Kado Duka 63 Tahun PSMS 21 April 1950-21 April 2013. Usia PSMS Medan beranjak ke angka 63 tahun. Namun seperti tahun-tahun sebelumnya tidak ada pesta yang layak digelar. Bagaimana mungkin ada tawa canda yang biasa kita temui dalam sebuah pesta dalam kondisi klub kini lebih banyak berisi kisah memilukan.
SEBELUMNYA pembicaraan seputar klub ini tak lain seputar prestasi yang enggan kembali hadir untuk menghiasi lemari tropi PSMS. Bukan lagi berbicara soal final perserikatan 1985 saat The Killer meluluh lantakkan Persib Bandung yang menjadi momen emas terakhir PSMS di kancah sepak bola tanah air. Lalu deretan piala-piala kecil seperti Piala Emas Bang Yos yang katanya boleh dimiliki PSMS selamanya. Posisi runner up di Liga Indonesia 2008 yang katanya menjadi momen kejayaan terakhir.
Catatan: Doni Hermawan
Kondisinya semakin mundur ke belakang saat ini. Bagaimana mungkin kita merindukan prestasi sementara kondisi tim PSMS saat ini seperti terserang penyakit akut. Dua musim terakhir, cerita dualisme PSMS berlanjut dengan episode yang jalan ceritanya sudah jelas berbeda.
Cerita November 2011, saat PSMS pertama kali memelihara dua tim satu berlaga di ISL dan IPL disebut merupakan periode buruk yang berujung terdegradasinya dua tim di masing- masing kompetisi.
Para pemainnya juga masih harus gigit jari dengan tertunggaknya gaji berbulan-bulan tanpa penyelesaian. Dalam empat musim terakhir, para pemain selalu mengakhiri musim dengan protes soal gaji. Tapi berbicara yang terburuk dari yang terburuk, banyak yang sepakat saat inilah catatan itu semakin kelam musim ini.
Alih-alih berbenah dengan lahirnya kepengurusan baru di bawah pimpinan Indra Sakti Harahap dan Benny Sihotang, yang terjadi justru semakin parah. Masih berkiprah di dua kompetisi berbeda, duo PSMS berjalan terseok. PSMS yang berkiprah di PT Liga Indonesia pimpinan Indra Sakti menutup putaran pertama dengan cerita soal dapur yang tidak mengepul, kostum latihan yang tak mampu dicuci dan tentunya gaji yang tertunggak.
Dampaknya, para pemain pun harus mengais rezeki dari luar sepak bola. Keringat pemain bahkan sudah mengering tapi tidak juga ada tanda-tanda dompet bakal terisi hak mereka.
Sementara orang yang paling bertanggung jawab itu tak menampakkan diri.
PSMS yang satunya juga tak kalah buruk. Belum lagi kompetisi dimulai cerita sudah dimulai dengan gaji perdana yang belum mampu dikucurkan manajemen. Lalu aksi mogok pun sempat mewarnai perjalanan tim hingga Saktiawan Sinaga dkk ini tetap memutuskan untuk terus berkompetisi.
Dalam suatu perbincangan dengan manajer PSMS era 1996- 2002, HMT Aritonang, baru sekali ini ia melihat kondisi PSMS separah ini. Bahkan berstatus gawat darurat. “Sudah bisa ini bangun posko gawat darurat dan PSMS menerima sembako. Masalah dapur saja tidak bisa bagaimana mau berprestasi tim ini,” katanya ketika itu.
Beginilah, pembicaraan seputar PSMS yang kini semakin mundur ke belakang. Sumbernya tentu pengelolaan klub yang masih sangat-sangat amatir. Tak ada satu sponsorpun yang hinggap di jersey pemain. Jika kita mengingat lagi ke belakang, final 1985 itu, Persib Bandung, rival klasik PSMS kini sudah jauh meninggalkan PSMS. Dengan pengelolaan klub dengan sistem yang benar-benar profesional.
Tak ada bicara telat gajian di sana. Seorang kawan jurnalis di Bandung bahkan menyebut jersey Persib bisa penuh dengan logo sponsor, jika maung Bandung menyepakati.
Bukan membandingkan, tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi.
PSMS harus mulai belajar mengelola sistem profesional.
Bagaimana mungkin klub sebesar PSMS tidak punya nilai jual? Ini menjadi PR bagi PSMS.
Musim depan, PSMS harus merayakan ulang tahun dengan senyum sumringah. Apapun itu, Selamat Ulang Tahun ke 63 PSMS. (*)