. Harus diubah menjadi perkantoran yang ramah lingkungan. Dari segala kemungkinan tersebut, pada intinya beban kota dan kepadatan sudah jelas akan berkurang.

Namun, kelanjutan dari pengembangan kota Jakarta ada di tangan Pemerintah Provinsi Jakarta. “Intinya di Pemprov DKI. Lebih bagus, lebih padat, lebih terstruktur, mau jadi apa Jakarta itu tergantung dari revisi tata ruang yang dilakukan” ungkap Yayat. (gus/kps)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/