RIO DE JANEIRO, SUMUTPOS.CO – Sepak bola terus mengalami evolusi. Pesan tersebut bergaung kuat di Piala Dunia 2014. Makin kuat ketika juara bertahan Spanyol dipastikan gagal melaju ke babak 16 besar.
Spanyol menelan kekalahan keduanya di Grup A. Setelah menderita kekalahan 1-5 di laga pertama melawan Belanda, La Furia Roja (julukan Spanyol) menanggung malu akibat kekalahan 0-2 oleh Cile. Hasil tersebut untuk sementara membuat Spanyol terbenam posisi juru kunci grup.
Gaya bermain tiki-taka Spanyol yang mementingkan ball possession dan kesempurnaan permainan pendek satu dua kali sentuhan itu, sudah diantisipasi dengan baik oleh Cile. Seperti halnya Belanda, Cile menerapkan serangan balik yang efektif. Ditambah dengan pertahanan yang rapat, Spanyol gagal membuahkan peluang matang di depan gawang Cile yang dikawal Claudio Bravo.
“Kami masih punya waktu untuk melakukan analisis. Tidak tepat untuk melakukannya sekarang. Kami akan mengambil keputusan terbaik untuk sepakbola Spanyol. Hal ini juga berkenaan dengan posisi saya” kata Vicente del Bosque, pelatih Spanyol seperti dikutip Goal.
Berkat tiki-taka, Spanyol sukses meraih dua kali juara Eropa, yakni 2008 dan 2012. Spanyol juga sukses merengkuh Piala Dunia 2010. berangkat ke Brasil, skuad La Furia Roja juga masih didominasi generasi emas yang beberapa di antaranya berada di usia kepala tiga
Tanda-tanda berakhirnya era Tiki Taka mulai terlihat di Piala Konfederasi 2013, saat Spanyol dikalahkan Brasil di final dengan skor mencolok 0-3. Di Piala Dunia 2014, tiki-taka seolah menemui akhirnya.
Saatnya Spanyol berubah. Setidaknya hal itu diungkapkan gelandang Xabi Alonso yang kini sudah berusia 33 tahun. Bersama Xavi Hernandez yang kemarin tak dimainkan dan Iker Casillas yang dianggap tampil di bawah performa pada Piala DUnia 2014, mereka adalah pemimpin generasi emas Spanyol.
Menurut Alonso, dengan komposisi pemain yang telah mendapatkan sejumlah gelar, membuat tim Spanyol tidak bisa menjaga rasa lapar untuk berjuang di Piala Dunia.
Alonso mengatakan bahwa Spanyol saat ini tidak seperti ketika mereka menginjakkan kaki di Afrika Selatan pada 2010. Para pemain tak lagi terlalu bernafsu untuk meraih gelar di Brasil.
“Kekalahan ini sangat menyedihkan. Secara mental, kami tidak siap untuk ke Brasil, secara fisik tidak siap. Dengan semua akumulasi dari faktor-faktor tersebut; kami tidak berada dalam kondisi terbaik dan sudah seharusnya kami pulang,” kata gelandang Real Madrid itu seperti dikutip Guardian.
“Biasanya, siklus akan berakhir dengan rentetan kekalahan. Mungkin, ini waktunya kami berpikir untuk membuat perubahan,” lanjutnya.
Hasil tersebut sekaligus membuat Spanyol belum mampu menghapus memori buruk saaat bertarung di Estadio Maracana. Sudah tiga kali mereka meraih kekalahan di stadion bersejarah tersebut. Termasuk di antaranya kekalahan telak 1-6oleh Brasil di Piala Dunia 1950 dan kalah 0-3 di Piala Konfederasi 2013 dari lawan yang sama.
Selain itu, Spanyol juga memperpanjang catatan buruk yang didapatkan juara bertahan pada Piala Dunia edisi berikutnya. Mereka jadi juara bertahan keenam yang tak mampu lolos dari fase grup. Hal yang sama juga terjadi pada Italia di Piala Dunia 2010. (ady)